AGAMA SEBAGAI RUH PENDIDIKAN

Oleh: Achmad Rois)*

Peran sosial agama telah ditutupi oleh tangan-tangan angkuh pendusta agama. Tidak sepantasnya tangan-tangan angkuh itu mengklaim kebenaran agama atas nama Tuhan.

(Dr. Ahmad Ali Riyadi, M.A)

Pendidikan secara umum mempunyai peran yang luhur dan agung. Hal ini sudah menjadi konsensus atau kesepakatan yang sudah disepakati semua pihak dan elemen masyarakat. Pendidikan selalu saja menjadi perbincangan yang menarik untuk diketengahkan dengan tema apapun. Meskipun di beberapa tempat, pendidikan menjadi sesuatu yang asing bahkan tidak menarik lagi untuk diperhatikan. Pendidikan saat ini mulai dipandang dari sudut yang sangat sempit. Misalnya, pendidikan oleh sebagian orang dianggap sebagai peramal dan penentu masa depan yang pasti. Maksudnya, jika seseorang belajar ilmu kedokteran, maka dipastikan atau diramalkan dia akan menjadi seorang dokter, dan begitu seterusnya.

Apakah paradigma ini salah? Tentu saja tidak. Orang boleh saja berharap menjadi apapun sesuai dengan jalur pendidikan yang ditempuhnya. Karena kebanyakan orang berpikir bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan. Paradigma ini pada awalnya tidak bermasalah, tapi kemudian akan berimplikasi pada sebuah orientasi yang sifatnya sekuler atau keduniawian semata. Karena orang seperti ini cenderung hanya berpikir bahwa hidup hanyalah soal untuk mencukupi kebutuhan pada wilayah perut. Hal ini akan diperparah ketika seseorang sudah berhasil dan dianggap sukses menempuh pekerjaan sesuai dengan spesifikasi pendidikannya menjadi lupa terhadap hakikat hidupnya sebagai manusia. Yaitu untuk mengabdi kepada Tuhan dan memberikan manfaat bagi orang-orang yang ada disekitarnya.

Pendidikan yang hanya menghasilkan manusia-manusia berpandangan sempit dan dangkal dalam menyikapi masalah hidup dan kehidupan, tentu saja menimbulkan banyak masalah terhadap pergaulan masyarakat sosial, bahkan menjadi dilema pada dirinya sendiri. Di satu sisi manusia membutuhkan kecukupan ekonomi, tapi di sisi lain yang lebih transenden, manusia pasti merasakan kematian. Dalam al-Qur’an surat Ali Imron: 185, Al Anbiya’ 35, Al Ankabut: 57, semua menyebutkan bahwa “setiap makhluk yang bernafas (manusia) pasti merasakan mati”.

Pertanyaannya adalah, kenapa Tuhan memilih redaksi “merasakan” dalam ayat ini? Apakah ada maksud tertentu? Tentu saja ada, jumhur ulama menafsirkan kata ini sebagai sebuah isyarat bahwa akan ada kehidupan yang lebih nyata dan abadi setelah kematian. Ibarat makanan, makanan hanya akan terasa ketika sampai pada lidah atau indera perasa, dan itu hanya membutuhkan waktu yang sangat singkat. Begitu juga kematian, kematian hanyalah pintu masuk ke dalam sebuah kehidupan yang abadi, nyata dan sebenar-benarnya kehidupan. Karena dalam banyak ayat lain dalam al-Qur’an disebutkan bahwa dunia hanya fatamorgana dan permainan. Jadi jelaslah bahwa pendidikan agama memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan pendidikan secara keseluruhan, bahkan dalam agama apapun.

