KASIH IBU YANG TERLUPAKAN (Sebuah Renungan untuk Anak Negeri)

 Oleh: Ahmad Rois)*

Bulan Desember boleh dibilang sebagai bulan yang penuh dengan kenangan. Bagaimana tidak, bulan ini adalah bulan perpisahan antara satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang. Bulan ini memiliki beberapa moment penting yang biasa diperingati oleh berbagai golongan. Misalnya, Hari Anti Korupsi se-Dunia yang jatuh pada minggu kedua bulan Desember, tepatnya tanggal 9 Desember, selanjutnya Hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember, dan Hari Natal bagi umat yang merayakannya pada tanggal 25 Desember.

Sebagai bulan terakhir, Desember menjadi bulan pengenang sebelas bulan yang telah berlalu. Sejarah yang lalu akan segera diukir dalam tumpukan arsip-arsip yang memiliki sedikit kemungkinan untuk dibuka lagi tahun depan. Lembaga-lembaga pemerintahan atau non-pemerintah sibuk menyiapkan laporan pertanggung jawaban mereka. Berbagai hal mereka lakukan, dari mulai rekapitulasi dana anggaran sampai menghabis-habiskan dana anggaran yang masih tersisa dengan mengadakan kegiatan fiksi atau kegiatan sungguhan yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Lembaga pendidikan sibuk menyiapkan rancangan proposal anggaran baru untuk tahun depan, sementara anggaran tahun ini sudah habis entah dalam “perut” siapa. Lembaga pertanian, pertahanan, sosial bahkan keagamaan pun bernasib sama, kehabisan anggaran entah dalam “perut” siapa.

Fenomena di atas seakan sudah menjadi tradisi yang sangat lestari dalam dunia orang-orang berdasi dan berjas rapi. Jadi tidaklah mengherankan apabila berita mengenai korupsi, masih kita dengar setiap hari di televisi. Mereka terlalu sibuk dengan urusan ini dan itu, sehingga lupa dengan tugas mereka di pemerintahan, apalagi dengan peringatan-peringatan hari besar yang hanya diperingati sebagai formalitas belaka, tanpa isi tanpa esensi, semua hanya bualan fiksi dalam tradisi yang sudah usang dan basi.

Hari Ibu yang Mulia

Hari Ibu kiranya menjadi hari yang ruhnya paling merasuk dalam hati nurani. Bagaimana tidak, sosok berambut panjang ini merawat kita bahkan sebelum kita lahir ke dunia penuh kebohongan ini. Matanya boleh terpejam setiap malam, tapi jiwanya selalu terjaga dalam buaian kasih sayang. Tapi sayang, perjuangan hidup mati itu begitu saja hilang dan kita lupakan setelah kita benar-benar terjerembab dalam kebohongan yang nyata dari sisi sekularisme dunia. Meski begitu, kasih sayangnya tak pernah berakhir hanya karena kita tak tahu balas budi. Ia tetap saja tegar dan menjaga kita dalam keadaan apapun, bahkan harapannya terus menaungi kita sampai kehidupan yang akan datang.

Tidak cukup kiranya penulis menuliskan betapa agungnya gambaran jiwa seorang ibu, tapi paling tidak, melalui tulisan singkat ini, kenangan kita akan masa kanak-kanak saat bermanja dipangkuan ibu menjadi sesuatu yang bernilai untuk meluluhkan hati kita yang kian membatu dalam gemerlapnya dunia dan segala kesibukannya. Tidak ada yang salah bagi kita untuk mengenang kembali masa kanak-kanak yang penuh dengan kemesraan dan kasih sayang ibu. Semua itu memang sudah selayaknya kita dapatkan pada masanya. Tapi hak-hak seorang ibu untuk bahagia dihari tua juga merupakan kewajiban kita selaku jiwa yang dibesarkan dengan kemuliaan jiwa seorang ibu.

Di sisi lain yang benar-benar berbeda, memang pernah kita jumpai beberapa kasus tentang pembuangan bayi, aborsi, trafficking dan semacamnya. Tapi ini bukanlah sesuatu yang terjadi karena hati nurani yang mati. Sebagian kasusnya justru bermula dari pergaulan yang salah arti, dan berujung pada penyesalan tanpa arti, karena semuanya sudah terjadi dan tidak bisa kembali lagi. Sebagian lagi terjadi karena tuntutan ekonomi, hubungan yang tidak direstui, dan alasan lain yang tidak dapat diterima otak sama sekali. Namun, semua itu hanya bagian kecil dari dunia ibu yang – sebut saja – khilaf. Semua itu bukanlah sifat asli dari sosok jiwa yang suci bergelar Ibu.

