Penjajahan Tanpa Akhir

Oleh: Achmad Rois)*

Indonesia adalah Negara besar dengan pengalaman penjajahan yang matang. Kematangan ini menjadi sesuatu yang sama sekali tidak bisa dilupakan bahkan dipisahkan dari prilaku kehidupan sehari-hari setiap manusia yang hidup dan menghirup udara di atas tanah airnya. Kehadiran para kolonial yang begitu lama sudah cukup untuk menginfiltrasi segala hal yang menjadi pedoman serta pandangan hidup sebuah bangsa yang pernah dijajahnya. Mereka merasuki setiap aspek kehidupan mulai dari caranya berpikir sampai dengan caranya berpakaian. Berpikir sebagai penjajah, berpakaian seperti penjajah dan bertindak hampir seperti Tuhan.

Aku tidak tau seperti apa Tuhan, tapi aku tahu apa yang tidak seperti Tuhan. Tuhan memang maha kaya, tapi Tuhan tidak pernah serakah. Tuhan memang maha memaksa, tapi Tuhan memberi kita banyak sekali pilihan. Tuhan memang maha kuat, tapi Tuhan tak pernah menindas yang lemah. Tuhan memang maha kuasa, tapi Tuhan tidak otoriter. Tuhan hampir maha segalanya, tapi Tuhan tak ingin memiliki segalanya dari kita. Beliau hanya ingin kita menyisihkan waktu kita untuk mengingat dan berprilaku seperti apa yang kita pahami tentang Dia. Tuhan tidak pernah memaksakan persepsi kita tentang-Nya, tapi Beliau menyediakan begitu banyak tanda untuk kita pahami melalui berpikir, meskipun sesekali melalui intuisi.

Deskripsi kolonial ini menjadi semakin terkenal karena kebanyakan orang tidak suka dijajah. Karena itu para guru di sekolah selalu memperkenalkan apa yang menjadi karakteristik para penjajah. Dan karena itu semakin diperkenalkan, semakin banyak pula yang tidak ingin disebut penjajah, meski mereka sebenarnya ingin menjadi penjajah. Menjadi penjajah tidak harus terlalu pandai, mereka hanya perlu terlihat seperti orang pandai. Ini tentu sudah dibuktikan oleh sejarah, konon bangsa belanda adalah bangsa yang paling bodoh dan emosional di eropa pada masa itu, tapi kenapa mereka mampu menjajah Indonesia begitu lama. Karena kita terlalu bodohkah, atau memang kita waktu itu kurang beruntung.

Sekarang, hari ini, klaim bahwa Indonesia sudah merdeka merupakan timangan paling efisien untuk meninabobokkan kita dari penjajahan, yang bahkan dilakukan oleh bangsa kita sendiri. Oleh orang-orang yang haus kenikmatan dan tidak pernah kuasa melawan keserakahan. Mereka tidak sadar bahwa mereka sebenarnya sedang dijajah oleh perutnya sendiri. Mereka merasa perlu memperjuangkan kebebasan mereka sendiri, tanpa sadar bahwa dalam dirinya ada penjajah yang tidak pernah mampu mereka tumpas kecuali dengan dua hal. Pertama, merasa puas dengan apa yang sudah mereka miliki dan, kedua, berhenti menuruti apa yang ingin mereka miliki, karena keinginan itu tak akan pernah berakhir selama hidup dalam dunia fatamorgana ini.

Faktanya, mereka merasa sudah menjadi penguasa sementara mereka sebenarnya sedang dikuasai oleh sesuatu yang tidak mereka sadari. Ketidak tahuan dan keserakahan membuatnya merasa bebas dalam belenggu jeruji yang tak terlihat. Kekuasaan dalam pengertian ini adalah sebuah terminal kepongahan, dimana yang ada di sana hanya segerombol perampok yang ingin merampas apa saja dan berbuat semaunya. Sementara prinsip yang dipegang oleh para perampok ini adalah “kami mungkin akan masuk neraka, tapi paling tidak kami menikmati perjalanannya”.

Karena itu, dalam tulisan ini kami mengajak siapa saja yang merasa belum bebas untuk mulai memperjuangkan kebebasannya mulai sekarang. Sebelumnya kita harus mengenali prinsip yang dipegang teguh oleh mereka (kolonial). Bahwa tidak ada Negara di dunia ini yang pernah dijajah boleh merdeka. Karena itu, mereka hanya pergi dari Negara jajahannya saat mereka sudah memiliki duplikasi dari diri mereka disana dalam bentuk apapun. Duplikasi sistem pemerintahan, pola pikir, gaya hidup, dan banyak hal lain. Dan itupun belum selesai, sampai tidak ada lagi yang dapat mereka ambil sebagai keuntungan dalam bentuk apapun.

Akhirnya, tidak ada yang dapat kita lakukan untuk mengusir penjajahan dalam bentuk apapun selain menyadari bahwa kita sedang dijajah, mengetahui apa dan siapa yang menjajah kita, mengetahui cara apa yang mereka gunakan untuk menjajah kita, kemudian kita mulai berpikir bagaimana mengalahkan atau paling tidak mencegahnya dengan satu tindakan, yaitu “PERLAWANAN”.

)* Penulis adalah aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT)Tulungagung

Iklan

Pendidikan dalam Kacamata Buruh

Oleh: Achmad Rois)*

Pendidikan hampir selalu menjadi topik yang menarik sekaligus menantang untuk dibicarakan. Mulai dari citra sampai pada wacana filosofis, kultural, psikologis dan metodologis pendidikan, semua menjadi hal yang hangat dan selalu aktual untuk diketengahkan sebagai menu obrolan sehari-hari. Pembicaraan tentang pendidikan tidak hanya seru saat dibahas oleh mereka yang berasal dari kalangan akademis, tapi juga menarik diketengahkan saat topik tentang pendidikan ramai dibicarakan oleh mereka dari kalangan masyarakat yang berada dalam skala mayoritas.

Masyarakat dalam skala mayoritas ini kami sebut sebagai masyarakat buruh yang memang ada dalam jumlah yang sangat besar. Kebesaran jumlahnya bukan justru menjadi perhatian tetapi lebih sering dimarginalkan dan mendapat perlakuan yang timpang dari kalangan birokrasi atau golongan lain yang berstatus sosial lebih tinggi dari mereka. Hal ini dibuktikan dengan seringnya pemberitaan tentang diskriminasi buruh, baik dari sisi honor, hak memanfaatkan fasilitas Negara sampai dengan pelecehan seksual.

Berangkat dari fakta-fakta di atas, penulis mencoba menelisik lebih lanjut tentang apa sebenarnya pertimbangan mereka sehingga tega memperlakukan buruh dengan perlakuan yang tidak sepantasnya. Salah satu penyebab utama mengapa masyarakat buruh terlampau sering mendapat diskriminasi perlakuan adalah karena komunitas ini dianggap lemah dari sisi edukasi. Kebiasaan ini menjadi membudaya saat kaum edukasi merasa diri mereka lebih pantas dihormati dari yang lain. Asumsi ini kian menjadi parah ketika output pendidikan justru membentuk kaum-kaum elite baru di lingkungannya masing-masing. Hal ini mungkin saja lahir karena minimnya pemahaman tentang pendidikan yang humanis dikalangan para praktisi pendidikan itu sendiri.