Artinya, semua disiplin ilmu akan selaras dengan manusia, alam dan Tuhan manakala intelektualitas tersebut di dasari dengan pemahaman agama yang cukup memadai. Ilmu sosial-politik misalnya, sudah bukan sesuatu yang baru lagi kita temukan banyaknya kasus-kasus mencengangkan seperti suap menyuap, korupsi, pembunuhan dan bentuk kriminalisasi yang lain. Jika kita usut, apakah para pelaku kejahatan ini berasal dari golongan non-akademis? Justru kebanyakan dari mereka adalah manusia-manusia intelektual dan akademisi sukses. Namun sayangnya, mereka tidak memahami agama sebagai pedoman hidup dan matanya sudah tertutup oleh kemewahan fatamorgana sehingga membuat mereka lupa pada kehidupan yang akan datang. Apalah daya, konstruk pemikiran yang sekuler ini sudah terlanjur mendarah daging dan sulit dicegah lagi. Dan satu-satunya jalan yang bisa kita tempuh adalah mengembalikan mereka kepada ajaran agamanya masing-masing tentang kebajikan dan kebijaksanaan.

Persoalan ini tidak selesai begitu saja, ada problem lain yang juga tidak kalah menariknya dengan fenomena di atas. Dalam pesatnya perkembangan teknologi, industri dan informasi ini, manusia mulai condong kepada budaya konsumerisme. Karakteristik budaya ini adalah berubahnya paradigma masyarakat dalam menilai harkat dan martabat. Harkat dan martabat manusia mulai dinilai dari segi materi belaka. Hubungan dan penghargaan ini akan harmonis jika antara satu dan yang lainnya memiliki hubungan yang saling menguntungkan, dan apabila yang terjadi justru sebaliknya, maka hubungan ini dianggap tidak harmonis. Masyarakat seperti ini sudah mulai melupakan nilai agama tentang keikhlasan, tolong menolong bahkan toleransi. Karena yang ada dalam benak mereka hanyalah upah, keuntungan dan balas budi. Pergaulan sosial seperti ini sebenarnya lebih tidak harmonis lagi, karena akan mudah sekali menyulut pertikaian, terutama dari pihak yang merasa dirinya rugi dan dirugikan.

Problema di atas akan terus bergulir seperti bola salju menjadi paradigma kapitalisme. Dimana harkat dan martabat kemanusiaan hanya dinilai dari sisi modal dan aspek kepraktisan. Secara sosiologis, model atau budaya masyarakat kapitalisme ini sudah lahir dan terjadi secara alamiah, karena pada dasarnya, semua manusia memiliki sisi keduniawian atau sekularisme pada dirinya. Kodrat keduniawian ini muncul dari dunia yang semakin kompetitif, terutama kompetisi yang ada hubungannya dengan materi. Karena begitu ketatnya kompetisi antar individu, maka norma-norma pun berkembang mengikuti model konsumerisme dan kapitalisme. Sehingga nilai-nilai memanusiakan manusia pun mulai terkikis dan pudar kemudian berganti dengan nilai-nilai eksploitasi.

Pada wilayah inilah pendidikan, khususnya pendidikan agama mulai dirasakan urgensinya. Ketika posisi dan peran pendidikan agama dalam membentuk moral dan memanusiakan manusia dipertanyakan, maka pertanyaan tersebut akan mengundang jawaban yang dilematis lagi. Di satu sisi, pendidikan dan pendidikan agama diharapkan memberikan bekal pragmatis bagi manusia untuk menempuh masa depannya, dan menjadi media dakwah pengembangan agama sekaligus sebagai bodyguard moral manusia. Namun di sisi lain, tantangan pendidikan dan agama terletak pada sudah maraknya budaya kapitalisme dan konsumerisme. Tantangan besar terletak pada pendidikan agama, dimana pendidikan agama yang cenderung bersifat abstrak ini perlahan-lahan mulai tidak diminati dan dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang kuno dan tidak aktual.

