KASIH IBU YANG TERLUPAKAN (Sebuah Renungan untuk Anak Negeri)
13 Januari 2013 1 Komentar
Oleh: Ahmad Rois)*
Bulan Desember boleh dibilang sebagai bulan yang penuh dengan kenangan. Bagaimana tidak, bulan ini adalah bulan perpisahan antara satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang. Bulan ini memiliki beberapa moment penting yang biasa diperingati oleh berbagai golongan. Misalnya, Hari Anti Korupsi se-Dunia yang jatuh pada minggu kedua bulan Desember, tepatnya tanggal 9 Desember, selanjutnya Hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember, dan Hari Natal bagi umat yang merayakannya pada tanggal 25 Desember.
Sebagai bulan terakhir, Desember menjadi bulan pengenang sebelas bulan yang telah berlalu. Sejarah yang lalu akan segera diukir dalam tumpukan arsip-arsip yang memiliki sedikit kemungkinan untuk dibuka lagi tahun depan. Lembaga-lembaga pemerintahan atau non-pemerintah sibuk menyiapkan laporan pertanggung jawaban mereka. Berbagai hal mereka lakukan, dari mulai rekapitulasi dana anggaran sampai menghabis-habiskan dana anggaran yang masih tersisa dengan mengadakan kegiatan fiksi atau kegiatan sungguhan yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Lembaga pendidikan sibuk menyiapkan rancangan proposal anggaran baru untuk tahun depan, sementara anggaran tahun ini sudah habis entah dalam “perut” siapa. Lembaga pertanian, pertahanan, sosial bahkan keagamaan pun bernasib sama, kehabisan anggaran entah dalam “perut” siapa.
Fenomena di atas seakan sudah menjadi tradisi yang sangat lestari dalam dunia orang-orang berdasi dan berjas rapi. Jadi tidaklah mengherankan apabila berita mengenai korupsi, masih kita dengar setiap hari di televisi. Mereka terlalu sibuk dengan urusan ini dan itu, sehingga lupa dengan tugas mereka di pemerintahan, apalagi dengan peringatan-peringatan hari besar yang hanya diperingati sebagai formalitas belaka, tanpa isi tanpa esensi, semua hanya bualan fiksi dalam tradisi yang sudah usang dan basi.
Hari Ibu yang Mulia
Hari Ibu kiranya menjadi hari yang ruhnya paling merasuk dalam hati nurani. Bagaimana tidak, sosok berambut panjang ini merawat kita bahkan sebelum kita lahir ke dunia penuh kebohongan ini. Matanya boleh terpejam setiap malam, tapi jiwanya selalu terjaga dalam buaian kasih sayang. Tapi sayang, perjuangan hidup mati itu begitu saja hilang dan kita lupakan setelah kita benar-benar terjerembab dalam kebohongan yang nyata dari sisi sekularisme dunia. Meski begitu, kasih sayangnya tak pernah berakhir hanya karena kita tak tahu balas budi. Ia tetap saja tegar dan menjaga kita dalam keadaan apapun, bahkan harapannya terus menaungi kita sampai kehidupan yang akan datang.
Tidak cukup kiranya penulis menuliskan betapa agungnya gambaran jiwa seorang ibu, tapi paling tidak, melalui tulisan singkat ini, kenangan kita akan masa kanak-kanak saat bermanja dipangkuan ibu menjadi sesuatu yang bernilai untuk meluluhkan hati kita yang kian membatu dalam gemerlapnya dunia dan segala kesibukannya. Tidak ada yang salah bagi kita untuk mengenang kembali masa kanak-kanak yang penuh dengan kemesraan dan kasih sayang ibu. Semua itu memang sudah selayaknya kita dapatkan pada masanya. Tapi hak-hak seorang ibu untuk bahagia dihari tua juga merupakan kewajiban kita selaku jiwa yang dibesarkan dengan kemuliaan jiwa seorang ibu.
Di sisi lain yang benar-benar berbeda, memang pernah kita jumpai beberapa kasus tentang pembuangan bayi, aborsi, trafficking dan semacamnya. Tapi ini bukanlah sesuatu yang terjadi karena hati nurani yang mati. Sebagian kasusnya justru bermula dari pergaulan yang salah arti, dan berujung pada penyesalan tanpa arti, karena semuanya sudah terjadi dan tidak bisa kembali lagi. Sebagian lagi terjadi karena tuntutan ekonomi, hubungan yang tidak direstui, dan alasan lain yang tidak dapat diterima otak sama sekali. Namun, semua itu hanya bagian kecil dari dunia ibu yang – sebut saja – khilaf. Semua itu bukanlah sifat asli dari sosok jiwa yang suci bergelar Ibu.
Tangisan Ibu Pertiwi
Dalam skala yang lebih luas, setiap anak yang lahir adalah anak zaman, setiap anak yang lahir adalah anak Negeri yang akan meneruskan perjuangan kedua orang tuanya. Anak-anak kita kelak akan menghadapi problema yang berbeda dengan problem-problem yang kita hadapi sekarang. Masalah yang terjadi di masa depan akan semakin kompleks, jadi perlu kiranya kita selaku orang tua menyadari kenyataan ini sebagai sesuatu yang pasti. Karenanya, bekal-bekal yang harus kita siapkan untuk anak-anak kita harus lebih canggih dan maju dalam arti yang luas. Dalam hal ini, pengetahuan dan ilmu agama adalah yang paling penting dari ilmu-ilmu yang lain. Karena agama adalah pengetahuan dan ilmu yang berlaku sebagai pedoman dan falsafah hidup.