Fenomena yang memprihatinkan ini tentu tidak sepenuhnya menjadi kesalahan pihak birokrasi atau mereka yang berada dalam status sosial yang setara dengan birokrasi. Tetapi akan lebih evaluatif jika kita juga menilik bagaimana pandangan para buruh terhadap pentingnya pendidikan jika salah satu penyebab mereka dikesampingkan adalah karena pendidikan itu sendiri. Hal ini diharapkan menjadi sebuah pemahaman yang nantinya bisa menjadi motivasi mereka untuk menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan pokok, tentunya bagi anak-anak mereka sebagai generasi mendatang.

Dr. Muhaimin dalam banyak literaturnya tentang pengembangan kurikulum pendidikan Islam memetakan pandangan masyarakat tentang pendidikan menjadi empat tipologi, antara lain:

1. Masyarakat yang tidak paham pentingnya pendidikan dan biaya pendidikan.
2. Masyarakat yang paham terhadap pentingnya pendidikan, tetapi tidak paham biaya pendidikan.
3. Masyarakat yang paham terhadap pentingnya pendidikan dan biaya pendidikan.
4. Masyarakat yang menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan pokok.

Berdasarkan pemetaan di atas dapatlah kita klasifikasikan bahwa masyarakat buruh cenderung berada pada pemahaman poin satu dan dua terhadap pendidikan. Meskipun demikian, penulis tidak serta merta mengasumsikan bahwa klasifikasi ini berlaku secara keseluruhan. Atau dengan kata lain, penulis tidak terlalu berani memberikan klaim secara general, karena pada kenyataannya sudah banyak kami jumpai orang-orang tua yang berstatus buruh sudah menempati tipologi ketiga, meskipun jumlahnya lebih sedikit dari yang pertama dan kedua.

Kenyataan ini adalah hal yang sangat menggembirakan bagi para investor peradaban. Karena maju atau mundurnya sebuah tatanan sosial selalu bergantung dari pemahaman dan tingkat keberhasilan proses pendidikan. Itupun jika pendidikan masih berada pada rel idealitas yang tertuang dalam tujuan pendidikan. Sedangkan realitasnya tujuan pendidikan sudah jarang sekali dituangkan secara maksimal dalam proses aktualisasi pembelajaran di kelas.

Untuk tipologi keempat masih cenderung didominasi oleh para penguasa dan kaum kaya yang menyadari keberhasilan mereka dikarnakan pendidikan yang mereka tempuh. Karena sebab itulah mereka menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan pokok melebihi urusan perut mereka. Berbeda halnya dengan masyarakat buruh, sebagian dari mereka mungkin berada dalam pemahaman yang baik tentang pendidikan (2 dan 3, atau bahkan 4), tetapi kendalanya ada dari sisi ekonomi mereka yang tergolong pada kelas menengah ke bawah. Ini menjadi ironis saat idealitas ternyata timpang dengan realitas sebagai faktor penghambat utama.

Berdasarkan pemaparan ini, harapan utama kembali tertumpu pada birokrasi dan penguasa, baik penguasa politis atau penguasa moneter. Pemerintah memegang peranan strategis terhadap fenomena ini. Langkah awal adalah penyadaran akan pentingnya pendidikan. Ini bisa dilakukan secara komunal atau individual, semisal dengan penyuluhan-penyuluhan dan menggencarkan arti pentingnya pendidikan melalui media. Setelah itu, pendidikan harus didukung dengan kekuatan yuridis dalam implementasi yang realistis. Pencanangan program-program merakyat dan menampung serta merealisasikan aspirasi masyarakat juga menjadi jalan lain yang harus dilakukan dalam upaya implementasi kebijakan. Dari sisi buruh sendiri, pemahaman ini harus ternanam kokoh dalam segenap aktifitas sehari-hari bahwa dengan pendidikan yang memadahi semuanya akan menjadi mudah, pada akhirnya. Sekian, semoga bermanfaat dan salam pergerakan.

)* Masalah ekonomi yang tidak memadahi tentu bukan pilihan siapapun, tetapi berpendidikan adalah pilihan yang bisa diambil oleh siapapun.

ISLAM DALAM IDEALITAS

Oleh: Achmad Rois)*

Islam merupakan agama yang paripurna dan satu-satunya agama yang mendapatkan legitimasi dari Allah SWT. Selain itu, Islam juga berperan sebagai agama pembawa rahmat bagi seluruh alam, yang termasuk di dalamnya manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Sebagai makhluk Tuhan yang progressif, dinamis, dan inovatif, manusia membutuhkan sarana untuk mengembangkan diri secara dinamis dan berkelanjutan. Salah satu media yang paling tepat dan mungkin untuk mengembangkan potensi tersebut adalah melalui pendidikan. Pendidikan tidak akan selesai dalam ukuran durative ataupun temporer. Namun untuk sampai pada tingkat yang diharapkan sebagai cita-cita pendidikan Islam, manusia harus mengenal dan memahami beberapa prinsip dasar Islam yang pada akhirnya kembali kepada Alqur’an dan Sunnah.

Alqur’an merupakan firman Allah yang dijadikan pedoman hidup (way of life) kaum muslimin. Di dalamnya terkandung prinsip-prinsip dasar yang menyangkut segala aspek kehidupan manusia. Prinsip-prinsip tersebut selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan nalar masing-masing bangsa sampai kapanpun, karena ia hadir secara fungsional untuk memecahkan problem kemanusiaan. Lantas kenapa saat ini masih ada saja persoalan manusia yang seakan tak kunjung selesai? Jawabanya mudah, karena saat ini masyarakat lebih berpedoman kepada SUZUKI sebagai way of life, dan mengesampingan Alqur’an. Jadi, jangan salahkan Alqur’an dengan alasan tidak fungsional, tapi lihat pada diri kita, apa kita sudah cukup berhasil menjadikan Alqur’an sebagai way of life layaknya SUZUKI.

Setelah persoalan prinsip selesai atau paling tidak dianggap selesai, maka apa sebenarnya yang dicita-citakan Alqur’an dalam ruang aplikatif? Tentu saja sebuah tatanan kehidupan yang stabil dan kondusif menurut prinsip yang telah disediakan Alqur’an. Kita tentu sudah sering mendengar istilah “Masyarakat Madani”, lalu apa sebenarnya makna dari term ini. Mari kita sebutkan beberapa.

Kamaruzzaman dalam bukunya Islam Historis Dinamika Studi Islam di Indonesia menyebutkan “Masyarakat Madani” berasal dari term Madani. Kemudian Nurcholis Madjid memandang bahwa konsep Madaniyyah memiliki arti peradaban. Adapun Madinah adalah pola kehidupan sosial yang sopan yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh pada peraturan hukum.[1] Ini merupakan defenisi secara garis besar, karena itu defenisi ini masih memerlukan penjelasan yg lebih mudah dimengerti. Jadi biarkan saya memperjelasnya dalam istilah awam.

Masyarakat adalah sekelompok orang yang tinggal di wilayah tertentu. Sedangkan Madani dalam bahasa jawa diartikan Menyamai atau Menyerupai. Namun sebenarnya Madani diambil dari term Madinah yg berarti Kota. Jadi, katakan saja Masyarakat Madani adalah Masyarakat yang Menyerupai. Kemudian timbul pertanyaan, seperti apa yang harus diserupai? Sampai sini jelaslah sudah bahwa konsep masyarakat yang diinginkan Alqur’an adalah sebuah tatanan masyarakat yang ideal seperti yang pernah diukir Nabi Muhammad SAW dalam sejarah perkembangan Islam berabad-abad yang lalu. Adapun mengenai seperti apa tatanan masyarakat yang ideal itu akan kita bahas dalam kesempatan lain yang lebih berkualitas dan pas.