Pendidikan agama secara umum, khususnya pendidikan Islam, seharusnya menjadi senjata pamungkas untuk dapat mengerakkan dinamika masyarakat. Secara idealis, pendidikan Islam atau agama secara luas dapat menjadi landasan atau pedoman perubahan masyarakat. Dalam hal ini agama berlaku sebagai ruh dari segala aktifitas sosial masyarakat, termasuk dalam pendidikan itu sendiri. Jika sudah demikian, pendidikan agama dan agama secara umum akan mampu berperan sebagai tranformasi sosial pada ruang publik dan memberi penyadaran bahwa saat ini, kita sedang berhadapan dengan dunia yang penuh dengan ilusi, rekayasa dan kebohongan. Jika pendidikan dalam hal ini adalah jiwa, maka agama harus menjadi ruhnya, karena jiwa tak akan bisa berfungsi dengan baik tanpa adanya ruh. Jika ruhnya sudah baik, maka besar harapan kita, jiwa-jiwa yang dihasilkan dari rahim pendidikan juga akan baik seperti ruhnya, begitu pula sebaliknya.

Akhirnya, pendidikan, dalam hal ini pendidikan Islam dan agama secara luas harus mampu menunjukkan jati diri atau ruhnya sebagai agen perubahan dan revolusi sosial. Hal ini sudah dinyatakan dan dibuktikan oleh Baginda Nabi Besar Muhammad SAW. Beliau mampu mengubah tatanan masyarakat yang dahulunya amburadul menjadi tatanan masyarakat yang mapan, bermoral dan akademis dengan senjata bernama Agama. Teladan ini sudah sepantasnya menjadi sesuatu yang kita tiru, bahwa dengan pemahaman agama yang benar dan baik, kehidupan akan menjadi lebih baik, bijak dan bijaksana. Jadi, agama harus diimplementasikan dalam bentuk disiplin ilmu apapun dan proses pendidikan dimanapun. Sehingga ruh agama menjadi kendali terhadap pendidikan dan kehidupan sosial kemasyarakatan.

)* Penulis adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theology (PKFT) Tulungagung

Iklan

KASIH IBU YANG TERLUPAKAN (Sebuah Renungan untuk Anak Negeri)

 Oleh: Ahmad Rois)*

Bulan Desember boleh dibilang sebagai bulan yang penuh dengan kenangan. Bagaimana tidak, bulan ini adalah bulan perpisahan antara satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang. Bulan ini memiliki beberapa moment penting yang biasa diperingati oleh berbagai golongan. Misalnya, Hari Anti Korupsi se-Dunia yang jatuh pada minggu kedua bulan Desember, tepatnya tanggal 9 Desember, selanjutnya Hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember, dan Hari Natal bagi umat yang merayakannya pada tanggal 25 Desember.

Sebagai bulan terakhir, Desember menjadi bulan pengenang sebelas bulan yang telah berlalu. Sejarah yang lalu akan segera diukir dalam tumpukan arsip-arsip yang memiliki sedikit kemungkinan untuk dibuka lagi tahun depan. Lembaga-lembaga pemerintahan atau non-pemerintah sibuk menyiapkan laporan pertanggung jawaban mereka. Berbagai hal mereka lakukan, dari mulai rekapitulasi dana anggaran sampai menghabis-habiskan dana anggaran yang masih tersisa dengan mengadakan kegiatan fiksi atau kegiatan sungguhan yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Lembaga pendidikan sibuk menyiapkan rancangan proposal anggaran baru untuk tahun depan, sementara anggaran tahun ini sudah habis entah dalam “perut” siapa. Lembaga pertanian, pertahanan, sosial bahkan keagamaan pun bernasib sama, kehabisan anggaran entah dalam “perut” siapa.

Fenomena di atas seakan sudah menjadi tradisi yang sangat lestari dalam dunia orang-orang berdasi dan berjas rapi. Jadi tidaklah mengherankan apabila berita mengenai korupsi, masih kita dengar setiap hari di televisi. Mereka terlalu sibuk dengan urusan ini dan itu, sehingga lupa dengan tugas mereka di pemerintahan, apalagi dengan peringatan-peringatan hari besar yang hanya diperingati sebagai formalitas belaka, tanpa isi tanpa esensi, semua hanya bualan fiksi dalam tradisi yang sudah usang dan basi.

