Persoalan Paradigma (Analisis Korupsi di indonesia)
29 Juni 2011 Tinggalkan komentar
Oleh: Achmad Rois)*
Indonesia adalah Negara yang memiliki kekayaan luar biasa. Sumber daya alamnya seakan tak terbatas dimakan waktu. Kepemilikan sumber daya tak terbatas ini terbukti dengan banyaknya Negara yang mencoba menjajah Indonesia dengan alasan tersebut, baik pada masa lalu ataupun sampai hari ini. Sudah tidak perlu diragukan lagi bahwa kekayaan bangsa ini melebihi apa yang dibutuhkan seluruh rakyat yang tinggal dalam batas territorial. Tapi idelalitas ini menjadi senjang dengan banyaknya rakyat miskin, pengangguran dalam jumlah besar, kurs mata uang yang rendah dan tingkat korupsi yang kian melangit.
Realitas tersebut semakin terlihat parah dengan banyaknya tindak criminal di hampir setiap belahan bumi Indonesia. Kriminal dengan tingkatan beragam serta modus operandi yang kian kreatif dan efisien. Lebih parahnya adalah alasan setiap dari mereka hampir semua sama, yaitu persoalan kampung tengah (perut). Ini tentu menjadi ironis dengan realitas bangsa yang kaya. Apa jadinya bangsa yang begitu kaya ini jika sebagian besar rakyatnya berada dalam belenggu pengangguran dan hidup dalam keadaan financial yang minim dan tidak wajar. Belum lagi para TKI yang bejibun, sehingga tak jarang kita dengar merekapun menjadi korban tindak kekerasan majikan mereka di negeri nan jauh di mata.
Sebagai rakyat yang hidup dalam kubangan media yang kian hari kian tidak enak disimak, tentu timbul banyak sekali pertanyaan yang hipotesis. Pertanyaan mendasar adalah mengapa keadaan Negara ini kian hari semakin memburuk dalam banyak hal. Dari mulai yang bersifat natural seperti banyaknya bencana yang terus saja melanda negeri yang indah permai ini, sampai pada bencana sistemik seperti banyaknya hak-hak rakyat yang dirampas secara tidak wajar. Pelaku perampasan ini tentu tidak sesepele penjambret yang beroperasi di bus-bus kota atau pasar-pasar tradisional. Pelakunya lebih terdidik dan yang jelas mempunyai kedudukan tinggi dalam hal kekuasaan. Mereka mampu menguasai banyak lini yang berpengaruh dan menjadikanya instrument pemuas kepentingan pribadinya sendiri. Dalam banyak kesempatan kita sering menyimak istilah mengerikan ini dengan sebutan Korupsi.
Secara psikologis, seseorang yang digelari koruptor lebih merasa nyaman dengan gelar tersebut ketimbang jika digelari maling. Gelar koruptor terdengar lebih elegan dan professional memang, namun jika di inspeksi, kesalahan mereka justru lebih fatal dari sisi pengaruh dan banyaknya hak yang dirampas. Lalu, apa sebenarnya motif yang melatar belakangi ketegaan mereka dalam melakukan hal senista itu. Mereka mungkin tak sempat berfikir bagaimana jika yang mereka lakukan itu terjadi pada diri mereka sendiri, saat kepemilikan haknya dirampas dan setiap hari hidup dalam jambangan financial yang jauh dari kata cukup.
Dari sisi mentalitas, para pejabat di birokrasi kita cenderung bermental pengusaha dalam pemahaman prinsip-prinsip ekonomi yang matang. Bukankah kita semua sudah mengenal bahwa prinsip dasar ekonomi adalah mengeluarkan modal sesedikit mungkin untuk mendapatkan keuntungan sebesar dan sebanyak mungkin. Dalam hal politik, keuntungan dapat diwujudkan dalam banyak hal. Bisa saja dalam bentuk pengaruh dan pencitraan, namun pada akhirnya semua hal tersebut kemudian diaplikasikan sebagai instrument peraup keuntungan financial dalam jumlah yang menggairahkan.
Mentalitas seseorang itu sendiri banyak dipengaruhi dari pengetahuan yang dibangun dan dipahaminya sendiri. Pengetahuan itu bisa berasal dari manapun, namun pengetahuan yang punya pengaruh significant dalam membangun paradigma hidup adalah pengetahuan yang diperoleh dari jenjang-jenjang pendidikan yang ia tempuh. Mari kita persingkat, seseorang yang ingin kaya seharusnya menempuh pendidikan yang bernuansa ekonomi sehingga outputnya adalah pengusaha yang competent. Sementara apa yang terjadi, kita ingin punya penghasilan besar perbulan, namun kita menempuh jalan yang tidak mengarahkan kita pada tujuan awal.
Atau lebih singkat lagi, ingin kaya jadilah pengusaha yang jujur dan terampil, bukan jadi pejabat yang korup. Pejabat seharusnya bermental pelayan yang terhormat, bukan menjadi ekonom yang tersesat. Negeri ini penuh dengan orang pintar namun tidak banyak yang mengerti. Negeri ini begitu kaya, namun rakyatnya terlalu rakus pada harta. Rakyat semakin lama hidup miskin dalam negeri yang kayanya minta ampun. Orang-orang yang tidak bermoral justru berada di tempat-tempat pembinaan moral. Tempat paling tidak aman justru kini berada di pos-pos keamanan. Dan mulai saat ini cobalah berpikir dengan sudut pandang yang berbeda kenapa begitu banyak orang sakit justru berada diantara dokter dan para perawat.
)* Penulis adalah Penggelisah bangsa dalam kebanggaan yang nista