Meski demikian, ilmu-ilmu yang lain bukan berarti tidak penting atau tidak perlu kita ajarkan, tetapi ilmu apapun itu harus selalu berada di bawah payung akidah dan akhlak yang baik. Ilmu apapun itu, jika sudah terlepas dari pengawasan agama, akan sangat mengkhawatirkan untuk disalah gunakan sebagaimana mestinya. Karena itu agama memiliki peran yang signifikan dalam banyak hal. Agama dalam hal ini bukan hanya sebatas pengetahuan atau ilmu yang selesai pada wilayah “daging”, tapi harus sampai kepada “ruh”. Dalam istilah pendidikan, tidak boleh hanya selesai dalam teori, tetapi harus aplikatif dan fungsional.
Berangkat dari pengetahuan di atas, mari kita kenang kembali apa yang sudah terjadi pada Negeri ini belasan bahkan puluhan yang lalu. Dimana Indonesia masih berada dalam masa penjajahan, saat Ibu Pertiwi dijamah dan diperkosa habis-habisan oleh Belanda dan Jepang. Masa itu kemudian berlalu menjadi masa-masa penuh kebahagiaan dalam naungan kemerdekaan. Tapi ternyata, penderitaan Ibu Pertiwi tak kunjung berakhir, saat segala sesuatu yang ada di atas Tanah dan Air ini dilimpahkan menjadi kekayaan Negeri yang melimpah ruah, anak-anak Negeri justru terlena dan lupa pada perjuangan Ibu Pertiwi.
Saat ini, fenomena pemerkosaan Ibu Pertiwi menjadi semakin brutal dan sadis. Seluruh kekayaan Negeri ini nyaris dijual habis pada investor asing yang tujuannya jelas untuk meraup keuntungan pribadi. Budaya luhur Bangsa yang kaya inipun tidak terawat dan lestari lagi, justru budaya-budaya kotor globalisasi semakin dipupuk untuk merusak kearifan Ibu Pertiwi. Nyanyian-nyanyian anak Negeri tidak lagi terdengar lagi, semua sudah sirna ditelan dan digerus modernisasi. Modernisasi disosialisasikan sebagai budaya yang maju, tapi akibatnya justru membuat Ibu Pertiwi semakin terpuruk dalam buaian glamor dan fatamorgana.
Masih di sekitar Desember, 9 Desember lalu adalah hari Anti Korupsi se-Dunia. Hari itu adalah hari yang tidak seharusnya ada. Karena meskipun genderang perang terhadap korupsi sudah ditabuh ribuan kali, kasusnya tetap saja tak kunjung selesai. Bahkan yang lebih parah lagi, “maling-maling” baru justru kian tumbuh berseri seperti jamur di musim penghujan. Hal ini terus didukung dengan regulasi Negeri yang banyak sekali celah untuk dimasuki. Undang-undang menjadi permainan interpretasi kaum elit dan penguasa hukum. Bahkan suatu waktu kita dengan Mahkamah Konstitusi-pun terjerat dalam kasus memilukan, korupsi. Hakim-hakim tidak lagi jujur dan adil, tidak lagi peduli pada kebenaran dan integritas. Hanya kekayaan dan kekuasaan-lah motivasi mereka untuk hidup, seakan hidup ini akan berjalan terus tanpa adanya kematian.
Ditambah lagi dengan kasus pertikaian antar politikus yang sama-sama memperebutkan kekuasaan. Anggaran partai dicukupi dari anggaran yang seharusnya menjadi milik rakyat. Jadi wajar jika sampai saat ini pernah mencuat sebuah wacana bahwa rakyat tidak lagi percaya pada pemimpin atau penguasa Negeri. Lalu, siapa lagi yang peduli pada Ibu Pertiwi? Semua orang sudah lupa pada tangisan, darah dan nyawa yang dipertaruhkannya untuk membesarkan kita dan Negeri ini. Semua orang sudah terlena pada kekayaan, kekuasaan dan glamor yang tidak kunjung usai.
Dalam banyak kesempatan, penulis selalu mengabarkan kepada para pembaca bahwa Ibu Pertiwi sesungguhnya sedang menangis terisak-isak melihat carut-marutnya Negeri ini. Siapa lagi yang akan peduli, kalau bukan kita sebagai anak Negeri? Para penulis, teruslah menulis apapun yang kontribusinya jelas bagi pengetahuan dan ilmu yang akan memperkaya wawasan anak Negeri. Para Guru, teruslah mendidik, jangan hanya mengajar, karena anak Negeri saat ini sangat butuh pendidikan secara esensi, bukan hanya sekolah secara formalitas belaka. Pemimpin juga harus mulai peduli pada penderitaan yang saat ini dialami Ibu Pertiwi. Politikus, Budayawan, Dokter, Profesor dan apapun itu, semua harus tergerak hatinya untuk setia dan membahagiakan Ibu Pertiwi.
Akhirnya, apapun yang terjadi, jangan pernah lupa pada siapa yang sudah melahirkan, merawat dan membesarkanmu sampai saat ini. Dialah Ibu, dialah Ibu Pertiwi, Indonesia sampai mati. Terdengar seperti pesan singkat muda mudi yang sedang pacaran memang, tapi memang inilah yang dibutuhkan Ibu Pertiwi kita saat ini. Ia rindu akan kasih sayang anak-anak Negeri, pengabdian, ketulusan, kejujuran, keadilan dan kemerdekaan itu sendiri. Salam kasih bagi seluruh anak Negeri.
)* Penulis adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung
Reblogged this on Quthub Muhammad Blog.