Hari Ibu yang Mulia

Hari Ibu kiranya menjadi hari yang ruhnya paling merasuk dalam hati nurani. Bagaimana tidak, sosok berambut panjang ini merawat kita bahkan sebelum kita lahir ke dunia penuh kebohongan ini. Matanya boleh terpejam setiap malam, tapi jiwanya selalu terjaga dalam buaian kasih sayang. Tapi sayang, perjuangan hidup mati itu begitu saja hilang dan kita lupakan setelah kita benar-benar terjerembab dalam kebohongan yang nyata dari sisi sekularisme dunia. Meski begitu, kasih sayangnya tak pernah berakhir hanya karena kita tak tahu balas budi. Ia tetap saja tegar dan menjaga kita dalam keadaan apapun, bahkan harapannya terus menaungi kita sampai kehidupan yang akan datang.

Tidak cukup kiranya penulis menuliskan betapa agungnya gambaran jiwa seorang ibu, tapi paling tidak, melalui tulisan singkat ini, kenangan kita akan masa kanak-kanak saat bermanja dipangkuan ibu menjadi sesuatu yang bernilai untuk meluluhkan hati kita yang kian membatu dalam gemerlapnya dunia dan segala kesibukannya. Tidak ada yang salah bagi kita untuk mengenang kembali masa kanak-kanak yang penuh dengan kemesraan dan kasih sayang ibu. Semua itu memang sudah selayaknya kita dapatkan pada masanya. Tapi hak-hak seorang ibu untuk bahagia dihari tua juga merupakan kewajiban kita selaku jiwa yang dibesarkan dengan kemuliaan jiwa seorang ibu.

Di sisi lain yang benar-benar berbeda, memang pernah kita jumpai beberapa kasus tentang pembuangan bayi, aborsi, trafficking dan semacamnya. Tapi ini bukanlah sesuatu yang terjadi karena hati nurani yang mati. Sebagian kasusnya justru bermula dari pergaulan yang salah arti, dan berujung pada penyesalan tanpa arti, karena semuanya sudah terjadi dan tidak bisa kembali lagi. Sebagian lagi terjadi karena tuntutan ekonomi, hubungan yang tidak direstui, dan alasan lain yang tidak dapat diterima otak sama sekali. Namun, semua itu hanya bagian kecil dari dunia ibu yang – sebut saja – khilaf. Semua itu bukanlah sifat asli dari sosok jiwa yang suci bergelar Ibu.

Tangisan Ibu Pertiwi

Dalam skala yang lebih luas, setiap anak yang lahir adalah anak zaman, setiap anak yang lahir adalah anak Negeri yang akan meneruskan perjuangan kedua orang tuanya. Anak-anak kita kelak akan menghadapi problema yang berbeda dengan problem-problem yang kita hadapi sekarang. Masalah yang terjadi di masa depan akan semakin kompleks, jadi perlu kiranya kita selaku orang tua menyadari kenyataan ini sebagai sesuatu yang pasti. Karenanya, bekal-bekal yang harus kita siapkan untuk anak-anak kita harus lebih canggih dan maju dalam arti yang luas. Dalam hal ini, pengetahuan dan ilmu agama adalah yang paling penting dari ilmu-ilmu yang lain. Karena agama adalah pengetahuan dan ilmu yang berlaku sebagai pedoman dan falsafah hidup.

Meski demikian, ilmu-ilmu yang lain bukan berarti tidak penting atau tidak perlu kita ajarkan, tetapi ilmu apapun itu harus selalu berada di bawah payung akidah dan akhlak yang baik. Ilmu apapun itu, jika sudah terlepas dari pengawasan agama, akan sangat mengkhawatirkan untuk disalah gunakan sebagaimana mestinya. Karena itu agama memiliki peran yang signifikan dalam banyak hal. Agama dalam hal ini bukan hanya sebatas pengetahuan atau ilmu yang selesai pada wilayah “daging”, tapi harus sampai kepada “ruh”. Dalam istilah pendidikan, tidak boleh hanya selesai dalam teori, tetapi harus aplikatif dan fungsional.