Tangisan Ibu Pertiwi

Dalam skala yang lebih luas, setiap anak yang lahir adalah anak zaman, setiap anak yang lahir adalah anak Negeri yang akan meneruskan perjuangan kedua orang tuanya. Anak-anak kita kelak akan menghadapi problema yang berbeda dengan problem-problem yang kita hadapi sekarang. Masalah yang terjadi di masa depan akan semakin kompleks, jadi perlu kiranya kita selaku orang tua menyadari kenyataan ini sebagai sesuatu yang pasti. Karenanya, bekal-bekal yang harus kita siapkan untuk anak-anak kita harus lebih canggih dan maju dalam arti yang luas. Dalam hal ini, pengetahuan dan ilmu agama adalah yang paling penting dari ilmu-ilmu yang lain. Karena agama adalah pengetahuan dan ilmu yang berlaku sebagai pedoman dan falsafah hidup.

Meski demikian, ilmu-ilmu yang lain bukan berarti tidak penting atau tidak perlu kita ajarkan, tetapi ilmu apapun itu harus selalu berada di bawah payung akidah dan akhlak yang baik. Ilmu apapun itu, jika sudah terlepas dari pengawasan agama, akan sangat mengkhawatirkan untuk disalah gunakan sebagaimana mestinya. Karena itu agama memiliki peran yang signifikan dalam banyak hal. Agama dalam hal ini bukan hanya sebatas pengetahuan atau ilmu yang selesai pada wilayah “daging”, tapi harus sampai kepada “ruh”. Dalam istilah pendidikan, tidak boleh hanya selesai dalam teori, tetapi harus aplikatif dan fungsional.

Berangkat dari pengetahuan di atas, mari kita kenang kembali apa yang sudah terjadi pada Negeri ini belasan bahkan puluhan yang lalu. Dimana Indonesia masih berada dalam masa penjajahan, saat Ibu Pertiwi dijamah dan diperkosa habis-habisan oleh Belanda dan Jepang. Masa itu kemudian berlalu menjadi masa-masa penuh kebahagiaan dalam naungan kemerdekaan. Tapi ternyata, penderitaan Ibu Pertiwi tak kunjung berakhir, saat segala sesuatu yang ada di atas Tanah dan Air ini dilimpahkan menjadi kekayaan Negeri yang melimpah ruah, anak-anak Negeri justru terlena dan lupa pada perjuangan Ibu Pertiwi.

Saat ini, fenomena pemerkosaan Ibu Pertiwi menjadi semakin brutal dan sadis. Seluruh kekayaan Negeri ini nyaris dijual habis pada investor asing yang tujuannya jelas untuk meraup keuntungan pribadi. Budaya luhur Bangsa yang kaya inipun tidak terawat dan lestari lagi, justru budaya-budaya kotor globalisasi semakin dipupuk untuk merusak kearifan Ibu Pertiwi. Nyanyian-nyanyian anak Negeri tidak lagi terdengar lagi, semua sudah sirna ditelan dan digerus modernisasi. Modernisasi disosialisasikan sebagai budaya yang maju, tapi akibatnya justru membuat Ibu Pertiwi semakin terpuruk dalam buaian glamor dan fatamorgana.

Masih di sekitar Desember, 9 Desember lalu adalah hari Anti Korupsi se-Dunia. Hari itu adalah hari yang tidak seharusnya ada. Karena meskipun genderang perang terhadap korupsi sudah ditabuh ribuan kali, kasusnya tetap saja tak kunjung selesai. Bahkan yang lebih parah lagi, “maling-maling” baru justru kian tumbuh berseri seperti jamur di musim penghujan. Hal ini terus didukung dengan regulasi Negeri yang banyak sekali celah untuk dimasuki. Undang-undang menjadi permainan interpretasi kaum elit dan penguasa hukum. Bahkan suatu waktu kita dengan Mahkamah Konstitusi-pun terjerat dalam kasus memilukan, korupsi. Hakim-hakim tidak lagi jujur dan adil, tidak lagi peduli pada kebenaran dan integritas. Hanya kekayaan dan kekuasaan-lah motivasi mereka untuk hidup, seakan hidup ini akan berjalan terus tanpa adanya kematian.

