Daerah Wisata yang Terisolir

Daerah Wisata yang Terisolir

Daerah Wisata yang Terisolir

Oleh: Achmad rois)*

Minggu, 25 April 2010. Kerinduan dan kejenuhan akhirnya mengantarkan saya pada sebuah ide; ide untuk pergi jalan-jalan. Sebuah pilihan tepat setelah beberapa bulan terakhir disibukkan oleh berbagai aktifitas yang cukup menguras tenaga, pikiran dan tentu saja biaya. Pagi itu saya teringat pada sebuah tempat di pesisir selatan, sekitar 35 kilometer dari pusat kota Tulungagung tempat kampus saya berdiri megah. Tempat ini biasa saya kunjungi bersama teman-teman hampir tiap hari minggu, namun kebiasaan tersebut sudah cukup lama saya tinggalkan sejak hampir empat tahun yang lalu. Kami dan pengunjung yang lain biasanya hanya duduk-duduk di tepi pantai menikmati derasnya ombak dan deruan angin laut yang sejuk. Meskipun cukup sering kesana, kami hampir tak pernah memutuskan untuk mandi di pantai atau sekedar bermain air di pinggiran ombaknya. Itu bukan karena kami tak bawa basahan atau baju ganti, tapi memang keadaan air dan lingkungan di sekitar pantainya mengurangi nafsu kami untuk bersenang-senang secara utuh seperti yang kami lakukan di pantai-pantai lain.
Pantai Sidem, begitu sebutan akrabnya di telinga. Pantai yang terletak di desa Sidem, kecamatan Besuki ini selalu ramai dikunjungi para rekreator, terutama pada hari sabtu dan minggu atau di hari-hari libur nasional lainnya. Apalagi dihari pergantian tahun, biasanya ribuan pengunjung datang kesana, entah dengan tujuan apa, tapi yang pasti bermacam-macam. Pantai ini termasuk salah satu warisan wisata bahari yang dimiliki kabupaten Tulungagung. Tidak jauh dari sana, kira-kira 2 kilometer juga terdapat sebuah pantai yang hampir mirip dengan Sidem, namun di sana keadaannya sangat jauh berbeda. Padahal secara geografis, letak kedua pantai tersebut sangat strategis jika dikelola secara maksimal. Jalan masuknya bisa dilalui oleh semua kendaraan, baik kendaraan wisata, travel atau kendaraan pengangkut hasil bumi dan laut. Namun kenapa keadaannya harus berbeda jauh dibanding pantai Popoh yang letaknya tidak begitu jauh dan jalan keluar masuknya juga berada dalam satu jalur.
Menurut pengamatan penulis, jika kedua pantai ini dikelola secara maksimal dan merata tentu akan menambah penghasilan daerah secara signifikan. Hal ini didukung oleh minat kunjung masyarakat sekitar ataupun luar kota tergolong stabil. Ditilik dari sudut tansportasi keluar masuk, jalur masuknya dibuat searah, terserah dari jalur selatan atau utara. Jalur masuk yang strategis adalah dari selatan karena jalur itu cukup mudah dijangkau dan dekat dengan pusat kota, sedangkan jalur keluarnya melalui jalur selatan. Kalupun pengunjung ingin berbalik dari utara keselatan setelah pintu keluar mereka juga akan menemui jalur yang sama, yah semacam jalur segitiga. Hal ini tentu mempermudah pengelola dalam mengoordinir kendaran yang masuk ataupun yang keluar. Singkat kata, tak akan ada kesulitan berarti dalam hal transportasi dan penertiban jalur keluar masuk.
Permasalahan lain yang justru perlu mendapatkan perhatian serius adalah mengenai lingkungan dan tata letak atribut wisata. Lingkungan di sekitar pantai Sidem ini tergolong kotor, kumuh dan tak sedap dipandang. Sebab itu diawal tadi saya katakan meski sering kesana, kami tak pernah memutuskan untuk mandi di pantai. Pesisir pantai ini cukup luas dan tergolong indah untuk ukuran pantai-pantai terisolir. Saya katakan terisolir karena saya prihatin dengan minimnya perhatian pemerintah dan masyarakat setempat terhadap lingkungan disekitar pantai. Padahal seharusnya mereka bisa menjadikan desa mereka menjadi desa wisata atau apalah sebutannya, selain sebagai masyarakat yang memiliki mata pencaharian utama sebagi nelayan. Toh bagaimanapun keuntungan apapun juga untuk masyarakat setempat.