Berangkat dari pengetahuan di atas, mari kita kenang kembali apa yang sudah terjadi pada Negeri ini belasan bahkan puluhan yang lalu. Dimana Indonesia masih berada dalam masa penjajahan, saat Ibu Pertiwi dijamah dan diperkosa habis-habisan oleh Belanda dan Jepang. Masa itu kemudian berlalu menjadi masa-masa penuh kebahagiaan dalam naungan kemerdekaan. Tapi ternyata, penderitaan Ibu Pertiwi tak kunjung berakhir, saat segala sesuatu yang ada di atas Tanah dan Air ini dilimpahkan menjadi kekayaan Negeri yang melimpah ruah, anak-anak Negeri justru terlena dan lupa pada perjuangan Ibu Pertiwi.

Saat ini, fenomena pemerkosaan Ibu Pertiwi menjadi semakin brutal dan sadis. Seluruh kekayaan Negeri ini nyaris dijual habis pada investor asing yang tujuannya jelas untuk meraup keuntungan pribadi. Budaya luhur Bangsa yang kaya inipun tidak terawat dan lestari lagi, justru budaya-budaya kotor globalisasi semakin dipupuk untuk merusak kearifan Ibu Pertiwi. Nyanyian-nyanyian anak Negeri tidak lagi terdengar lagi, semua sudah sirna ditelan dan digerus modernisasi. Modernisasi disosialisasikan sebagai budaya yang maju, tapi akibatnya justru membuat Ibu Pertiwi semakin terpuruk dalam buaian glamor dan fatamorgana.

Masih di sekitar Desember, 9 Desember lalu adalah hari Anti Korupsi se-Dunia. Hari itu adalah hari yang tidak seharusnya ada. Karena meskipun genderang perang terhadap korupsi sudah ditabuh ribuan kali, kasusnya tetap saja tak kunjung selesai. Bahkan yang lebih parah lagi, “maling-maling” baru justru kian tumbuh berseri seperti jamur di musim penghujan. Hal ini terus didukung dengan regulasi Negeri yang banyak sekali celah untuk dimasuki. Undang-undang menjadi permainan interpretasi kaum elit dan penguasa hukum. Bahkan suatu waktu kita dengan Mahkamah Konstitusi-pun terjerat dalam kasus memilukan, korupsi. Hakim-hakim tidak lagi jujur dan adil, tidak lagi peduli pada kebenaran dan integritas. Hanya kekayaan dan kekuasaan-lah motivasi mereka untuk hidup, seakan hidup ini akan berjalan terus tanpa adanya kematian.

Ditambah lagi dengan kasus pertikaian antar politikus yang sama-sama memperebutkan kekuasaan. Anggaran partai dicukupi dari anggaran yang seharusnya menjadi milik rakyat. Jadi wajar jika sampai saat ini pernah mencuat sebuah wacana bahwa rakyat tidak lagi percaya pada pemimpin atau penguasa Negeri. Lalu, siapa lagi yang peduli pada Ibu Pertiwi? Semua orang sudah lupa pada tangisan, darah dan nyawa yang dipertaruhkannya untuk membesarkan kita dan Negeri ini. Semua orang sudah terlena pada kekayaan, kekuasaan dan glamor yang tidak kunjung usai.