Allah SWT juga telah menyatakan bahwa Islam adalah agama fitrah atau agama yang sesuai dengan fitrah penciptaan manusia. Sedangkan yang dimaksud fitrah adalah roh atau nurani manusia. Dalam bahasa sehari-hari, barangkali bisa juga disebut dengan istilah “hati kecil”, fitrah ini telah ada jauh sebelum manusia lahir kedunia ini, yakni sejak zaman azali, saat itu semua janin yang ditiupkan kepadanya roh dari Tuhannya ditanya oleh-Nya “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka semua menjawab Betul (engkaulah Tuhan kami), kami bersaksi (QS. Al-Araf: 172)”.[2]

Fitrah manusia adalah bertauhid atau meng-Esa-kan Tuhan. Secara substansial, manusia adalah makhluk ber-Tuhan atau selalu tergantung kepada Tuhan. Karena itu, kenyamanan hati seorang manusia sangat bergantung kepada sebuah peredikat yaitu “hamba Tuhan”. Namun masalahnya, apakah kita yang dengan jelas pernah berikrar meng-Esa-kan Tuhan itu benar-benar mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan setelah kita keluar dari rahim ibu kita. Di sinilah mulai terjadi kesenjangan antara ikrar awal dan implementasinya dalam menjalani hidup. Ada banyak dari kita yang tidak lagi menghamba kepada Tuhan. Satu waktu kita menjadi hamba uang, wanita, pria, pekerjaan, perut dan bawahnya sedikit. Dari itu mulailah berdoa, semoga Tuhan memaklumi kekhilafan ini dan memberi ampunan pada kita yang hina ini. Tapi yang membuat kita lebih hina adalah ketidak sadaran akan kehinaan kita sendiri.

Sementara Syaikh Muhammad Abduh dalam bukunya Islam Ilmu Pengetahuan Dan Masyarakat Madani mengatakan bahwa prinsip dasar pertama yang terdapat dalam Islam adalah pertimbangan. Pertimbangan dalam Islam merupakan sarana mencapai keimanan yang murni. Kadang kita dapat membuktikan dengan dalil dan kadang dari akal.[3] Ini adalah bukti bahwa Islam sangat menghargai akal manusia yang normal dalam mempertimbangkan banyak hal dalam hidup. Namun yang perlu digaris bawahi adalah pertimbangan yang sesuai dengan yang diinginkan Islam itu sendiri, yaitu Alqur’an dan Sunnah.

Sampai di sini jelaslah sudah betapa pentingnya Alqur’an dan Sunnah dalam segala hal untuk melandasi sikap dan cara bertindak kita setiap hari. Kemuliaan cita-cita ideal Islam dalam membentuk sebuah peradaban yang berideologi Islami sudah sepatutnya menjadi prinsip yang dijalani para pemuka-pemuka Islam dalam memimpin masyarakat. Masyarakatnya pun harus menjadikan pengetahuan tentang peradaban Islam yang ideal menjadi sebuah wacana dan kajian-kajian sosial yang pada akhirnya bisa selesai dalam tataran aplikatif. Jadi, cita-cita membentuk peradaban Islami tidak hanya selesai pada masa Rasulullah SAW saat berada di Madinah, tapi lebih dari itu, sebuah peradaban Islam di seluruh belahan dunia.

Islam dalam kebesaran nama dan kuantitas tidak boleh kalah dengan Yahudi. Yahudi dengan mega proyeknya “novus ordo seclorum” sudah hampir, bahkan bisa dikatakan berhasil menciptakan sebuah new word order, yaitu sekularisasi dunia, dan generasi Islam harus tahu ini. Generasi Islam harus melawan semua pengaruh yang diciptakan Yahudi dengan ideologi Qur’ani. Masyaraat Islam harus mulai menyadari ini dan segera bergegas membuka, membaca, memahami dan mengamalkan The Way of Life-nya Islam, bukan way of life-nya SUZUKI.

)* Penulis adalah Pengkhawatir akut dalam perenungan yang sangat dangkal

[1] Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad, Islam Historis Dinamika Studi Islam di Indonesia, Yogyakarta, Galang Pres, 2002, hal. 87.
[2] Muhyidin Al barobis, Islam itu Mudah, Jakarta CV Artha Rivera, 2008, hal. 10.
[3] Syaikh Muhammad Abduh, Islam Ilmu Pengetahuan dan Masyarakat Madani, Jakarta PT Raya Grafindo Persada, 2005, hal 126.

MEKKAH BUKAN LAGI TANAH SUCI

Oleh: Achmad Rois)*

Pembicaraan tentang agama adalah pembicaraan mencolok, kuno dan basi. Namun mengapa topik ini tidak pernah habis dan selesai dibahas sampai abad kapanpun. Apakah ini karena selalu ada hal menarik untuk dibahas dalam topik tersebut? Atau karena perbincangan tersebut sengaja diciptakan dengan harapan akan ada konflik yang kemudian tercipta dari hasil perbincangan itu? Atau karena konflik yang selalu ada inilah yang kemudian mengundang setiap orang tertarik membicarakan topik ini.

Keberagaman agama di muka bumi menjadi warna tersendiri dalam mewarnai fenomena sosial yang silih berganti. Kejadian-kejadian baik yang bersifat positif terhadap agama atau yang menghinakan agama sekalipun kerap sekali tampil dalam kacamata media. Kejadian dengan korban yang tidak bisa dikatakan sedikit ini sering meliputi sisa-sisa air mata konyol yang seharusnya tidak tercurah untuk itu. Berapa banyak anak-anak menjadi yatim karena dalih ilahiah dalam anarkisme mereka? Dan seberapa sering konflik penistaan agama menjadi perdebatan-perdebatan sengit antara politikus, agamawan bahkan seniman?

Islam dalam perkembangnnya secara kuantitas mencapai taraf yang cukup menggembirakan dari abad klasik sampai sekarang. Ini dipicu dari kefleksibelan ajaran islam itu sendiri, sehingga begitu mudah tertanam rapi dalam diri penganutnya. Selain itu, tingginya popolasi umat Islam diseluruh dunia menjadi faktor lain dari tingginya penganut Islam warisan. Kemudian pesatnya penyebaran ajaran Islam juga dikarenakan dari ke-universalan nilai-nilai Islam itu sendiri. Nilai-nilainya yang familiar dan logis seringkali memiliki pengaruh significan terhadap kedamaian dan ketentraman pribadi penganutnya.

Kemajuan inilah yang pada akhirnya menjadi masalah utama umat Islam sendiri. Mengapa demikian? Umat Islam yang kini berada dalam kebesaran secara kuantitas dan kualitas cenderung lupa pada jerih payah pembawanya (Muhammad). Mereka sedang terlena dalam kebesaran yang tanpa mereka sadari menjadi focus yang begitu mudah dimasuki oleh para orientalis. Umat Islam merasa dirinya aman dalam kejayaan yang pernah dicapainya dalam banyak peristiwa dimasa lalu. Sehingga sekarang mereka pikir adalah saat menikmati hasil itu, padahal hari ini adalah awal kehancuran.