Ditambah lagi dengan kasus pertikaian antar politikus yang sama-sama memperebutkan kekuasaan. Anggaran partai dicukupi dari anggaran yang seharusnya menjadi milik rakyat. Jadi wajar jika sampai saat ini pernah mencuat sebuah wacana bahwa rakyat tidak lagi percaya pada pemimpin atau penguasa Negeri. Lalu, siapa lagi yang peduli pada Ibu Pertiwi? Semua orang sudah lupa pada tangisan, darah dan nyawa yang dipertaruhkannya untuk membesarkan kita dan Negeri ini. Semua orang sudah terlena pada kekayaan, kekuasaan dan glamor yang tidak kunjung usai.

Dalam banyak kesempatan, penulis selalu mengabarkan kepada para pembaca bahwa Ibu Pertiwi sesungguhnya sedang menangis terisak-isak melihat carut-marutnya Negeri ini. Siapa lagi yang akan peduli, kalau bukan kita sebagai anak Negeri? Para penulis, teruslah menulis apapun yang kontribusinya jelas bagi pengetahuan dan ilmu yang akan memperkaya wawasan anak Negeri. Para Guru, teruslah mendidik, jangan hanya mengajar, karena anak Negeri saat ini sangat butuh pendidikan secara esensi, bukan hanya sekolah secara formalitas belaka. Pemimpin juga harus mulai peduli pada penderitaan yang saat ini dialami Ibu Pertiwi. Politikus, Budayawan, Dokter, Profesor dan apapun itu, semua harus tergerak hatinya untuk setia dan membahagiakan Ibu Pertiwi.

Akhirnya, apapun yang terjadi, jangan pernah lupa pada siapa yang sudah melahirkan, merawat dan membesarkanmu sampai saat ini. Dialah Ibu, dialah Ibu Pertiwi, Indonesia sampai mati. Terdengar seperti pesan singkat muda mudi yang sedang pacaran memang, tapi memang inilah yang dibutuhkan Ibu Pertiwi kita saat ini. Ia rindu akan kasih sayang anak-anak Negeri, pengabdian, ketulusan, kejujuran, keadilan dan kemerdekaan itu sendiri. Salam kasih bagi seluruh anak Negeri.

)* Penulis adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

Iklan

SEBUAH RENUNGAN

Oleh: Achmad Rois)*

 

Kehidupan adalah serangkaian perjalanan tak terduga. Seperti selubung bintang dalam gemerlapnya kesemuan. Sedangkan hidup adalah segerombol pilihan yang tidak sulit namun harus dipilih secara tepat. Keduanya menjadi tempaan pengalaman dalam substantifitas prinsip. Salah satunya selalu menjadi awal meniti langkah kepastian hidup yang kadang dan seringkali senjang. Kesenjangan tersebut seharusnya menjadi tantangan menyenangkan, bukan menjadi jalan yang selalu dihindari langkah.

Keanehan fenomena hidup merupakan sesuatu yang selalu sulit diterima, bahkan oleh orang-orang terdekat. Mereka mengira yang kulakukan terbiar sepi dari makna filosofis. Sementara sekarang, yang ingin aku raih adalah jalan-jalan yang tidak biasa dilalui banyak orang. Karena kebanyakan orang selalu meyakini jalan-jalan aman yang sebelumnya sudah dilewati banyak orang. Mereka lupa bahwa Tuhan telah menetapkan jalan bagi setiap kita yang lahir melalui kepedihan. Dalam kalimat lain, keluar dari satu jalan untuk memilih jalannya masing-masing.

Seperti yang lalu, masa lalu adalah sejarah dan masa mendatang adalah kerinduan. Sejarah yang sering kita salahkan, kita hujat dan caci, sementara kita lupa bahwa kita tidak mungkin seperti sekarang tanpa masa-masa itu. Masa itu begitu indah, namun sedikit sekali yang bisa ku ingat dalam keterbatasan. Tapi keterbatasan itulah yang menjadikan kesedikitan menjadi sesuatu yang sangat berharga. Tidak ada yang banyak dan baik, karena seringkali yang sedikit adalah kebenaran. Saat realitas menjadi mitos dan legenda, realitas kemudian dimanipulasi oleh manipulan ulung untuk meraup banyak sekali keuntungan.

Kita sering lupa bahwa sebagian besar realitas hanya permainan yang direkayasa oleh segelintir orang. Karena realitas dalam hal ini adalah persepsi yang dibahasakan dalam retorika yang rapi. Lantas untuk apa mereka melakukan itu semua? Padahal setiap kita merasa punya sesuatu yang disebut prinsip. Prinsip itu kita kira batu karang yang terhujam kuat sampai ke dasar terdalam, namun sebenarnya adalah gundukan pasir yang dua menit lagi terhempas ombak dalam kegemuruhan yang sepi. Suaranya yang keras tidak menjadikan kita tuli, namun justru membutakan.

Telinga kita dibombardir berbagai seruan bukan untuk menjadikan kita lebih teliti, tapi mereka ingin menjadikan kita buta dari pengamatan akan realitas. Segala sesuatunya menjadi kabur sementara sekarang musim kemarau. Kita sering lupa bahwa kita justru lebih sering kehausan ketika berada di tengah samudera. Tapi mengapa di hamparan padang pasir orang-orang begitu mudah membagikan milik mereka yang sedikit untuk orang lain.

Ketakjuban ini semakin menyeruak ketika orang-orang begitu mudahnya terbelenggu dalam norma yang diciptakannya sendiri. Mereka lebih suka menciptakan penjara untuk diri mereka sendiri. Jadi jangan heran karena sesungguhnya kitalah yang menciptakan kejahatan supaya penjara yang kita buat ada artinya. Sulit bagiku menerima keanehan ini pada awalnya. Namun setelah aku tahu bahwa kebaikan dan kejahatan adalah dualitas yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain, maka semuanya menjadi mudah kumengerti. Bahwa kejahatan adalah perbuatan yang kemudian diverbalkan supaya ada lawan kata kebaikan.

Salahkah aku ketika aku ingin keluar dari penjara yang tidak kusepakati terciptanya. Aku tidak pernah berniat melemahkan norma yang sudah paten, aku hanya ingin tahu mengapa aku tidak pernah diundang dalam sidang penetapan norma-norma tersebut. Anda tentu tahu bahwa yang saya maksud bukanlah agama yang dijadikan Tuhan sebagai jalan hidup. Ini hanya sisi kemanusiaan yang boleh dan pantas sekali gelisah. Aku tidak peduli apakah kegelisahan ini akan dianggap sebagai kebodohan nantinya. Tidak banyak yang ingin aku temukan, hanya kesadaran semua fungsi dan kebebasan jiwa dalam naungan nurani. Nuranilah yang sebenarnya ingin aku ikuti, bukan presiden atau kyai.

Selebihnya, kekonyolan ini biarlah menjadi arti bagi diri yang hina ini. Apapun hasilnya nanti, yang jelas dan pasti Tuhan tetap Maha Pengampun dan Pemberi Petunjuk. Kepadanyalah aku akan kembali, entah dengan jalan yang mana itu urusan nanti. Yang penting sekarang adalah mencari kebenaran sejati. Kalaupun aku mati sebelum kebenaran itu menyapaku, paling tidak Tuhan sudah tahu bahwa aku pernah dengan sungguh-sungguh mencari kebenaran. Jadi tetap ada alasan jika aku menghendaki penghargaan Tuhan atas usahaku.

 

)* Penulis adalah aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

M e n c a r i J a l a n P u l a n g

M e n c a r i   J a l a n   P u l a n g

M e n c a r i J a l a n P u l a n g

Oleh: Achmad rois)*

Ahad itu disebuah Pondok Pesantren, saya bersama salah seorang teman berkunjung kesana dengan perasaan yang tak terkatakan. Hari itu seperti setiap tahun yang tak pernah lupa untuk diulang, seperti para santri yang tak pernah lupa siapa nama pendiri pondok yang kini mereka tempati sekedar untuk berteduh diharapan Ridho Ilahi. KH. Ali Shodiq Umman; Kyai Ali, begitu sapaan akrab yang begitu dikenal para santri sejak puluhan tahun lalu saat beliau masih berkesempatan untuk hidup dalam naungan safaat dan manfaat. Masyarakat yang berdomisili disekitar pondok atau para wali santri yang hanya berkunjung ke pondok mungkin satu atau dua bulan sekali sangat mengenal sosok Kyai Ali yang ramah dan memang sangat penyayang. Hal ini menjadi sebuah kepercayaan tersendiri bagi setiap wali santri untuk menitipkan anaknya dalam penimbaan ilmu ukhrawi di Pondok Ngunut, Tulungagung ini.

Setelah sekian lama berdiri sejak tahun 60-an, Pondok Ngunut yang memiliki nama asli Hidayatul Mubtadi-ien ini menjadi sebuah pondok yang cakap terhadap kebutuhan manusia di era modern. Pondok yang pada awalnya kecil dan hanya di isi dengan pelajaran kitab kuning, nahwu dan shorof, kini menjadi lembaga pendidikan yang siap bersaing ditengah “gilanya” era modern. Hal ini sudah barang tentu menjadi suatu kebaggaan tersendiri bagi para santrinya, santri yang tak mengenal kata Alumni. Sampai kapan dan dimanapun, santri tetap saja santri, tak ada sebuatan alumni untuk seorang santri.

Pendidikan agama pastinya penting bagi siapa dan dengan agama apapun, namanya juga pendidikan agama. Tak ada agama yang mengajarkan kepada penganutnya yang taat tentang saling melempar batu, saling membunuh, mencaci satu sama lain atau mencari-cari kesalahan. Setiap agama, tak peduli penganut aqidahnya siapa selalu mengajarkan tentang kedamaian, cita dan cinta kasih, tolong menolong, sopan santun dan nilai-nilai moral yang karimah. Pelajaran seperti ini sebenarnya hampir setiap hari kita dengar dari setiap sudut ruangan yang luas; baca jagat raya. Himbauan demi himbauan tak selang gayung bersambut, tapi hasilnya hanyalah kabut, tak urung melekat dan tak mampu disambut. Itulah kita, kita yang hanya suka mendengar dengan akut, sebentar mungkin terasa takut, tapi dua jam kemudian semua hanyalah angin laut, besar tapi sama sekali tak membuat kening kita berkerut; berfikir/untuk refleksi.

Haul ke XI kali ini seperti sumber petuah berharga bagi saya pribadi dan seharusnya untuk ribuan jama’ah haul yang hadir. Peringatan yang diadakan setahun sekali oleh keluarga besar Pondok Ngunut layaknya sebuah wadah dimana semua hikmah sebenarnya ada dan tertuang disana. Bagaimana tidak, akhlak yang diajarkan beliau; Kyai Ali sangat bertentangan dengan akhlak pemimpin kita yang kini ntah lupa atau sengaja melupakan kita sebagai rakyat kecil dan tugasnya sebagai pemimpin. Meskipun dari hanya biografi, ulasan sejarah dalam lembar lembar hari yang tentu tak sempat beliau tulis, sampai kini dan nanti akan terus menjelma sebagai pemandu jalan menuju kebenaran yang hakiki, Insya Allah.

Negara kita hari ini mungkin sedang diuji oleh Tuhan. Ujiannya begitu banyak dan tentu saja tentang soal-soal. Menyoal bagaimana menyelesaikan konflik antar suku? Bagaimana menyelesaikan politik bisu; baca uang? Pertikaian saudara Perak dan Satpol PP, apa solusinya? Belum lagi ribuan pertanyaan tentang gempa, kelaparan, penggusuran rumah, biaya pendidikan dan biaya berobat yang mahal, perawan-perawan yang hoby aborsi, pejabat yang selingkuh dengan istri polisi, mahasiswa yang semakin gila ekstasi, klub malam penuh prostitusi, orang-orang tua yang tega membuang bayi, anak-anak mengamen demi sesuap nasi, pembohong-pembohong berdasi, tikus-tikus selokan yang hobinya gonta-ganti istri, artis yang sekarang lagi marak mencalonkan diri sebagai bupati, korban lapindo yang belum mendapat ganti rugi, termasuk juga pertanyaan tentang uang Negara yang “katanya” hilang dicuri. Maaf, saya terpaksa menulis kalimatnya terlalu panjang.

Dengan momen yang tak se-wah Hari Kartini atau HUT RI sekalipun sebenarnya mampu membuat kita tidak sekedar melakukan refleksi. Kita kadang sering terlena oleh kepentingan-kepentingan duniawi yang hanya sesaat dan kadang-kadang sekaligus sesat. Pribadi kita lebih sering memikirkan untung terhadap diri sendiri yang tak seberapa. Hawa nafsu menjadikan kita lupa terhadap sesuatu yang fana dan membuat kita terlena oleh gemerlapnya dunia. Jiwa-jiwa apatis dan pesimis seringkali membuat kita tak berguna dihadapan orang-orang disekitar kita. Padahal, jika sedikit kita cermati, apalah arti hidup jika selamanya kita jalani tanpa arti, bagi sesama ataupun bagi diri sendiri.
Sesaat di tempat duduk yang belum juga sempat untuk beranjak, perbincangan terpaksa saya dengan salah seorang wali membuat saya kagum dan berpikir keras. Usianya yang bau tanah membuatnya pantas berkata “saya kagum dengan Kyai Ali, saya ngak pernah nyangka kalau beliau bisa punya pondok dengan jamaah sebanyak ini”, tuturnya dengan bahasa jawa yang halus. Otak saya mulai berpikir, mungkinkah ini semua kebetulan? Kalau ini kebetulan, lalu apa sebenarnya tugas Tuhan? Hati saya berusaha mempercayainya, tapi keyakinan saya tetap menjawab “TIDAK”, ini semua bukan kebetulan. Kebetulan berhasil itu sama sekali tak mungkin, apalagi dalam waktu yang sedemikian panjang. Saya jadi teringat ungkapan Mario Teguh, seorang motivator kelas profesional di Indonesia, beliau mengatakan kira-kira begini “sebuah keberhasilan hanya bisa disebut keberhasilan jika sebelumnya terdapat rencana”. Lagipula yang saya tahu, kebetulan tak mungkin terjadi berulang sampai dua atau tiga kali dan berlangsung dalam waktu yang sedemikian lama, toh kebetulan bagaimanapun tak akan sehakiki proses yang diciptakan Tuhan melalui wasilah situasi.

Diyakini atau tidak, dunia adalah alamnya amal dan bakti sedangkan akhirat (kata kyai-kyai) adalah tempat segala sesuatunya dipertanggung jawabkan dihadapan Ilahi. Tuhan sama sekali tak mengekang kita masuk surga melalui pintu yang mana, meskipun semuanya tergantung pada kehendak Beliau. Tapi Tuhan memberi kita kebebasan seluas-luasnya untuk memilih setiap pintu yang kita mau. Ini artinya, kita berhak memilih jalan hidup manapun sesuai intensitas keridhoan Beliau, meskipun harus kita akui bahwa ada jalan-jalan yang sengaja Beliau ciptakan untuk menguji kapasitas keimanan kita terhadap Beliau. Paling tidak kita tahu mengapa ritual lima waktu itu harus diawali dengan Takbiratul Ikhram dan diakhiri dengan Salam, kalau belum tahu ya jangan coba-coba shalat apalagi masih mengharapkan pahala dari Beliau. Tidak-tidak, saya hanya sedang bergurau (supaya otakmu berfikir tentang seberapa tinggi nilai diri dan ibadahmu dihadapan Tuhan yang terlalu sering kau gugat itu). Disisi lain kita juga harus cermat melihat Kitab Sucinya, kalaupun tafsirnya tak sempat kita pelajari, paling tidak kenapa pembuka mushafnya diawali dengan Basmalah dan diakhiri dengan An-Nas. Wah wah, alangkah lancangnya saya sampe berani-beraninya ngomongin tafsir, emangnya saya siapa? Mujtahid bukan, Kyai juga bukan. Maaf, saya memaksa.

Yang sedikit tadi adalah representasi manusia yang mengaku hidup di era-kekinian atau lebih akrab disebut Kaum Masakini. Sebutanya lumayan bagus dan cukup elegan, tapi entah dengan maknanya. Mungkin mereka lupa menyebutnya didepan siapa, mereka juga lupa kalau saya bisa sedikit ilmu nahwu dan shorof. Maaf, lagi-lagi saya terpaksa, kali ini saya terpaksa mengaku sedikit sombong dari anda yang mengklaim diri anda Kaum Masakini.

Kaum dalam bahasa arab bisa berarti Umat, Masyarakat atau secara inklusif bisa saja anda maknai peradaban. Sedangkan Masakini adalah jama’ dari kata miskin yang artinya miskin. Jadi secara keseluruhan arti Kaum Masakini menurut saya adalah masyarakat yang miskin atau peradaban yang miskin. Lalu pertanyaan yang seharusnya anda ajukan kemudian adalah; miskin dari apa peradaban kita sekarang? Jawabanya tentu banyak dan sangat kompleks. Dengan terpaksa lagi saya katakan bahwa peradaban kita saat ini secara keseluruhan adalah peradaban yang miskin. Kalau soal miskin nilai saya kurang sepakat, tapi kalau miskin nilai baik, itu baru saya sepakat. Miskin moral, miskin panutan, miskin petunjuk, miskin integritas, miskin iman, miskin harta yang membuat semua orang menjadi kufur terhadap nikmat yang sedemikian banyak sudah kita terima dari Beliau dan banyak lagi kemiskinan-kemiskinan lain yang hanya akan membuat kita bertambah prihatin jika terus saya sebutkan.

Akhirnya, maaf harus saya akhiri dulu. Maaf untuk segala kesombongan dan kelancangan saya. Maaf, untuk segala sesuatu yang saya klaim dengan sangat emosional. Dan terimakasih, untuk anda yang sudi mengantarkan saya menuju “jalan pulang”. Semoga bermanfaat dan Salam Pergerakan.


)* Penulis adalah seseorang yang kadang bisa menjadi kejam manakala diperlukan dan sangat baik hati disaat yang tepat. Tapi dilain waktu, penulis adalah Seorang Iblis berbalut daging dalam pakaian pengelana.