Peluang ini yang tidak disikapi secara positif oleh masyarakat setempat dan pemerintah daerah. Padahal jika berbicara mengenai keuntungan financial, penghasilan masyarakat daerah wisata tentu tak kalah dengan penghasilan para nelayan, Bali sudah mencontohkannya. Lagi pula yang pergi melaut biasanya para suami dan pemuda, sedangkan para istri lebih banyak berdiam diri di rumah. Jika peluang seperti ini dimanfaatkan secara tepat dan positif, ibu-ibu dan anak gadisnya bisa berjualan cenderamata khas daerah atau makanan dan minuman sebagai bentuk pelayanan jasa terhadap para pengunjung. Penyediaan tempat-tempat mandi bagi para pengunjung setelah mandi di pantai, atau jasa-jasa lain yang membuat pengunjung lebih merasa nyaman dan betah seperti penginapan dan rumah makan. Kalau sudah demikian, peluang pengangguran akan semakin menipis dan perekonomian penduduk yang tadinya minim sedikit demi sedikit akan terangkat. Bukankah saat ini pengangguran masih menjadi pemicu utama tingginya rating kemiskinan di Negara kita?
Fenomena seperti ini justru jarang disikapi oleh masyarakat dan pemerintah setempat. Padahal dari sisi produktifitas, Tulungagung tergolong masyarakat yang memiliki kreatifitas dan produktifitas yang tinggi. Terbukti berbagai industri dari yang kecil, menengah sampai yang tingkatannya internasionalpun ada di Tulungagung seperti produksi marmer. Masyarakatnya yang ramah dan sopan akan menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung, terutama yang datang dari luar daerah (domestik) bahkan manca negara. Belum lagi keadaan lingkungan sekitar pantai yang masih alami, sejuk dan sangat menyegarkan.
Meskipun demikian, perbaikan disana-sini tetap harus diadakan. Seperti pengadaan sinyal telekomunikasi yang masih tergolong sulit. Pelebaran dan perbaikan jalan, penataan kota yang masih terlihat semrawut dan kumuh. Kebersihan lingkungan dan kesadaran masyarakat yang tergolong minim membuat masyarakat setempat cenderung apatis terhadap daerahnya. Menghadapi hal ini, pemerintah sebagai birokrasi yang paling bertanggung jawab harus lebih dekat dengan masyarakat. Penyuluhan-penyuluhan kebersihan, keamanan dan ketertiban daerah harus lebih gencar disosialisasikan. Aroma daerah wisata harus tercium oleh setiap pengunjung yang datang, meskipun hanya sekedar lewat. Atau kalau ingin maksimal, kenapa harus malu memasang iklan di radio, televisi atau surat kabar bahwa di desa Sidem, kecamatan besuki, Tulungagung ini ada sebuah daerah wisata yang tak kalah indahnya dengan pantai-pantai lain di Indonesia.
Untuk mencapai tujuan jangka panjang seperti ini tentu bukan hal yang mudah dan akan memakan waktu yang tidak sebentar. Peran serta serius dari seluruh lapisan masyarakat, dan (terutama) pemerintah tentu menjadi sesuatu yang penting untuk diperhatikan. Budaya Guyub Rukun sekaligus slogan kota Tulungagung harus benar-benar dipribumisasikan sampai ke akar. Kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi? Mau sampai kapan daerah-daerah yang berpotensi wisata seperti ini terus dibiarkan terisolir, tanpa tindak lanjut yang jelas dan peluang yang sia-sia terbuang. Akhirnya, yang sedikit tadi adalah harapan kami dengan sangat sebagai masyarakat yang peduli dan prihatin terhadap lingkungan dan keadaan social. Kenapa harus dibiarkan terisolir jika sebenarnya ada peluang menciptakan daerah yang maju dengan masyarakatnya yang mapan. Toh, penulis sudah mengamatinya hampir empat tahun, tapi sama sekali tak ada yang berubah sampai sekarang.

)* Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.

Iklan

GARA-GARA BOLA

GARA-GARA BOLA

GARA-GARA BOLA


Oleh: Achmad rois)*

Sampai hari ini, sepakbola masih menjadi salah satu olahraga yang paling spektakuler dan memiliki paling banyak peminat dari seluruh penjuru dunia. Sepakbola menawarkan banyak konsep keserasian dalam tatanan realitas dan mengundang fenomena tertentu diberbagai kalangan. Konsep utama yang ditanamkan sebagian olahraga adalah kebersamaan dan kerjasama tim, termasuk sepakbola. Sisi sportivitas menjadi doktrin yang senantiasa ditanamkan dari pelatih sampai pemain. Kejujuran, motivasi, mental pejuang, semangat, kekompakan, pantang putus asa, juga menjadi sisi lain dari nilai-nilai moral yang begitu indah jika diterapkan dengan baik oleh para pemain dan awak tim. Tapi pertanyaannya, sudahkan nilai-nilai moral yang begitu indah ini tertanam dengan baik dalam jiwa setiap tim dan supporternya?
Beberapa realitas sosial yang terjadi belakangan ini barangkali sudah cukup untuk menjawab pertanyaan diatas. Tawuran antar warga yang belakangan ini baru saja terjadi di Jakpus sudah cukup mengatakan ‘belum’ terhadap pertanyaan yang saya ajukan. Jika sempat berpikir, apa mungkin para pemain atau tim yang kita bela mati-matian itu tahu bahwa kita sedang berjuang atas namanya, tentu saja tak semudah itu. Tapi kenapa kita masih saja bersikeras mempertahankan pendirian kita yang konyol. Padahal, cukup dengan bertindak wajar saja kita sudah cukup disebut supporter yang baik dan loyal. Toh tim yang kita bela sebenarnya tidak sama sekali mengharapkan kita berlaku demikian, bertindak onar dan lepas kendali. Hal ini justru akan merusak citra tim yang sebenarnya kita bela nama baiknya tapi justru hal yang sebaliknyalah yang akan menimpa tim kesayangan kita; nama yang tak terhormat dengan supporter-supporter brutal.
Peristiwa memprihatinkan ini ditambah lagi dengan ulah supporter ternama, “Bonek”. Siapa yang tak kenal sebutan bagi supporter tim Persebaya itu, nama yang beberapa bulan terakhir mengundang perhatian seluruh media masa karena maut yang menimpa supporternya disebuah stasiun kereta api. Kefanatikan mereka terhadap tim terlalu sering merepotkan banyak pihak, namun mereka mungkin belum sempat menyadarinya. Pengawalan yang ketat dari pihak kepolisian saat timnya bertanding adalah wujud kekhawatiran yang nyata dari ulah mereka. Pendukung tim lain yang dipaksa khawatir jika timnya menang melawa Persebaya. Belum lagi kenyamanan para penonton lain yang hanya menonton untuk keperluan mengisi waktu luang menjadi terganggu. Dan masih banyak pihak lain yang memiliki kekhawatiran sama, termasuk tubuh tim kebanggaan mereka sendiri, tapi sekali lagi, mungkin mereka belum benar-benar menyadari hal itu. Terlintas di benak kita bahwa benarkah kefanatikan memang menjadi penyulut utama emosi supporter sehingga rela bertindak sedemikian brutal. Sebenarnya tak harus demikian, tapi barang kali itulah jalan terbaik yang mereka yakini untuk menunjukkan loyalitasnya terhadap tim kebanggaannya.
Beberapa hari yang lalu, terdengar kabar bahwa “Bonek” kembali berulah di Mojokerto. Akibat ulah mereka, tiga kereta api harus menjadi korban fanatisme mereka terhadap tim. Kebrutalan mereka terbukti kembali merepotkan pihak-pihak yang seharusnya tak terlibat. Jasa kereta api yang seharusnya mendapat ucapan terimakasih justru mendapat imbalan yang merugikan. Padahal, berkat jasa mereka; kereta api para bonek dapat menikmati setiap pertandingan dimanapun tim kesayangannya berlaga. Namun, entah dengan alasan apa kalangan-kalangan tak bersalah ini harus menjadi korban ideology yang tak jelas dasar pemikirannya dari mana. Emosi menjadi satu-satunya Tuhan yang selalu didahulukan dan dibela kebenarannya. Kekerasan juga menjadi amal bakti kepedulian terhadap tim sebagai bukti kasih sayang mereka. Inikah wajah sepakbola Indonesia secara umum? Tim-tim terbaik dengan brutal manianya, menghalalkan segala cara untuk mendukung tim tanpa memperhatikan bahwa sebenarnya lebih banyak pihak yang justru akan dirugikan.