Islam sebagai organisasi yang besar secara kuantitas dan pengaruh tentu tidak mudah dan begitu saja bisa dihancurkan. Maka dari itu jalur utama yang ditempuh para orientalis untuk menghancurkan umat Islam adalah melalui perpecahan. Karena hanya dengan jalur itulah mereka mampu melihat kekuatan persatuan umat Islam pada akhirnya melemah. Sekarang masalahnya justru ada pada kubu umat Islam itu sendiri. Para orientalis tidak perlu lagi bekerja terlalu keras untuk memecah belah persatuan umat Islam, karena tanpa mereka sadari, mereka telah terjebak dalam indahnya konsep pluralisme yang tidak mereka pahami secara utuh dari sisi aplikatif. Para orientalis hanya perlu mengakomodir setiap konflik yang terjadi dan pada akhirnya menjadi keuntungan yang begitu besar dari visi penghancuran yang nyata. Jadi, Islam tidak lagi perlu dihancurkan dari luar, karena yang di dalam sudah membawa panji-panji yang mampu menghacurkan bangunan kokoh itu lebih cepat.

Dari sisi pengaruh, Islam sudah tidak diragukan dan diceritakan lagi. Karena kenyataan akan berbicara lebih lantang dari apa yang mampu dibuat oleh cerita. Maka dari itu jalur kedua yang harus ditempuh adalah mendistorsi pengaruh tersebut. Orientalis sudah sejak lama menggiring dan menciptakan opini public kearah tersebut. Mereka menciptakan image-image negative secara significan terhadap sekecil-kecilnya konflik yang terjadi dalam kubu umat Islam, bahkan sampai pada konflik yang sifatnya personal sekalipun. Pencitraan negative ini semakin lama akan mengikis kuatnya pengaruh yang ditimbulkan umat Islam. Fakta yang sudah sangat jelas adalah perpecahan internal itu sendiri. Fakta ini mempunyai pengaruh significan dalam pencitraan negative dunia Islam yang akibatnya adalah skeptisme dan hilangnya kepercayaan dunia terhadap ajaran Islam yang universal dan penuh keindahan.

Ketiga adalah mencoba menghilangkan bukti nyata keberadaan dan kejayaan Islam dimasa lalu. Dengan apa mereka (para orientalis) melakukan ini? Salah satunya adalah dengan mencoba menghancurkan makam Nabi Muhammad dengan berbagai cara, dan penghancuran Masjidil Aqsha dengan berbagai alasan yang berujung pada kepentingan politis, ideologis dan financial. Salah satunya adalah dengan membentuk Jaringan Islam yang sekuler dan liberal kemudian menggelontorkan isu pelarangan ziaroh ke makam Nabi dengan pretensi akan mendekatkan diri pada kesyirikan. Kemudian jika anda berfikir, apakah keuntungan mereka jika proyek ini berhasil?

Menurut anda, adakah agama selain Islam yang memiliki bukti yang jelas dari sisi arkeologis seperti makam Nabi Muhammad SAW yang mulia. Kalaupun ada, saya belum menemukan dan meyakini keberadaannya (selain Islam). Dari sini jelaslah sudah bahwa jika makam Nabi berhasil mereka musnahkan, maka mudah saja bagi mereka mengombang-ambingkan keyakinan generasi Islam dimasa mendatang dengan memupuk benih-benih keraguan terhadap otentitas ajaran Islam. Yah, meskipun Alqur’an dan Hadist adalah sumber otentitas ajaran Islam, tapi pada siapa Alqur’an diturunkan dan Hadist dilekatkan jika bukan pada Rasulullah SAW? Ini merupakan agenda besar yang sudah mereka (orientalis) proyeksikan ratusan tahun yang lalu. Dan ini adalah bukti nyata keseriusan mereka untuk benar-benar memusnahkan tatanan peradaban Islam yang sudah kokoh selama berabad-abad.

Agenda besar mereka yang lain adalah menguasai pusat peribadatan umat Islam, yaitu Mekkah. Secara politis Saudi Arabia sudah sepenuhnya dikuasai oleh para orientalis. Bahkan ketundukan mereka melebihi kemampuan mereka melawan dan menghancurkan Negara orientalis tersebut. Masjidil Haram yang kita ketahui sebagai tanah suci dan tak pernah berhenti dikunjungi setiap tahun oleh ratusan ribu bahkan lebih umat Islam, sudah sejak lama dimanfaatkan oleh orientalis, paling tidak dari sisi financial. Buktinya, ada banyak bangunan megah bertuliskan arab namun jika dibaca, bacaannya sama sekali bukan seperti nama orang arab. Lalu nama siapa? Siapa lagi kalau bukan nama orientalis.

Mari kita perjelas, Mekkah dikunjungi ratusan ribu orang setiap tahun dari seluruh penjuru dunia. Mereka butuh tempat bermalam selama disana. Kemudian pemerintah Saudi membangunkan hotel-hotel untuk mereka sewa dan tempati sementara. Benar-benar tujuan mulia bukan? Tapi mari kita teruskan. Jika hotel-hotel itu benar-benar dibangun oleh orang Saudi, atau paling tidak orang arab, berarti hotel-hotel tersebut dinamai dengan nama-nama orang arab, atau paling tidak dengan istilah-istilah arab. Tapi apa yang anda temui? Nama itu sama sekali bukan nama orang arab, meskipun namanya ditulis dengan tulisan arab. Lalu apa yang jadi permasalahan? Masalahnya tentu nama siapakah itu? Islamkah atau bukan? Jika bukan, siapa dia dan apa kepentingannya? Itu adalah nama bangsa non-Islam yang tidak mau disebut orientalis. Tapi perlu kita ketahui bahwa 1% dari hasil hotel-hotel tersebut adalah biaya yang dialokasikan untuk membiayai agenda penghancuran umat Islam dimuka bumi.

Terlalu panjang jika harus menguak fakta tentang mulianya kaum yahudi ditanah arab. Biarlah anda temukan sendiri nanti, agar mata anda lebih terbuka dan menanggapi fenomena ini dengan fikiran yang jernih. Tulisan ini didedikasikan untuk seluruh umat Islam yang masih peduli terhadap keislamannya. Paling tidak, mulailah menyadari kebodohan kita sehingga begitu mudahnya kita dipecah belah dan diadu domba. Begitu mudahnya SDA dan SDM kita dieksploitasi untuk menghancurkan diri kita sendiri. Dan yang paling parah, cara pandang dan pola pikir kita yang sudah dikonstruk dalam satu kata yang paling kotor, yaitu M.O.D.E.R.N.

)* Penulis adalah Penjual tembikar keliling

Persoalan Paradigma (Analisis Korupsi di indonesia)

Oleh: Achmad Rois)*

Indonesia adalah Negara yang memiliki kekayaan luar biasa. Sumber daya alamnya seakan tak terbatas dimakan waktu. Kepemilikan sumber daya tak terbatas ini terbukti dengan banyaknya Negara yang mencoba menjajah Indonesia dengan alasan tersebut, baik pada masa lalu ataupun sampai hari ini. Sudah tidak perlu diragukan lagi bahwa kekayaan bangsa ini melebihi apa yang dibutuhkan seluruh rakyat yang tinggal dalam batas territorial. Tapi idelalitas ini menjadi senjang dengan banyaknya rakyat miskin, pengangguran dalam jumlah besar, kurs mata uang yang rendah dan tingkat korupsi yang kian melangit.

Realitas tersebut semakin terlihat parah dengan banyaknya tindak criminal di hampir setiap belahan bumi Indonesia. Kriminal dengan tingkatan beragam serta modus operandi yang kian kreatif dan efisien. Lebih parahnya adalah alasan setiap dari mereka hampir semua sama, yaitu persoalan kampung tengah (perut). Ini tentu menjadi ironis dengan realitas bangsa yang kaya. Apa jadinya bangsa yang begitu kaya ini jika sebagian besar rakyatnya berada dalam belenggu pengangguran dan hidup dalam keadaan financial yang minim dan tidak wajar. Belum lagi para TKI yang bejibun, sehingga tak jarang kita dengar merekapun menjadi korban tindak kekerasan majikan mereka di negeri nan jauh di mata.

Sebagai rakyat yang hidup dalam kubangan media yang kian hari kian tidak enak disimak, tentu timbul banyak sekali pertanyaan yang hipotesis. Pertanyaan mendasar adalah mengapa keadaan Negara ini kian hari semakin memburuk dalam banyak hal. Dari mulai yang bersifat natural seperti banyaknya bencana yang terus saja melanda negeri yang indah permai ini, sampai pada bencana sistemik seperti banyaknya hak-hak rakyat yang dirampas secara tidak wajar. Pelaku perampasan ini tentu tidak sesepele penjambret yang beroperasi di bus-bus kota atau pasar-pasar tradisional. Pelakunya lebih terdidik dan yang jelas mempunyai kedudukan tinggi dalam hal kekuasaan. Mereka mampu menguasai banyak lini yang berpengaruh dan menjadikanya instrument pemuas kepentingan pribadinya sendiri. Dalam banyak kesempatan kita sering menyimak istilah mengerikan ini dengan sebutan Korupsi.

Secara psikologis, seseorang yang digelari koruptor lebih merasa nyaman dengan gelar tersebut ketimbang jika digelari maling. Gelar koruptor terdengar lebih elegan dan professional memang, namun jika di inspeksi, kesalahan mereka justru lebih fatal dari sisi pengaruh dan banyaknya hak yang dirampas. Lalu, apa sebenarnya motif yang melatar belakangi ketegaan mereka dalam melakukan hal senista itu. Mereka mungkin tak sempat berfikir bagaimana jika yang mereka lakukan itu terjadi pada diri mereka sendiri, saat kepemilikan haknya dirampas dan setiap hari hidup dalam jambangan financial yang jauh dari kata cukup.

Dari sisi mentalitas, para pejabat di birokrasi kita cenderung bermental pengusaha dalam pemahaman prinsip-prinsip ekonomi yang matang. Bukankah kita semua sudah mengenal bahwa prinsip dasar ekonomi adalah mengeluarkan modal sesedikit mungkin untuk mendapatkan keuntungan sebesar dan sebanyak mungkin. Dalam hal politik, keuntungan dapat diwujudkan dalam banyak hal. Bisa saja dalam bentuk pengaruh dan pencitraan, namun pada akhirnya semua hal tersebut kemudian diaplikasikan sebagai instrument peraup keuntungan financial dalam jumlah yang menggairahkan.

Mentalitas seseorang itu sendiri banyak dipengaruhi dari pengetahuan yang dibangun dan dipahaminya sendiri. Pengetahuan itu bisa berasal dari manapun, namun pengetahuan yang punya pengaruh significant dalam membangun paradigma hidup adalah pengetahuan yang diperoleh dari jenjang-jenjang pendidikan yang ia tempuh. Mari kita persingkat, seseorang yang ingin kaya seharusnya menempuh pendidikan yang bernuansa ekonomi sehingga outputnya adalah pengusaha yang competent. Sementara apa yang terjadi, kita ingin punya penghasilan besar perbulan, namun kita menempuh jalan yang tidak mengarahkan kita pada tujuan awal.

Atau lebih singkat lagi, ingin kaya jadilah pengusaha yang jujur dan terampil, bukan jadi pejabat yang korup. Pejabat seharusnya bermental pelayan yang terhormat, bukan menjadi ekonom yang tersesat. Negeri ini penuh dengan orang pintar namun tidak banyak yang mengerti. Negeri ini begitu kaya, namun rakyatnya terlalu rakus pada harta. Rakyat semakin lama hidup miskin dalam negeri yang kayanya minta ampun. Orang-orang yang tidak bermoral justru berada di tempat-tempat pembinaan moral. Tempat paling tidak aman justru kini berada di pos-pos keamanan. Dan mulai saat ini cobalah berpikir dengan sudut pandang yang berbeda kenapa begitu banyak orang sakit justru berada diantara dokter dan para perawat.

)* Penulis adalah Penggelisah bangsa dalam kebanggaan yang nista

SAJAK MENGENANG

Oleh: Achmad Rois)*

“BIARKAN MEREKA MENGENALMU SECARA WAJAR, TAPI PERKENALKAN DIRIMU DALAM KETIDAKWAJARAN YANG LOGIS”

Aku, seorang laki-laki yang meninggalkan banyak kenangan kira-kira hampir enam tahun yang lalu. Beberapa hari yang lalu kenangan itu muncul begitu deras, menjadikan aktifitasku penuh dengan keceriaan yang sudah tidak kutemui sejak lima tahun yang lalu. Aku sendiri sebenarnya tidak begitu mengerti, mengapa kebanyakan orang harus berselisih paham terhadap masa lalu yang diciptakannya sendiri. Padahal aku dalam beberapa hari ini begitu banyak menikmati betapa posotifnya energy yang kudapatkan lantaran aku terlanjur berdamai dengan semua yang sudah pernah terjadi waktu itu.

Aku waktu itu adalah remaja yang tidak begitu tampan, namun sebagian orang berkata bahwa ada banyak hal menawan yang senantiasa tanpa kusadari tampil kepermukaan. Apapun itu, semua kusadari bukan karena ketampananan, tapi menurut psikiater terakhir yang aku hubungi, dia bilang aku sedang dalam zona rawat jalan. Aku lebih suka hidup dalam prilaku yang oleh banyak orang dianggap tak wajar, namun lambat laun ketidak wajaran itu menjadi sesuatu yang indah dan tak pernah mereka temukan tanpa kehadiranku di sekeliling mereka. Kemudian pada akhirnya ketidak wajaran itu mereka sukai sebagai sebuah prilaku yang mesti direnungkan.

Hidup ini tak perlu banyak kenangan, cukuplah beberapa saja. Kenangan seperti buaian angan dalam mimpi yang berayun bergelantung di awan. Mereka muncul terkadang dari sebab yang tak pernah kita duga dan kira-kirakan. Suatu waktu mereka hadir bersama nada dering, tetapi untuk zaman ini, mereka lebih sering muncul di situs-situs social. Sebelum tidur meracau, bangun tidur begitu dan mau makan kadang-kadang begitu juga. Tanpa lelah sepertinya mereka mengganguku dengan kebahagiaan. Kebahagiaan yang lambat laun menjadi sesuatu yang kuat dan tidak bisa dihitung dalam takaran yang sulit.

Saat persepsi menjadi sulit sekali dimengerti, aku kemudian kembali dalam jurang mimpi yang lama sudah kubangun dari balik jeruji. Ada banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi secara bertubi, sementara reaksinya belum diperhitungkan sama sekali. Lantas kenapa kita harus mempersulit diri dan hidup ini. Hidup ini terlalu indah untuk disakiti, jadi biarkan dia memilih jalan-jalan yang dia sukai. Tak perlu riskan pada kebebasannya memilih, karena hari ini, kebebasan lebih sering membelenggu dan meyakiti. Lagipula, sebenarnya kebebasan itu hanya wacana, tak pernah ada walau sekeping dalam realita.

Sahabatku yang saat ini banyak dan dimana-mana, berdamailah dengan masa lalumu dan jangan pernah sesalkan apa yang sudah terjadi. Kebahagiaanmu hari ini adalah hasil deklarasi perdamaianmu dengan masa lalu. Jadi patuhi perjanjian itu sebagai sesuatu yang mesti kau jalani dalam keadaan apapun yang nanti kau temui. Kebersamaanmu waktu itu adalah jalan penuh duri yang tidak berada ditengah jalan untuk dihindari. Karena terkadang sesuatu yang indah itu dimulai dari rasa sakit, keburukan, kerusakan atau apapun yang tidak kita inginan terjadi.

Kemudian suatu pagi aku terbangun karena sengitnya gigitan nyamuk lantaran Tuhan tidak memberi mereka pilihan lain, selain menghisap darah penidur pulas. Aku bangkit menyisihkan keluhan di atas jemuran kawat yang berada tidak jauh dari kamar mandi. Kubiarkan rasa kantukku tetap di atas karpet karena aku khawatir sesaat lagi aku ingin kembali kesana. Kubasuh muka berdosa ini dengan air keruh, lalu kucaci secara sadar hati gemuruh yang berguncang dalam setiap pengaruh. Tapi ternyata, ini rindu ntah pada siapa. Namun yang pasti, topik kita hari ini adalah masa lalu dalam banyak hitungan tragedy.

Ada banyak nama yang sulit kuingat setiapa saat, namun ada beberapa yang tak mungkin kulupa. Mereka sering hadir disela-sela tombol hand phone, di bawah karpet, ensel lemari, tumpukan buku-buku, jemuran, dan pintu. Suara mereka terdengar tiap kali aku menutup pintu dan menyapu halaman rumah penuh dedaunan dan debu. Kemudian wajahnya hadir saat mata terkilir setir menimpa semilir angin seperti kincir yang diplintir. Kemudian ternyata, aku mulai merindukan kalian yang dalam sedikit sekali kesempatan untuk bisa bertemu. Dari itu, dengarkanlah ini, biarkan aku mengenang kalian dalam kehangatan mentari dan keseragaman pelangi. Salam rindu selalu, untuk saat yang tempatnya selalu bergantung pada waktu.

)* Penulis adalah Peziarah Ghaib yang saat ini kesepian menanti kelelahan jiwanya pergi dalam bayang kerinduan, meskipun itu bukan cinta kasih.

Tuhankah Pemicu Pertikaian?

Oleh: Achmad Rois)*

Ketahuilah, bahwa hidup dengan sepenuhnya ikhlas dalam kebaikan, adalah persiapan bagi kehidupan abadi yang indah dan mulia bersama semua jiwa terkemuka di surga nanti. (Mario Teguh)

Indonesia adalah Negara dengan penduduk yang tidak sedikit. Terdiri dari ribuan pulau dengan segala keindahan alam dan budayanya masing-masing. Keragamannya pernah terlihat indah bersama keagungan namanya dibelahan dunia yang lain. Pesona alamnya mampu meningkatkan income masyarakat sekitar sekaligus Negara dengan hak territorial dan perpajakannya. Keramahan penduduknya menjadi kepuasan dan keyamanan tersendiri bagi para wisatawan. Kesejukan alamnya adalah nikmat dan anugrah Tuhan yang sulit sekali disyukuri tanpa kesadaran akan manfaat yang diberi.

Menyoal tentang manusia dan wilayah kekuasaan, kita akan menemukan banyak fenomena unik, menarik, konyol dan tak beradab. Ada banyak geliat manusia yang digelutinya bersama aturan yang dibuatnya sendiri, atau aturan lain dalam bentuk teks (Agama). Dalam berinteraksi, manusia seringkali lupa pada hak dan kewajibanya sendiri serta orang lain. Dari itu, ada banyak aturan yang harus dibuat dan disepakati. Aturan tersebut (pada awalnya) bertujuan untuk membentuk sebuah tatanan peradaban yang beradad. Namun pada perjalanannya seringkali disalah gunakan sebagai legitimasi kebenaran untuk mendukung tercapainya tujuan dari kepentingan pribadi. Atau dengan kata lain, seseorang harus menguasai hak si anu agar hak si aku tercukupi berkat tereksploitasinya hak dan sumberdaya si anu.

Dari ketidak harmonisan antara keberagaman dan hak tersebutlah seringnya muncul pertikaiaan dalam jumlah yang tidak pernah sedikit dan selesai. Beginikah hakikat manusia diciptakan, untuk saling menghancurkan antara yang satu dengan yang lain. Tentu saja ada hakikat lain yang lebih tekstualis. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. …(Al-Hujurat : 13)”. Meskipun demikian, saya tidak akan memaksa anda untuk menyepakati bahwa ayat ini adalah ayat yang berisi tentang ajaran rekonsiliasi social, bahkan mungkin keagamaan. Tapi silahkan anda teruskan penggalan ayat ini sebagi panduan bagi anda untuk tau siapa yang paling mulia dalam hitungan perogatif Tuhan.

Paling tidak ada dua hal yang paling rentan memicu pertikaian, yaitu HAM dan Agama. Sebagaimana dikatakan dalam banyak buku sejarah, baik yang resmi atau yang non-resmi ada banyak peristiwa yang memungut perhatian intens dari dunia yang terjadi dikarenakan HAM dan Agama. Tapi pernahkan kita berpikir tentang siapa sebenarnya yang menciptakan doktrin tentang HAM dan mengapa doktrin ini diciptakan. Benarkah doktrin ini bertujuan untuk menghargai hak-hak kemanusiaan umat di dunia atau justru untuk menyulut banyak pertikaian karena ada yang mendukung gerakan mereka dalam skala luas dan intens. Dan haruskah aturan semacam ini menjadi baku dalam kesepakatan seluruh umat di dunia sementara ada segelintir komunitas yang mengambil banyak sekali keuntungan dari doktrin yang menghasilkan banyak pertikaian ini.

Apa yang paling diagungkan dalam doktrin HAM menurut anda? Yah, kebebasan. Kebebasan menjadi sebuah wacana yang menukik dalam tuntutan defenisi dan implikasi. Ribuan ilmuwan berusaha memaknai kata ini tanpa henti, tapi benarkah ini sudah merupakan sebuah solusi dari banyaknya pertikaian yang sampai sekarang masih terjadi di banyak belahan bumi. Atau lebih sulit lagi cobalah tanyakan pada diri anda, bisakah anda bebas, dan bebas dari apa? Jika sudah terjawab, adakah sebenarnya kebebasan menurut anda? Atau seseorang baru dikatakan bebas jika berada dalam titik tertentu? Lalu titik apa dan dimanakah itu?

Sebenarnya, setiap dari kita yang lahir dan hidup di dunia ini selalu dibatasi oleh sesuatu. Batasan itu yang sebenarnya menjadikan kita seorang pribadi yang bebas, atau sebaliknya. Jadi sebenarnya, tidak ada satu orangpun dari kita yang terbebas dari batasan. Setiap kita dibatasi oleh sesuatu, sehingga yang kita sebut sebagai kebebasan adalah sebuah kehidupan yang baik. Baik dalam arti kebebasan adalah segala sesuatu yang berada dalam batasan-batasan yang membuatnya masih disebut sebagai sesuatu atau seseorang yang baik. Kebebasan yang sesungguhnya adalah sesuatu yang berada dalam koridor kebaikan. Hanya orang-orang yang hidup dalam koridor ini yang bisa disebut bebas, sedangkan mereka yang melampaui batas dari koridor ini akan masuk ke dalam suatu area yang mengharuskannya berjaga-jaga, bahkan terhadap orang yang paling dipercayainya sekalipun.

Penyulut pertikaian paling efektif kedua adalah Agama. Agama yang dalam banyak defenisi saya sederhanakan menjadi sebuah aturan tekstual yang otorotatif sekaligus fleksibel. Saya sebut otoritatif karena dari sisi pengetahuan agama sering dikelompokkan kedalam model pengetahuan otoritatif, namun silahkan tidak sependapat karena saya tak akan keberatan. Selain itu, pengetahuan ini lebih menitikberatkan aspek keyakinan dari pada penjelasan secara ilmiah dan logis. Karena ada banyak hal dari pengetahuan ini yang sangat sulit dijelaskan secara logis dan sulit sekali dibuktikan secara empiric. Berbicara mengenai agama sama saja mengusik ketenangan Tuhan dalam pemahaman manusia yang terbatas. Tuhan yang banyak kita pahami sebagai Maha Dzat dengan banyak ke-Maha-an sifatnya itu terasa begitu sulit jika ingin diwujudkannya dalam diri kita sebagai manifestasi. Dan tanpa kita sadari ini seringkali membuat kita berlaku sombong dalam ketidaktahuan. Sedangkan dalam kata fleksibel, secara subjektif saya katakan bahwa Tuhan adalah yang paling bisa diajak bernegoisasi. Saya tidak menyebutnya “mudah”, tapi saya yakin “bisa”.

Selanjutnya, jika Tuhan yang kita kenal menyukai kebaikan, keindahan, perdamaiaan, lalu dari manakah datangnya pertikaiaan, permusuhan, pembunuhan dan banyaknya kejahatan yang terjadi secara durative namun simultan. Bahkan dari banyaknya postulat yang mereka gunakan, postulat yang paling sering digunakan adalah postulat Ilahiah. Kerena postulat inilah yang paling efektif dalam segala lini kehidupan masyarakat. Apa bisa dikatakan bahwa Tuhanlah pemicu segala pertikaian, atau paling tidak dari banyaknya pertikaian yang paling dahsyat sebenarnya Tuhanlah alasan mereka harus bertikai. Anda yang punya jawaban tentang ini nanti. Tapi biarkan saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada anda.

Apakah Tuhan menciptakan pertikaian? Jika Tidak, apakah Tuhan ingin mencegah pertikaian tetapi tak mampu? Kalau begitu Tuhan impoten. Jika tidak, apakah itu berarti Tuhan mampu mencegah pertikaian tetapi tidak bersedia? Kalau begitu Tuhanlah yang jahat. Tetapi, jika Dia mampu dan bersedia, lalu darimana sebenarnya datangnya pertikaian-pertikaian itu jika Tuhan tidak menciptakannya?

Jadi, benarkah banyaknya pertikaian yang terjadi di Negara kita saat ini harus terjadi? Jika iya, apa alasan yang paling bisa diterima oleh keluarga para korban pertikaian tersebut? Mungkinkah seperti ini? Mereka mati karena membela kebesaran nama Tuhan. Lalu kenapa dengan Tuhan sehingga harus dibela sedemikian rupa. Apakah Tuhan begitu lemah dan tidak tahu balas budi. Kalau memang tidak demikian, kenapa tidak dihidupkan-Nya lagi anakku yang rela memberikan nyawanya pada Tuhan. Memang nyawa itu miliknya, tapi tidakkah Tuhan tahu bahwa aku masih sangat membutuhkan anakku hidup. Ratapan seperti inikah yang kita harapkan?

Kembalilah pada pengertian-pegertian yang berarti sejuk, indah, damai dan bahagia. Namun jika anda menemukan pengertian dengan makna lain, biarkan kebahagiaan dan kebaikan hati anda menerima itu sebagai sesuatu yang haru direnungkan sebelum pada akhirnya terjadi penyesalan. Negara kita sudah terlalu lama sengsara, haruskah kita teruskan pertikaian tanpa akhir yang jelas ini. Pertikaiaan yang intinya hanya ingin menguasai ini dari si anu. Agama sebenarnya adalah keindahan yang tentram dan bahagia, bukan pembelaan akan Tuhan dengan jalan yang tercela. Jika agama mengajarkan kita demikian, berarti pemahaman kitalah yang harus diluruskan. Akhirnya, Jangan anda sekali-kali merobohkan sebuah pagar, tanpa mengetahui terlebih dahulu mengapa pagar itu didirikan. Kebaikan dibangun dan didirikan agar kehidupan kita terlindungi dari keburukan. Jadi apakah anda akan tetap merobohkannya? Sekian dan Selamat Berkontemplasi!!!

)* “Ampuni aku dalam perenungan ini, Tuhan, atau jika ini tak cukup, beri dulu aku Pencerahan dalam arti menerima secara ikhlas tentang yang Engkau anggap benar”.

Animalisasi Human (Sebuah Refleksi)

Manusia adalah makhluk dalam banyak defenisi yang diciptakannya sendiri dengan pengetahuannya yang sangat terbatas. Pendefenisian tersebut dilakukannya untuk berbagai tujuan, sesuai dengan apa yang mereka pahami tentang apa sebenarnya mereka dan untuk apa mereka dicptakan. Mereka yang gandrung dalam peliknya masalah social mendefenisikan manusia sebagai makhluk social, makhluk yang membutuhkan banyak interaksi dengan orang lain atau makhluk yang (hampir bisa dikatakan) tidak bisa hidup tanpa ada orang lain. Dengan defenisi yang tenar ini, kita sering lupa untuk berkaca bahwa kita tidak pernah bisa dibedakan dengan hewan. Karena adakah makhluk didunia ini yang diciptakan Tuhan tanpa kemampuan berinteraksi dengan sesamanya, paling tidak untuk urusan reproduksi demi mempertahankan spesies mereka. Karena itu mari kita ingat ini, manusia dalam arti makhluk social adalah binatang dengan makna yang mengandung kelemahan paling lengkap.
Dalam kegelisahan yang lain, manusia menamai diri mereka zoon politicon. Hewan yang harus berpolitik, atau berusaha dengan banyak cara untuk memenuhi keinginan mereka yang tidak pernah habis dan terpuaskan dalam wujud definitif atau kalkulatif. Saya adalah orang yang paling pesimis dalam usaha memaknai politik sebagai sebuah kegiatan positif, meskipun ada sedikit sekali yang terjadi demikian. Kekacauan banyak tatanan rapi di dunia ini seringkali disebabkan karena keinginan satu dan segelintir orang yang ingin menempatkan dirinya sebagai pengatur setiap tingkah laku mayoritas golongan yang lain. Sementara dalam skala mayoritas itu, selalu saja ada segelintir orang yang menjunjung tinggi sempitnya makna kebebasan sebagai bentuk perlawanan terhadap perekayasaan keadaan social. Sangat sulit menentukan siapa yang salah dan siapa yang keterlaluan dalam fenomena ini. Penguasa merasa perlu mengatur apapun yang dilakukan dan dimiliki yang dikuasainya, sedangkan yang dikuasai merasa mampu mengatur kehidupan mereka sendiri tanpa harus direkayasa oleh penguasa. Penguasa berasa mampu seperti Tuhan, sedang yang dikuasai berasa tidak perlu adanya Tuhan, tapi sebenarnya mereka berdua sama sekali tidak penah kenal siapa itu “Tuhan”.
Belum lengkap jika kita tidak mengurai pula defenisi manusia dalam arti hewan yang berbicara. Ini juga defenisi yang sangat diskriminatif, seakan hewan yang tidak dinamai manusia itu tidak dapat berbicara. Padahal dengan apa mereka berkomunikasi untuk memahami yang satu dan yang lain kalau tidak dengan berbicara. Dan yang penting, anda harus ingat bahwa yang bisa berbicara bukanlah hanya lidah dan suara. Lalu, sudahkah anda temukan keanehan dalam diri anda setelah sampai di sini? Jika belum, segeralah kasihani diri anda dengan sangat karena anda ternyata tidak pernah bisa menyadari keegoisan anda sendiri dalam memperlakukan makhluk lain, bahkan untuk makhluk yang satu spesies dengan anda.
Tersisa banyak sekali defenisi manusia, termasuk pengertian yang menyebut manusia sebagai hewan yang berpikir. Lalu apa benar hewan yang tidak dinamai manusia itu tidak berpikir? Menurut saya itu kurang tepat. Hewan yang tidak dinamai manusia itu juga makhluk social, mereka mampu berbicara, mereka selalu berpolitik dan mereka juga makhluk yang mampu berpikir. Lalu apa bedanya dengan hewan yang dinamai manusia?
Begini, saya akan lebih sepakat jika manusia diartikan sebagai makhluk yang paling egois dan diskriminatif. Bagaimana tidak, sejak pendefenisian diri mereka saja mereka sudah tak ingin mengindahkan kekhasan makhluk lain yang secara substansial sama dengan mereka. Manusia seperti anda tidak akan pernah berlaku adil, bahkan pada diri anda sendiri. Termasuk saya, saat ini seharusnya saya sudah memberi hak pada mata saya untuk sekedar beristirahat, tapi saya justru sedang mengeksploitasinya demi selembar tulisan konyol hasil kontemplasi kejengkelan saya pada seseorang yang merasa dirinya paling benar. Saya tidak ingin mengatakan bahwa sayalah sebenarnya yang benar, saya hanya ingin anda memberi kesempatan dan membuka diri (pikiran) anda untuk mendengarkan apa yang saya katakan. Tapi cermati lagi ini, saya “tidak meminta” anda, saya hanya “ingin” anda meluangkan waktu anda untuk ini. Tapi saya justru “tidak ingin” anda berkata “yah, kamu yang benar”.
Kalau begitu biarkan saya menyelesaikan ini. Manusia memang makhluk yang mampu berpikir tentang dirinya sendiri dan tentang banyak hal yang ada disekitarnya. Tapi kemampuan mereka untuk mengenal dirinya sendiri (kebanyakan) jauh lebih lemah dari kekritisan mereka dalam memandang kelemahan makhluk lain, bahkan untuk yang sejenis dengannya. Manusia memang dikatakan Tuhan sebagai makhluk yang paling sempurna, tapi jangan lupa bahwa dengan kesempurnaan itulah kita bisa sampai pada tempat yang paling hina. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya. (Q.S At Tiin: 4-5).
Kesempurnaan kita bukan berarti legitimasi dari Tuhan untuk menghinakan makhluk lain dihadapan kita. Tapi bisakah kita menghinakan diri kita kepada Tuhan dengan saling menghargai satu sama lain. Ini akan sulit, tapi biarkan saya menjelaskan. Kita sebagai manusia mampu berpikir lebih baik dari hewan untuk hal-hal yang memang menjadi wilayah untuk kita pikirkan selaku manusia. Tapi bisakah kita berpikir sebaik itu tentang hal-hal atau habitat yang bukan menjadi wilayah untuk kita pikirkan. Atau lebih mudah, seorang ekonom akan memandang banyak hal dari segi spekulatif, tapi seorang psikolog akan lebih gencar mengamatinya dalam pengaruh yang ditimbulkan terhadap kejiwaan. Jadi, mulai dari sekarang cobalah untuk bersikap wajar dan adil, bahkan terhadap pendefenisian. Gunakan yang menurut anda paling tepat, tapi jangan katakan itu paling tepat pada orang lain yang belum siap menerima ketepatan dari anda.
Redefinisi manusia ini memang saya lakukan untuk kepentingan pribadi, tapi jika manfaatnya bisa dipetik untuk skala yang lebih luas, kenapa tidak? Luas yang saya maksud adalah memiliki banyak pengaruh baik dan banyak yang terpengaruh untuk menjadi lebih baik. Tapi jangan tanyakan pada saya seperti apa itu baik, karena kacamata saya terlalu tebal untuk memandang dengan jelas apa yang sesungguhnya diharapkan oleh kebaikan. Karena kebaikan adalah makhluk enigmatik yang sulit sekali didefenisikan secara tepat dan sesuai harapan. Kalaupun itu sudah sesuai harapan, maka pertanyaan lain yang akan timbul adalah harapan dari perspektif siapa. Sehingga pada kesimpulan akhir kita akan sulit menemukan kebaikan menurut teleskop universal.
Sejenak kita harus kembali pada teks universal versi Islam tentang untuk apa kita diciptakan dalam uraian singkat, tapi dengan makna kontekstual yang tak terbatas. Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S Ad-Dzaariyat: 56). ‘Abada – ya’budu – ‘ibadatan – ‘ubudatan – ‘ubudiyyatan memiliki arti menyembah, mengabdi dan menghinakan diri kepada Allah. Dari ini saja sudahkah anda sadari bahwa tugas anda di dunia ini sebenarnya bukan menghina, tapi menghinakan. Tidak menghina orang atau makhluk yang lain, tapi menghinakan diri anda sendiri dihadapan Tuhan yang anda yakini sebagai Yang Maha Suci dan Mulia. Jadi sebenarnya adakah manusia mulia dalam ukuran subjektif? Lalu benarkah ada manusia mulia dalam ukuran objektif? Jika ada mari kita lacak kembali benarkah itu objektif, karena jangan-jangan pengetahuan itu diciptakan sebagai pengetahuan otoritatif.
Tulisan ini sudah terlalu panjang untuk ukuran pembaca, tapi tulisan ini masih sangat sulit diakhiri. Manusia adalah makhluk dalam balutan kesalahan yang wajib, karena tak ada satu manusiapun yang diciptakan Tuhan di dunia ini tanpa melakukan kesalahan. Oleh karena itu, kita selalu punya kesempatan untuk saling menyalahkan satu sama lain. Tapi haruskah kita melakukannya? Ini tentang pilihan kita akan melakukannya atau tidak. Akhirnya, biarkan tulisan ini selesai anda baca, tapi jangan biarkan ini selesai begitu saja. Mari lanjutkan dengan refleksi yang lebih dalam dan utuh dalam banyak pengetahuan yang cukup. Tulisan ini tidak bisa saya selesaikan sendiri, saya butuh anda semua untuk menyelasaikannya. Tapi itu tidak berarti bahwa saya sedang berharap pada anda. Saya hanya berharap pada Tuhan supaya Beliau menyampaikan harapan saya melalui anda sebagai perantara pemenuh harapan saya. Sekian dan selamat berkontemplasi!!!

)* Penulis adalah hewan dalam pencarian makna untuk sebatas mengisi kehidupan yang fana.

Manusia hakikatnya adalah mati, kecuali mereka orang-orang yang alim.
Orang alim meskipun hidup sebenarya adalah tidur, kalau mereka tidak mengamalkan ilmunya.Orang yang mengamalkan ilmunyapun masih dianggap bohong, jika mereka tidak ikhlas.

(Al Ghozali)