WAJAH PARA PEMIMPIN

Oleh: Ahmad Rois)*

Tahun 2013 menjadi tahun transisi kepemimpinan, khususnya bagi provinsi Riau. Tanah melayu ini akan dihadapkan kepada sebuah pesta penuh janji dan pertanggungjawaban yang dinanti-nanti. Surat-surat pertanggungjawaban akan segera digelar di banyak sidang, baik yang digelar secara terbuka atau tertutup. Hiruk-pikuk kampanye BALON atau Calon gubernurpun akan segera kita temui diseluruh penjuru Negeri Gurindam 12 ini. Meskipun sebenarnya asap dari kobaran api politik ini sudah banyak merebak di pinggir-pinggir jalan dalam wujud baleho-baleho wajah para Calon Pemimpin Riau yang akan datang, paling tidak di sana tertulis 2013-2018. Sebagian visi dan misi mereka ada di sana, meskipun kebanyakan masih berbunyi seperti slogan yang penuh semangat, namun kosong sama sekali dari harapan masyarakat.

Riau Pos, salah satu Surat Kabar paling terkemuka dan banyak mendapat perhatian para pembaca di Riau secara umum, juga terkena dampak peliknya persaingan politik yang akan berlangsung tidak lama lagi ini. Jajak pendapat di gelar di salah satu kolom Aspirasi Pembaca. Meskipun di kolom tersebut dibubuhi keterangan “tidak bersifat ilmiah dan hanya mencerminkan opini para pembaca”, tapi kolom ini, menurut penulis akan mempunyai pengaruh yang signifikan bagi para pembaca secara umum, dan khususnya bagi para BALON GUBRI 2013-2018 tersebut. Karena bagaimanapun, media sejak dulu selalu mempunyai fungsi yang vital dalam mengarahkan dan membentuk opini masyarakat. Media selalu mempunyai posisi yang strategis – dan dianggap netral – dalam banyak hal, terutama yang berkaitan dengan persoalan politik, yang kental akan nuansa keberpihakan.

Kembali kepada masalah kepemimpinan di Negeri ini, secara umum, ada tiga fase sejarah kepemimpinan yang dimiliki bangsa Indonesia. Pertama, masa Orde Lama, yang sebenarnya adalah klaim dari Orde Baru untuk memberikan sebutan akrab bagi masa kepemimpinan Soekarno. Kedua, masa Orde Baru itu sendiri, yang dikuasai oleh Soeharto dengan Golkar, yang saat itu menjadi sistem politik yang paling mutahir pada masanya, sebelum pada akhirnya tahun 1990-an akhir suaranya ‘pecah’ dan nyaris hanya tinggal 40% saja. Ketiga, Masa Reformasi, yang ditandai dengan runtuhnya rezim Orde Baru, kemudian sistem demokrasi-pun mulai terdengar gaungnya sampai sekarang di seluruh penjuru Negeri.

Gambaran singkat mengenai ketiga fase ini mencerminkan bagaimana sistem politik yang berlangsung disetiap masanya, sebelum akhirnya kita sampai pada sebuah sistem yang dipuja-puja sebagai sistem terbaik, Demokrasi. Lantas sampai hari ini, demokrasi seperti apakah yang sebenarnya sedang dijalankan sebagai sistem politik Negeri ini? Dalam beberapa hal, demokrasi menjadi sesuatu yang positif, misalnya; memberikan kebebasan berpendapat. Tapi dalam perjalanannya, demokrasi banyak menimbulkan masalah-masalah baru yang bahkan menjadi lebih sulit dikontrol dan diselesaikan. Baik dari dalam pemerintahan itu sendiri, atau dari luar pemerintahan sebagai bagian dari sebuah sistem ‘kerakyatan’.

Secara awam, demokrasi dapat dimaknai sebagai sebuah sistem kerakyatan atau sebuah sistem pemerintahan yang berazas kerakyatan. Dari sana jelas bahwa kata kunci sistem demokrasi adalah rakyat atau kerakyatan. Tapi mengapa akhir-akhir ini perhatian kita akan hal ini seakan disamarkan dengan definisi-definisi tentang demokrasi yang rumit sekali untuk dipahami, apalagi diterapkan dalam bentuk praktis pemerintahan. Bahkan parahnya, kata ‘kerakyatan’ sudah dengan sengaja diganti menjadi ‘kekuasaan’ atau ‘penguasaan’. Demokrasi menjadi celah yang luas untuk memperkaya diri dan kelompok dengan manisnya kata-kata ‘untuk rakyat’. Hal ini menjadi ironis ketika sebuah sistem yang seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, menjadi berbalik menyengsarakan rakyat dan memperkaya kaum berdasi.

Dalam hal ini, tidak terlalu bijak untuk saling menyalahkan satu elemen dan elemen lain yang semuanya tersimpul dalam sebuah sistem. Tapi yang jelas, pemerintah, khususnya para pemimpin menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam menerapkan sistem ini sebagaimana mestinya. Pemimpin menjadi masinis yang bertanggungjawab penuh agar setiap gerbong di belakangnya tetap berjalan di atas rel yang sudah ditentukan. Artinya, setiap penumpang yang ada dalam setiap gerbong juga merupakan tanggungjawab penuh seorang masinis untuk mengantarkan mereka sampai pada tujuan. Tujuan tersebut adalah kesejahteraan, keadilan, kemakmuran dan kebahagiaan.  Jadi jelaslah dalam hal ini pemimpin adalah elemen paling penting dalam sistem ini.