Masalah ini seharusnya jadi pertimbangan tersendiri dari entah siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas semua kejadian memalukan ini. Kejadian yang justru merusak citra olah raga nasional kita sendiri. Hal ini sudah tentu terlalu jauh bertolak belakang dengan adab ketimuran kita, sebagai bangsa yang sopan, ramah dan berbudi santun. Belum lagi asas-asas sportivitas olahraga yang kita langgar, tak ada lagi aroma rekonsiliasi seperti yang tertera pada setiap lebel, “Pertandingan Persahabatan”. Tapi tindak lanjutnya tentu ada diatas tangan kita bersama sebagai bangsa yang mencintai olahraga sebagai ajang sportivitas dan naluri kebersaudaraan, terutama didunia sepakbola tanah air.
Disisi yang lain, olahraga ini bahkan tidak hanya diminati oleh para pemain dan penonton; atau supporter yang berprilaku seperti maniak. Ternyata banyak pula kalangan lain yang memanfaatkan keadaan dan kefanatikan ini menjadi sisi yang menguntungkan diri mereka sendiri. Salah satu bukti nyata adalah adanya taruhan yang digelar dengan alasan agar pertandingan bertambah seru, padahal apa pengaruhnya taruhan dengan serunya pertandingan. Tentu saja ini cuma dalih sepihak dari pengais keuntungan terhadap kelemahan lawan bertaruh akibat kefanatikan yang tak terkontrol. Bahkan sampai ada organisasi yang mengontrol dan mengkoordinir taruhan-taruhan bola seperti ini.
Dari sisi agama, apakah ada agama yang membiarkan penganut taat nya untuk berjudi? Sedangkan berjudi termasuk kegiatan mengundi nasib. Yah, mengundi nasib dari setiap pertandingan bola bergulir; sepakbola. Judi jelas-jelas bukan sesuatu yang diperbolehkan oleh agama, bahkan Negarapun memiliki aturan yang ketat terhadap para pengundi nasib. Tapi kenyataannya sampai hari ini, perjudian jenis ini masih merajalela di berbagai lapisan masyarakat dan tingkatan umur. Mulai dari pengusaha, karyawan, mahasiswa sampai pelajarpun telah berani melakukan model judi yang terlihat sepele ini. Tingkat taruhannya memang berdasarkan kemampuan masing-masing individu dan provesi. Tapi pernahkah terpikir dibenak kita bahwa akibatnya bahkan lebih fatal dari jumlah taruhannya.
Beberapa hari yang lalu seorang bercerita tentang dirinya yang kalah taruhan. Dia, (ZF) sampai rela membohongi ibunya gara-gara kalah taruhan yang tak seberapa. Kebetulan jagonya Real Madrid dikalahkan Barcelona beberapa hari yang lalu, dan dia harus membayar uang taruhan yang tak tergolong besar, hanya 100.000 rupiah. Namun untuk ukuran pelajar yang tak punya pekerjaan, tentu ini bukan jumlah yang kecil. Padahal yang saya tahu, ZF sama sekali tak pernah bermain bola bahkan mungkin menyukainya pun tidak. Tapi saat saya tanya apa alasannya bertaruh, dia menjawab, “Bertaruh apa harus bisa main? Enggak to? Lagian lumayan, kan bisa tambah-tambah uang jajan kalo menang”, terusnya dalam bahasa tak bersalah. Untung saja ibunya tergolong ibu yang pemurah, tanpa pikir panjang ibunya memberikan uang itu dengan alasan untuk perpisahan sekolah, padahal dia masih kelas dua STM. Mungkin ibunya juga kurang perhatian dengan ZF sampai tak tahu anaknya sekolah kelas berapa.
Hal diatas adalah contoh kongkrit lunturnya moral dan budaya ketimuran kita hanya gara-gara bola. Prilaku tercela seperti judi berbuah bohong ini bisa saja terjadi pada ribuan anak lain diseluruh Indonesia. Padahal, disekolah mereka selalu diajarkan akhlak yang baik, terutama untuk bekerja keras dan jujur. Bahkan nilai ini juga diajarkan dalam lapangan bola, bahwa untuk menang kita harus bekerja keras dan tetap jujur (sportif). Namun yang terjadi justru bertolak belakang dengan nilai-nilai yang diajarkan begitu mulia disana. Realita memprihatinkan ini sudah selayaknya menjadi perhatian semua pihak, baik dari kalangan pemain, tubuh tim, supporter, dan terutama orang tua itu sendiri. Agar citra olahraga terutama sepakbola di negeri ini tidak tercemar oleh kepentingan oknum-oknum yang memanfaatkan moment untuk mancari keuntungan pribadi. Akhirnya, tak akan ada lagi tindak criminal seperti tawuran dan bentrok antar pendukung atau pemain, perjudian kelas teri sampai kakap, kebohongan tercela, bahkan kematian-kematian para supporter tolol yang menuhankan loyalitas tim sebagai dalih yang dianggap mulia.

)* Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

Wisata “Suramadu”

Wisata “Suramadu”

Wisata “Suramadu”

Oleh: Achmad Rois)*

Dua hari yang lalu, dari sebuah kota terpencil di kabupaten Trenggalek. Kabarnya berawal dari musyawarah kecil dikantor desa, muncul sebuah ide konyol tapi kelihatannya bakal punya pengaruh positif. “Bagaimana kalau kita rekreasi ke Suramadu, kita kan baru pernah melihat fotonya dikoran”, celetus salah seorang pamong desa yang saat itu sedang membicarakan rencana berlibur. Ide rekreasi ini timbul karena saat itu para perangkat desa sedang melakukan evaluasi kinerja. Satu tahun yang lalu sejak terbentuknya kabinet, mereka merasa hubungan komunikasi dan emosional antar perangkat kurang harmonis. Sebab itulah ide melakukan rekreasi ini muncul dengan tujuan mempererat hubungan emosional antar perangkat. Karena tak dapat dipungkiri bahwa harmonisnya hubungan emosional antar perangkat desa berbanding lurus dengan maksimalnya kinerja pemerintahan desa.

Ide tersebut mendapatkan tanggapan positif dari hampir semua perangkat, meskipun anggarannya diambil dari kantong pribadi mereka masing-masing. Seperti pak DPR saja, yang katanya sering jalan-jalan keluar negeri untuk kunjungan kerja, namun bedanya, mereka menggunakan anggaran negara bukan dari kocek pribadi. Faktor lain yang menyebabkan ide rekreasi ini disambut baik adalah faktor kuota perangkat. Sebagian besar perangkat desa memang berasal dari kaum ‘hawa shoping’; perempuan. Karena memang kepala desanya juga berasal dari ras yang sama. Selain hobi rekreasi, secara kultur perempuan memang memiliki kecendrungan hobi berbelanja. Tapi tentu saja ini tidak menimbulkan masalah besar, tak akan ada likuidasi Bank atau talangan dana seperti Century karena yang mereka gunakan adalah penghasilan pribadi.

Suramadu mengingatkan kita pada beberapa hal. Peresmian yang diiringi demontrasi, dua hari kemudian baut-bautnya raib dicuri oleh oknum tanpa rasa tanggung jawab. Kerena mungkin semasa sekolah guru-gurunya lupa mengajarkan arti tanggung jawab. Beberapa minggu menjadi pembuka dan penghias halaman awal surat kabar, kemudian menjadi kabar yang hampir setiap hari disiarkan langsung ditelevisi. Berbagai reaksi timbul dari kalangan masyarakat sekitar ataupun yang jauh dari lokasi Suramadu. Suramadu adalah jembatan yang menghubungkan antara pulau jawa dan madura. Tujuan utamanya dibangun tentu untuk memperlancar dan mempermudah arus transportasi dari pulau jawa ke madura. Karena jalan adalah urat nadi dan sarana mobilitas ekonomi disebuah negara.

Beberapa hal yang menurut penulis menarik untuk diperhatikan adalah tentang organisasi pemerintahan terkecil dalam sebuah negara; pemerintahan desa. Pemerintahan yang sangat kecil dari segi ruang lingkup pemerintahan ataupun konflik politik. Meskipun sedikit, tentu ada sifat politiknya. Tapi hal itu sangat jarang menjadikan sebuah desa semrawut karena fanatisme masyrakat terhadap kandidat politiknya. Kalau saja hal seperti ini terjadi di sejuta desa saja yang ada di Indonesia, mungkin cita-cita kemakmuran dan keamanan negara akan terwujud. Tak ada ambisi berlebihan, tak ada cara-cara saling menjatuhkan atau usaha serius kriminalisasi. Semua berjalan begitu harmonis dan tak terlalu fanatis.

Desa kecil seperti Gandusari, menyadari pemerintahannya tak harmonis. Kemudian ide rekreasi muncul untuk memperbaiki keadaan, namun tanpa merugikan pihak-pihak lain. Jika ditelisik, mungkin tak akan ada pengaruh serius terhadap negara jika desa kecil ini pemerintahannya kacau balau. Tapi kesadaran mereka untuk melakukan perbaikan menjadikan semuanya terlihat serius. Nasionalisme lahir dari rasa memiliki yang tinggi terhadap desa dan negaranya. Sungguh ide yang brilian dan nasionalis.

Sayangnya, pemerintahan negara yang ruang lingkupnya lebih luas dari mata kita memandang ini tidak menyadari bahwa hari ini mereka sedang terjebak dalam masalah serius. Fanatisme PARPOL yang berlebihan menjadi motivasi utama perpecahan. Tak ada lagi tegur sapa dan peluk tulus. Ketulusan hanya terjadi beberapa detik seiring dengan percikan lampu kamera para wartawan. Hubungan harmonis hanya tersembunyi pada senyum tak menawan; kebohongan. Kenapa tak coba adakan out bound atau entah apalah yang bisa mengobati sengketa politik. Meskipun tak sembuh, tapi paling tidak mereka mengerti bahwa negeri ini butuh tanggung jawab mereka sebagai wakil rakyat. Bukan pertentangan ideologi yang justru membuat negara ini hancur berantakan. Indonesia tak akan pernah jadi negara yang ‘baik’, jika keinginan untuk berubah kepada yang lebih ‘baik’ pun sama sekali tak ada.

)* Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM JADI IDOLA

INSTITUSI ISLAM JADI IDOLA

INSTITUSI ISLAM JADI IDOLA


Oleh: Achmad rois)*

Siang itu saya sedang berlibur dirumah nenek. Rumah nenek yang tidak begitu jauh dari pusat kota Tulungagung tempat saya kuliah membuat saya mudah pulang kapan saja saya mau, tentu untuk mengunjungi beliau. Tepat didepan dan samping kiri (timur) rumah beliau terdapat sebuah sekolah yang setiap hari diramaikan oleh anak-anak usia lima sampai enam tahun. Tanpa saya sebutkan, tentu anda dapat dengan mudah menebak sekolah apa yang saya maksud. Yah, tepat sekali. Sebuah Taman Kanak-kanak (TK). Sebuah sekolah yang mengajarkan pelajaran-pelajaran dasar sebelum masuk ke Sekolah Dasar (SD). Singkatnya, sebuah sekolah yang mengajarkan warna, aksara, angka, bentuk benda-benda, kendaraan dan lain-lain dalam kemasan yang menyenangkan. Bermain, semacam itulah sebutan para guru-guru sabar itu. Atau lebih lengkapnya, Belajar sambil Bermain, atau Bermain sambil Belajar, terserahlah apa nama tepatnya untuk kemasan menarik itu.

TK ini terletak disebuah desa yang mayoritas penduduknya adalah penganut muslim yang taat. Pemiliknya pun adalah seorang pemuka msyarakat yang cukup disegani didaerah tersebut. Hal ini mungkin menjadi salah satu faktor utama kenapa sekolah ini berbeda dengan kebanyakan sekolah yang lain. Sekolah ini adalah lembaga swasta yang memiliki fokus pembelajaran dan penerapan agama islam sebagai landasan utamanya. Sekolah yang mengajarkan tendensi pokok bagi penganut Islam yang taat, misalnya rukun Islam dan Rukun Iman sebagai mata pelajaran wajibnya. Membekali murid-muridnya dengan doa-doa sehari-hari, bacaan-bacaan sholat dan dzikir. Sekolah ini benar-benar berbeda dengan sekolah-sekolah yang saya pernah temui sebelumnya.

Sekolah yang terletak didesa Gombang, Kec. Pakel, Kab. Tulungagung ini memiliki kebiasaan yang menurut saya cukup unik sebelum membiarkan siswa-siswanya masuk kedalam kelas untuk mendapatkan materi pembelajaran. Seperti sekolah-sekolah pada umumnya, sebelum masuk kelas siswa selalu dibariskan didepan kelas untuk diberi wejangan konstruktif. Tapi berbeda dengan TK Islam Jati Salam ini, murid-muridnya dibariskan didepan kelas kemudian menghafalkan Asmaul Husna, surat-surat pendek dan doa sehari-hari. Kegiatan seperti ini berlangsung sekitar 30 menit setiap pagi. Barulah setelah itu wejangan konstruktif pun dilontarkan oleh kepala sekolah atau majelis guru yang bertugas.
Siang itu pukul 12.13 WIB, beberapa orang tua mulai berdatangan untuk menjemput anak-anak kesayangannya pulang. Sebagian berhenti dibawah pohon rindang timur kantor TK Islam tempat biasa mereka menunggu. Sebagian yang lain duduk diserambi depan rumah nenek yang memang lebih teduh dibanding halaman sekolah. Saya berbasa basi dengan salah seorang wali murid yang duduk diserambi rumah nenek. “Mari pak, silahkan masuk”, sapa saya dalam bahasa jawa yang lembut. “Tidaklah, terima kasih, saya disini saja lebih sejuk kok”, jawabnya sopan. Kelihatannya anak yang mau dijemputnya ini adalah buah cinta dari malam pengantinnya 1 atau 2 tahun yang lalu dengan wanita yang dicintainya. Bapak itu masih terlihat muda, cukup bergairah dan kelihatannya terdidik.