Achmad rois, Jiwa yang berusaha menjadi pengertian baik

“HIDUP BOLEH SAJA SEDERHANA, TAPI APA BOLEH KITA MENYEDERHANAKAN HIDUP?”
(Achmad rois, Jiwa yang berusaha menjadi pengertian baik)
Perbincangan tentang pendidikan, akhir-akhir ini hanya mengarah di seputar besarnya APBN untuk pendidikan, buku teks, sarana pendidikan yang kurang memadai, Ujian Nasional, gaji guru. Masih terkait di seputar itu, akhir-akhir ini dibicarakan tentang serifikasi guru dan dosen, dan telah disetujuinya oleh DPR UU-BLU dan selanjutnya ditanda tangani oleh Presiden sebagai Undang-Undang RI nomor 9 pada tanggal 16 Januari 2009 yang lalu.
Hal yang sesungguhnya lebih esensial terkait dengan persoalan pendidikan, tetapi justru kurang banyak mendapatkan perhatian, adalah tentang hasil atau produk pendidikan dalam pengertian yang lebih dalam. Orang biasanya belum peduli terhadap makna pendidikan yang sesungguhnya. Jika pendidikan yang dimaksudkan adalah sebagai upaya melakukan perubahan pada diri seseorang, maka ternyata belum banyak pihak yang mempertanyakan sesungguhnya apa yang sudah berubah pada diri seorang anak tatkala telah menyelesaikan program pendidikan pada jenjang tertentu. Sudah menjadi kebiasaan, bahwa setelah dinyatakan lulus, para siswa melakukan pesta, dengan cara yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai pendidikan, misalnya dengan melakukan kebut-kebutan di jalan raya, melakukan corat-coret di baju seragam dan lain-lain yang kurang pantas.
Keadaan seperti itu, lembaga pendidikan tidak berkuasa mencegahnya. Hal yang bisa dilakukan hanyalah mengurangi terjadinya gejala yang tidak pantas itu. Misalnya, mengirim laporan hasil ujian ke rumah masing-masing siswa. Atau menyerahkannya langsung kepada orang tua. Selain itu meminta bantuan pihak kepolisian untuk mengamankan berbagai kegiatan para siswa yang baru dinyatakan lulus itu yang sekiranya dianggap merugikan. Hingga perlu melibatkan pihak keamanan segala, karena tidak jarang ekspresi kegembiraan para siswa yang baru dinyatakan lulus, membahayakan orang lain.
Hal seperti itu sesungguhnya sangat kontradiktif dari makna pendidikan yang susungguhnya. Pendidikan dimaksudkan untuk mengantarkan para siswa memiliki akhlak yang luhur, cerdas, trampil, percaya pada diri sendiri, maka dengan ekspresi kegembiraan yang melebihi batas itu justru menunjukkan bahwa esensi pendidikan menjadi hilang, tidak membekas. Pendidikan seolah-olah hanya mengantarkan para anak didik mendapatkan selembar ijazah. Padahal ijazah tersebut semestinya dijadikan petunjuk atau simbol bahwa tujuan pendidikan telah selesai.
Persoalan lainnya, dapat dilihat dan dirasakan bahwa tatkala para siswa dihadapkan pada kehidupan nyata di tengah-tengah masyarakat, ternyata masih gagap . Mereka setelah lulus, tidak sedikit yang belum mampu beradaptasi dan menjawab persoalan kehidupannya sendiri di tengah masyarakat. Sekalipun sudah lulus perguruan tinggi, sementara mereka masih harus menganggur, kesulitan mencari pekerjaan. Sebagai alternatif yang bisa dipilih, mereka bekerja apa saja yang bisa dilakukan, walaupun sesungguhnya tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang diperolehnya. Atau, jika ada jalan mereka ikut pergi ke luar negeri mencari pekerjaan di sana.
Dari selintas gambaran itu, seolah-olah masih ada jarak yang sedemikian jauh antara apa yang diprogram di sekolah dengan tuntutan di tengah masyarakat. Di sekolah diajarkan tentang biologi, fisika, kimia, bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan ilmu sosial, tetapi ternyata seolah-olah mata pelajaran tersebut belum ada relevansinya dengan kehidupan nyata di masyarakat. Para siswa telah dinyatakan lulus ujian, baik ujian sekolah atau ujian nasional. Tetapi, apa yang didapat itu ternyata belum bisa dijadikan bekal hidupnya di tengah-tengah masyarakat.
Pendidikan kemudian menjadi sebatas agenda atau jadwal kehidupan yang harus dilalui oleh setiap anak bangsa, tetapi masih minus makna atau esensi yang sebenarnya. Pendidikan terasa belum berhasil mengantarkan siswa agar mampu hidup di tengah masyarakat. Akhirnya, pendidikan baru sebatas sebagai pemenuhan kewajiban, dan sebaliknya belum benar-benar berhasil mengantarkan siswa menjalani hidupnya secara mandiri dan bertanggung jawab.
Persoalan-persoalan tersebut, rasanya belum mendapatkan perhatian secara cukup oleh mereka yang berwenang dan apalagi masyarakat luas. Pendidikan yang seharusnya mengantarkan peserta didik menjadi warga negara yang baik, berakhlak mulia, berwawasan luas dan memiliki ketrampilan dan seterusnya, ternyata rumusan indah itu belum semua berhasil dicapai. Sayangnya, kegagalan dari aspek yang justru bersifat esensial atau inti pendidikan tersebut belum banyak dirasakan oleh kalangan luas. Pada umumnya orang masih sedemikian percaya dengan ijazah, sekalipun selembar kertas yang dianggap penting itu sesunguhnya belum tentu bermakna apa-apa.
Tulisan singkat dan sederhana ini bukan dimaksudkan mengajak agar tidak mempercayai lembaga pendidikan yang sudah ada, melainkan ingin menyampaikan kembali pada pembaca tentang pesan pendidikan yang sesungguhnya. Tatkala berbicara pendidikan, semestinya dipahahami secara kritis dan mendalam makna pendidikan yang paling dalam itu, sehingga selanjutnya menjadi kekuatan pendorong terhadap peningkatan kualitas pendidikan yang sebenarnya.
Pendidikan sesungguhnya bukan hanya sebatas kegiatan mempelajari mata pelajaran biologi, kimia, fisika, bahasa dan lain-lain, lebih dari itu dimaksudkan adalah untuk memperkaya, menumbuhkan dan bahkan mengubah jiwa, pikiran dan ketrampilan si terdidik. Pendidikan bukan hanya sebatas rangkaian program yang harus dilewati oleh semua warga negara. Tetapi pendidikan memiliki tujuan terkait dengan kehidupan anak manusia pada masa depannya. Setelah melewati dan mengikuti program yang disebut dengan istilah pendidikan itu, maka yang seharusnya dipertanyakan adalah dampak apa, atau apa sesungguhnya yang telah berubah pada diri si terdidik setelah mengikuti proses pendidikan, serta apa makna apa yang telah diperolehnya dari serangkaian proses itu untuk kehidupan mereka itu. Pertanyaan seperti ini penting untuk dijawab bersama tatkala kita memikirkan tentang esensi pendidikan yang sesungguhnya.