Kategori Pemimpin

Lantas pemimpin yang bagaimanakah yang kita butuhkan saat ini? Yang bisa mengemban amanah rakyat dan mengantarkan mereka sampai pada tujuan akhir, kesejahteraan. Meskipun Riau adalah Negeri Melayu, tidak ada salahnya kita melihat filosofi kepemimpinan dari tanah Jawa, toh kita juga masih satu rumpun kesatuan Indonesia. Atau paling tidak, kita dapat memperkaya wawasan kita tentang kebudayaan suku bangsa lain, sehingga kita tidak seperti ‘katak dalam tempurung’.

Dalam Babad Tanah Jawa, diterakan bahwa ada tiga kriteria seorang pemimpin. Pertama, pemimpin yang nistha, mereka adalah para pemimpin yang cerdik dan banyak akal. Tapi sayangnya, kecerdikan mereka lahir dari kegilaan mereka untuk memperkaya diri mereka sendiri atau golongannya. Pemimpin semacam ini biasanya gila kekuasaan dan kekayaan. Pemimpin model ini biasanya menganut paham sekulerisme atau cinta keduniawian yang fana. Dia berusaha untuk menyunat sebagian besar hak-hak rakyat dengan dalih sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya, tujuan tersebut tampak menjadi sesuatu yang legal dan dengan mudah ia kuasai begitu saja untuk kepentingannya sendiri. Pemimpin semacam ini punya ribuan pretensi dan alibi. Ia sangat pandai bersilat lidah dan mengambil hati rakyat, tetapi sebenarnya adalah pamrih yang pada akhirnya akan menyengsarakan rakyatnya sendiri secara terus-menerus.

Kedua, pemimpin yang madya, pemimpin tipe ini memiliki ciri dua hal; 1) dia mau memberikan sebagian hartanya kepada rakyat. Pemberian ini disertai niat yang tulus tanpa pamrih apapun. Pemimpin seperti ini tidak berusaha memperkaya dirinya sendiri atau kelompoknya. Apalagi jika ia menjumpai rakyat yang masih di bawah standar kesejahteraan, hatinya akan segera luluh dan berusaha menggunakan kekuasaannya untuk memberikan kesejahteraan terhadap rakyatnya; 2) pemimpin madya cenderung berlaku adil dalam memberikan hukuman kepada rakyatnya yang bersalah. Dimatanya, tidak ada satupun dari warga negaranya yang kebal hukum, bahkan dirinya sendiri. Pemimpin seperti ini sangat peka terhadap HAM dan tidak suka main hakim sendiri.

Ketiga, pemimpin utama, pemimpin ini memiliki karakter dan berbudi bawaleksana. Artinya, mau memberikan sesuatu kepada rakyat secara ikhlas lahir dan batin, tanpa pamrih sedikitpun. Tujuannya hanya mengabdi sepenuhnya kepada rakyat dan Sang Gusti. Dia menempatkan dirinya sebagai pelayan bagi rakyatnya, tidak gila kekuasaan dan kehormatan. Ia tidak suka mengobral janji, baginya janji adalah sesuatu yang sakral dan harus dipertanggungjawabkan dihadapan Sang Gusti di kehidupan yang akan datang. Ia menjunjung tinggi sikap yang rendah hati dan kesederhanaan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Baginya, kepemimpinan adalah amanah dan tanggungjawab yang besar dan mulia.

Dari ketiga gambaran di atas, tugas kita kemudian adalah mengenali setiap pemimpin atau calon pemimpin kita yang akan datang. Jangan sampai dikemudian hari kita terjebak kedalam sejarah pahit kepemimpinan kita di masa lampau. Seringkali saya menulis “dalam hidup, tidak ada satupun yang dapat kita lakukan selain memilih, bahkan saat kita memutuskan untuk tidak memilihpun, itu merupakan sebuah pilihan, pilihan untuk tidak memilih”. Maksudnya jelas, hidup adalah tentang apa yang kita pilih dan seserius apa kita menjalani pilihan itu.

Akhirnya, tanggung jawab memilih pemimpin ada di tangan kita selaku rakyat dan peserta demokrasi. Memilih pemimpin adalah tugas hati nurani, tidaklah bijak mendengarkan janji-janji manis tanpa bukti dikemudian hari. Rakyat Indonesia sudah tidak lagi buta dalam menilai para pemimpin. Transparansi media dalam mengulas banyak hal mengenai perpolitikan di Negeri ini menjadi tayangan yang mendidik, terutama dalam hal pemahaman politik. Media cetak secara umum biasanya lebih tegas dalam mengulas banyak hal. Keberanian dan keterbukaan media secara umum menjadi jamuan positif bagi para pembaca. Sekali lagi, demokrasi adalah sistem kerakyatan, bukan sistem yang justru menjadi longgar bagi para penguasa untuk meraup kepentingan perut.

)* Penulis adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

Iklan

Tentang Achmad Rois
Achmad rois adalah jiwa yang sedang berusaha menjadi pengertian baik

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: