AGAMA SEBAGAI RUH PENDIDIKAN
29 Januari 2013 Tinggalkan komentar
Oleh: Achmad Rois)*
Peran sosial agama telah ditutupi oleh tangan-tangan angkuh pendusta agama. Tidak sepantasnya tangan-tangan angkuh itu mengklaim kebenaran agama atas nama Tuhan.
(Dr. Ahmad Ali Riyadi, M.A)
Pendidikan secara umum mempunyai peran yang luhur dan agung. Hal ini sudah menjadi konsensus atau kesepakatan yang sudah disepakati semua pihak dan elemen masyarakat. Pendidikan selalu saja menjadi perbincangan yang menarik untuk diketengahkan dengan tema apapun. Meskipun di beberapa tempat, pendidikan menjadi sesuatu yang asing bahkan tidak menarik lagi untuk diperhatikan. Pendidikan saat ini mulai dipandang dari sudut yang sangat sempit. Misalnya, pendidikan oleh sebagian orang dianggap sebagai peramal dan penentu masa depan yang pasti. Maksudnya, jika seseorang belajar ilmu kedokteran, maka dipastikan atau diramalkan dia akan menjadi seorang dokter, dan begitu seterusnya.
Apakah paradigma ini salah? Tentu saja tidak. Orang boleh saja berharap menjadi apapun sesuai dengan jalur pendidikan yang ditempuhnya. Karena kebanyakan orang berpikir bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan. Paradigma ini pada awalnya tidak bermasalah, tapi kemudian akan berimplikasi pada sebuah orientasi yang sifatnya sekuler atau keduniawian semata. Karena orang seperti ini cenderung hanya berpikir bahwa hidup hanyalah soal untuk mencukupi kebutuhan pada wilayah perut. Hal ini akan diperparah ketika seseorang sudah berhasil dan dianggap sukses menempuh pekerjaan sesuai dengan spesifikasi pendidikannya menjadi lupa terhadap hakikat hidupnya sebagai manusia. Yaitu untuk mengabdi kepada Tuhan dan memberikan manfaat bagi orang-orang yang ada disekitarnya.
Pendidikan yang hanya menghasilkan manusia-manusia berpandangan sempit dan dangkal dalam menyikapi masalah hidup dan kehidupan, tentu saja menimbulkan banyak masalah terhadap pergaulan masyarakat sosial, bahkan menjadi dilema pada dirinya sendiri. Di satu sisi manusia membutuhkan kecukupan ekonomi, tapi di sisi lain yang lebih transenden, manusia pasti merasakan kematian. Dalam al-Qur’an surat Ali Imron: 185, Al Anbiya’ 35, Al Ankabut: 57, semua menyebutkan bahwa “setiap makhluk yang bernafas (manusia) pasti merasakan mati”.
Pertanyaannya adalah, kenapa Tuhan memilih redaksi “merasakan” dalam ayat ini? Apakah ada maksud tertentu? Tentu saja ada, jumhur ulama menafsirkan kata ini sebagai sebuah isyarat bahwa akan ada kehidupan yang lebih nyata dan abadi setelah kematian. Ibarat makanan, makanan hanya akan terasa ketika sampai pada lidah atau indera perasa, dan itu hanya membutuhkan waktu yang sangat singkat. Begitu juga kematian, kematian hanyalah pintu masuk ke dalam sebuah kehidupan yang abadi, nyata dan sebenar-benarnya kehidupan. Karena dalam banyak ayat lain dalam al-Qur’an disebutkan bahwa dunia hanya fatamorgana dan permainan. Jadi jelaslah bahwa pendidikan agama memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan pendidikan secara keseluruhan, bahkan dalam agama apapun.
Artinya, semua disiplin ilmu akan selaras dengan manusia, alam dan Tuhan manakala intelektualitas tersebut di dasari dengan pemahaman agama yang cukup memadai. Ilmu sosial-politik misalnya, sudah bukan sesuatu yang baru lagi kita temukan banyaknya kasus-kasus mencengangkan seperti suap menyuap, korupsi, pembunuhan dan bentuk kriminalisasi yang lain. Jika kita usut, apakah para pelaku kejahatan ini berasal dari golongan non-akademis? Justru kebanyakan dari mereka adalah manusia-manusia intelektual dan akademisi sukses. Namun sayangnya, mereka tidak memahami agama sebagai pedoman hidup dan matanya sudah tertutup oleh kemewahan fatamorgana sehingga membuat mereka lupa pada kehidupan yang akan datang. Apalah daya, konstruk pemikiran yang sekuler ini sudah terlanjur mendarah daging dan sulit dicegah lagi. Dan satu-satunya jalan yang bisa kita tempuh adalah mengembalikan mereka kepada ajaran agamanya masing-masing tentang kebajikan dan kebijaksanaan.
Persoalan ini tidak selesai begitu saja, ada problem lain yang juga tidak kalah menariknya dengan fenomena di atas. Dalam pesatnya perkembangan teknologi, industri dan informasi ini, manusia mulai condong kepada budaya konsumerisme. Karakteristik budaya ini adalah berubahnya paradigma masyarakat dalam menilai harkat dan martabat. Harkat dan martabat manusia mulai dinilai dari segi materi belaka. Hubungan dan penghargaan ini akan harmonis jika antara satu dan yang lainnya memiliki hubungan yang saling menguntungkan, dan apabila yang terjadi justru sebaliknya, maka hubungan ini dianggap tidak harmonis. Masyarakat seperti ini sudah mulai melupakan nilai agama tentang keikhlasan, tolong menolong bahkan toleransi. Karena yang ada dalam benak mereka hanyalah upah, keuntungan dan balas budi. Pergaulan sosial seperti ini sebenarnya lebih tidak harmonis lagi, karena akan mudah sekali menyulut pertikaian, terutama dari pihak yang merasa dirinya rugi dan dirugikan.
Problema di atas akan terus bergulir seperti bola salju menjadi paradigma kapitalisme. Dimana harkat dan martabat kemanusiaan hanya dinilai dari sisi modal dan aspek kepraktisan. Secara sosiologis, model atau budaya masyarakat kapitalisme ini sudah lahir dan terjadi secara alamiah, karena pada dasarnya, semua manusia memiliki sisi keduniawian atau sekularisme pada dirinya. Kodrat keduniawian ini muncul dari dunia yang semakin kompetitif, terutama kompetisi yang ada hubungannya dengan materi. Karena begitu ketatnya kompetisi antar individu, maka norma-norma pun berkembang mengikuti model konsumerisme dan kapitalisme. Sehingga nilai-nilai memanusiakan manusia pun mulai terkikis dan pudar kemudian berganti dengan nilai-nilai eksploitasi.
Pada wilayah inilah pendidikan, khususnya pendidikan agama mulai dirasakan urgensinya. Ketika posisi dan peran pendidikan agama dalam membentuk moral dan memanusiakan manusia dipertanyakan, maka pertanyaan tersebut akan mengundang jawaban yang dilematis lagi. Di satu sisi, pendidikan dan pendidikan agama diharapkan memberikan bekal pragmatis bagi manusia untuk menempuh masa depannya, dan menjadi media dakwah pengembangan agama sekaligus sebagai bodyguard moral manusia. Namun di sisi lain, tantangan pendidikan dan agama terletak pada sudah maraknya budaya kapitalisme dan konsumerisme. Tantangan besar terletak pada pendidikan agama, dimana pendidikan agama yang cenderung bersifat abstrak ini perlahan-lahan mulai tidak diminati dan dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang kuno dan tidak aktual.
Pendidikan agama secara umum, khususnya pendidikan Islam, seharusnya menjadi senjata pamungkas untuk dapat mengerakkan dinamika masyarakat. Secara idealis, pendidikan Islam atau agama secara luas dapat menjadi landasan atau pedoman perubahan masyarakat. Dalam hal ini agama berlaku sebagai ruh dari segala aktifitas sosial masyarakat, termasuk dalam pendidikan itu sendiri. Jika sudah demikian, pendidikan agama dan agama secara umum akan mampu berperan sebagai tranformasi sosial pada ruang publik dan memberi penyadaran bahwa saat ini, kita sedang berhadapan dengan dunia yang penuh dengan ilusi, rekayasa dan kebohongan. Jika pendidikan dalam hal ini adalah jiwa, maka agama harus menjadi ruhnya, karena jiwa tak akan bisa berfungsi dengan baik tanpa adanya ruh. Jika ruhnya sudah baik, maka besar harapan kita, jiwa-jiwa yang dihasilkan dari rahim pendidikan juga akan baik seperti ruhnya, begitu pula sebaliknya.
Akhirnya, pendidikan, dalam hal ini pendidikan Islam dan agama secara luas harus mampu menunjukkan jati diri atau ruhnya sebagai agen perubahan dan revolusi sosial. Hal ini sudah dinyatakan dan dibuktikan oleh Baginda Nabi Besar Muhammad SAW. Beliau mampu mengubah tatanan masyarakat yang dahulunya amburadul menjadi tatanan masyarakat yang mapan, bermoral dan akademis dengan senjata bernama Agama. Teladan ini sudah sepantasnya menjadi sesuatu yang kita tiru, bahwa dengan pemahaman agama yang benar dan baik, kehidupan akan menjadi lebih baik, bijak dan bijaksana. Jadi, agama harus diimplementasikan dalam bentuk disiplin ilmu apapun dan proses pendidikan dimanapun. Sehingga ruh agama menjadi kendali terhadap pendidikan dan kehidupan sosial kemasyarakatan.
)* Penulis adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theology (PKFT) Tulungagung