Tanpa pikir panjang, saya duduk dan mencoba mengajaknya ngobrol. Dari mana pak?, Bantengan, jawabnya. Yang saya tahu Bantengan cukup jauh dari sini, lalu, “jauh ya pak? Kenapa kok nyekolahin anaknya disini pak?”. “Zaman sudah cukup tua mas”, jawabnya. “Anak-anak bakal susah dinasehatin kalau aqidahnya ngak kuat dari sekarang, susah nentuin yang benar sama yang salah. Takut anak-anak terjerumus mas, apalagi saya juga sering bepergian untuk cari kerja, ibunya juga jualan es campur di Bandung (sebuah kota kecamatan di kab. tulungagung). Kami berdua tak punya cukup waktu untuk memberinya pengertian tentang agama. Yah…saya cuma pengen kalau kelak saya mati, anak saya mau mendoakan saya supaya dosa saya diampuni dan masuk syurga”. Ditutupnya pembicaraan dengan tertawa lebar karena anaknya berlari datang kepelukannya. Ayo mas, saya pulang dulu. Iya pak, silahkan. Tanpa sempat mengucap terima kasih, saya pun masuk kekamar dan merenung.

Pertanyaan besar mulai timbul, benarkah demikian? Benarkah dunia sudah cukup tua sampai begitu sulit menentukan mana yang baik dan mana yang buruk? Tapi apa hubungannya?

Ternyata sekolah ini adalah sekolah yang tergolong cukup banyak diminati oleh seluruh lapisan masyarakat. Jumlah siswanya setiap tahun selalu bertambah, begitu juga gedung sekolahnya. Saya ingat waktu itu Bupati sempat berkunjung kesini sekedar melihat-lihat, mungkin. Kepala sekolahnya sering ngobrol dengan saya, “yang sekolah disini anak-anaknya PNS dari berbagai desa is, malah yang rumahnya jauh lebih memilih menyekolahkan anaknya disini dari didesanya, katanya disini ada pendidikan Islamnya”.

Masyrakat kita kini sudah cukup mengerti bagaimana memilih pendidikan untuk anak-anaknya. Mereka tidak hanya memandang IQ sebagai tujuan utama anaknya kesekolah. Tetapi SQ juga mulai disadari pentingnya oleh masyarakat. Kebobrokan moral generasi penerus bahkan sangat sulit dicegah darimana. Mungkin keputusan bapak tadi cukup bijaksana dan beralasan. Agama adalah faktor utama yang mesti mendapatkan perhatian maksimal dari seluruh kalangan masyarakat, termasuk pemerintah. Ketaatan beragama membuat penganutnya enggan bertindak brutal diluar batas norma dan nilai sosial keagamaan dalam menyikapi setiap permasalahan.

Pemahaman semacam ini layaknya dapat kita jadikan pelajaran. Bahwa pengalaman keagamaan adalah faktor yang memiliki pengaruh significan terhadap perwujudan cita-cita pendidikan bangsa yang bermoral dan berbudi luhur. Bahkan harus diterapkan sejak awal menikmati dunia sekolahan. Kebenaran saat ini sudah menjadi perbincangan yang sangat memprihatinkan. Rakyat sulit mempercayai pemerintah, pemerintah pun sulit memegang amanah rakyat. Mana yang mau diikuti, kalau semua sudah berpihak pada nafsu individu dan hanya berpikir tentang kepentingan golongannya sendiri. Nilai universal keagamaan yang mana yang akan diterapkan, sementara kita tetap saling mencaci saudara-saudara se-tanah air kita yang pergi ke tempat ibadah yang berbeda dengan kita.

REFLEKSI

Bangsa kita sudah sangat memprihatinkan, karena kebenaran mulai di nomer sekian kan. Keadilan hanya milik mereka yang berjas hitam, dan penindasan dirasakan hampir oleh setiap keluarga yang tidur hanya beralaskan kertas koran. Rakyat tak lagi punya panutan, yang seharusnya dianut pun kini tampaknya sudah kehilangan pegangan.

Mau marah silahkan, Mau apatis silahkan, Mau dukung juga silahkan,
Tapi kalau negara ini mulai dihancurkan, apa masih ada yang mau bilang “SILAHKAN” ?
Tapi yang penting sekarang, ayo sama-sama dulu kita renungkan.

)* Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.