Dalam banyak kesempatan, penulis selalu mengabarkan kepada para pembaca bahwa Ibu Pertiwi sesungguhnya sedang menangis terisak-isak melihat carut-marutnya Negeri ini. Siapa lagi yang akan peduli, kalau bukan kita sebagai anak Negeri? Para penulis, teruslah menulis apapun yang kontribusinya jelas bagi pengetahuan dan ilmu yang akan memperkaya wawasan anak Negeri. Para Guru, teruslah mendidik, jangan hanya mengajar, karena anak Negeri saat ini sangat butuh pendidikan secara esensi, bukan hanya sekolah secara formalitas belaka. Pemimpin juga harus mulai peduli pada penderitaan yang saat ini dialami Ibu Pertiwi. Politikus, Budayawan, Dokter, Profesor dan apapun itu, semua harus tergerak hatinya untuk setia dan membahagiakan Ibu Pertiwi.

Akhirnya, apapun yang terjadi, jangan pernah lupa pada siapa yang sudah melahirkan, merawat dan membesarkanmu sampai saat ini. Dialah Ibu, dialah Ibu Pertiwi, Indonesia sampai mati. Terdengar seperti pesan singkat muda mudi yang sedang pacaran memang, tapi memang inilah yang dibutuhkan Ibu Pertiwi kita saat ini. Ia rindu akan kasih sayang anak-anak Negeri, pengabdian, ketulusan, kejujuran, keadilan dan kemerdekaan itu sendiri. Salam kasih bagi seluruh anak Negeri.

)* Penulis adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

WAJAH PARA PEMIMPIN

Oleh: Ahmad Rois)*

Tahun 2013 menjadi tahun transisi kepemimpinan, khususnya bagi provinsi Riau. Tanah melayu ini akan dihadapkan kepada sebuah pesta penuh janji dan pertanggungjawaban yang dinanti-nanti. Surat-surat pertanggungjawaban akan segera digelar di banyak sidang, baik yang digelar secara terbuka atau tertutup. Hiruk-pikuk kampanye BALON atau Calon gubernurpun akan segera kita temui diseluruh penjuru Negeri Gurindam 12 ini. Meskipun sebenarnya asap dari kobaran api politik ini sudah banyak merebak di pinggir-pinggir jalan dalam wujud baleho-baleho wajah para Calon Pemimpin Riau yang akan datang, paling tidak di sana tertulis 2013-2018. Sebagian visi dan misi mereka ada di sana, meskipun kebanyakan masih berbunyi seperti slogan yang penuh semangat, namun kosong sama sekali dari harapan masyarakat.

Riau Pos, salah satu Surat Kabar paling terkemuka dan banyak mendapat perhatian para pembaca di Riau secara umum, juga terkena dampak peliknya persaingan politik yang akan berlangsung tidak lama lagi ini. Jajak pendapat di gelar di salah satu kolom Aspirasi Pembaca. Meskipun di kolom tersebut dibubuhi keterangan “tidak bersifat ilmiah dan hanya mencerminkan opini para pembaca”, tapi kolom ini, menurut penulis akan mempunyai pengaruh yang signifikan bagi para pembaca secara umum, dan khususnya bagi para BALON GUBRI 2013-2018 tersebut. Karena bagaimanapun, media sejak dulu selalu mempunyai fungsi yang vital dalam mengarahkan dan membentuk opini masyarakat. Media selalu mempunyai posisi yang strategis – dan dianggap netral – dalam banyak hal, terutama yang berkaitan dengan persoalan politik, yang kental akan nuansa keberpihakan.

Kembali kepada masalah kepemimpinan di Negeri ini, secara umum, ada tiga fase sejarah kepemimpinan yang dimiliki bangsa Indonesia. Pertama, masa Orde Lama, yang sebenarnya adalah klaim dari Orde Baru untuk memberikan sebutan akrab bagi masa kepemimpinan Soekarno. Kedua, masa Orde Baru itu sendiri, yang dikuasai oleh Soeharto dengan Golkar, yang saat itu menjadi sistem politik yang paling mutahir pada masanya, sebelum pada akhirnya tahun 1990-an akhir suaranya ‘pecah’ dan nyaris hanya tinggal 40% saja. Ketiga, Masa Reformasi, yang ditandai dengan runtuhnya rezim Orde Baru, kemudian sistem demokrasi-pun mulai terdengar gaungnya sampai sekarang di seluruh penjuru Negeri.

Gambaran singkat mengenai ketiga fase ini mencerminkan bagaimana sistem politik yang berlangsung disetiap masanya, sebelum akhirnya kita sampai pada sebuah sistem yang dipuja-puja sebagai sistem terbaik, Demokrasi. Lantas sampai hari ini, demokrasi seperti apakah yang sebenarnya sedang dijalankan sebagai sistem politik Negeri ini? Dalam beberapa hal, demokrasi menjadi sesuatu yang positif, misalnya; memberikan kebebasan berpendapat. Tapi dalam perjalanannya, demokrasi banyak menimbulkan masalah-masalah baru yang bahkan menjadi lebih sulit dikontrol dan diselesaikan. Baik dari dalam pemerintahan itu sendiri, atau dari luar pemerintahan sebagai bagian dari sebuah sistem ‘kerakyatan’.

Secara awam, demokrasi dapat dimaknai sebagai sebuah sistem kerakyatan atau sebuah sistem pemerintahan yang berazas kerakyatan. Dari sana jelas bahwa kata kunci sistem demokrasi adalah rakyat atau kerakyatan. Tapi mengapa akhir-akhir ini perhatian kita akan hal ini seakan disamarkan dengan definisi-definisi tentang demokrasi yang rumit sekali untuk dipahami, apalagi diterapkan dalam bentuk praktis pemerintahan. Bahkan parahnya, kata ‘kerakyatan’ sudah dengan sengaja diganti menjadi ‘kekuasaan’ atau ‘penguasaan’. Demokrasi menjadi celah yang luas untuk memperkaya diri dan kelompok dengan manisnya kata-kata ‘untuk rakyat’. Hal ini menjadi ironis ketika sebuah sistem yang seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, menjadi berbalik menyengsarakan rakyat dan memperkaya kaum berdasi.

Dalam hal ini, tidak terlalu bijak untuk saling menyalahkan satu elemen dan elemen lain yang semuanya tersimpul dalam sebuah sistem. Tapi yang jelas, pemerintah, khususnya para pemimpin menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam menerapkan sistem ini sebagaimana mestinya. Pemimpin menjadi masinis yang bertanggungjawab penuh agar setiap gerbong di belakangnya tetap berjalan di atas rel yang sudah ditentukan. Artinya, setiap penumpang yang ada dalam setiap gerbong juga merupakan tanggungjawab penuh seorang masinis untuk mengantarkan mereka sampai pada tujuan. Tujuan tersebut adalah kesejahteraan, keadilan, kemakmuran dan kebahagiaan.  Jadi jelaslah dalam hal ini pemimpin adalah elemen paling penting dalam sistem ini.

Kategori Pemimpin

Lantas pemimpin yang bagaimanakah yang kita butuhkan saat ini? Yang bisa mengemban amanah rakyat dan mengantarkan mereka sampai pada tujuan akhir, kesejahteraan. Meskipun Riau adalah Negeri Melayu, tidak ada salahnya kita melihat filosofi kepemimpinan dari tanah Jawa, toh kita juga masih satu rumpun kesatuan Indonesia. Atau paling tidak, kita dapat memperkaya wawasan kita tentang kebudayaan suku bangsa lain, sehingga kita tidak seperti ‘katak dalam tempurung’.

Dalam Babad Tanah Jawa, diterakan bahwa ada tiga kriteria seorang pemimpin. Pertama, pemimpin yang nistha, mereka adalah para pemimpin yang cerdik dan banyak akal. Tapi sayangnya, kecerdikan mereka lahir dari kegilaan mereka untuk memperkaya diri mereka sendiri atau golongannya. Pemimpin semacam ini biasanya gila kekuasaan dan kekayaan. Pemimpin model ini biasanya menganut paham sekulerisme atau cinta keduniawian yang fana. Dia berusaha untuk menyunat sebagian besar hak-hak rakyat dengan dalih sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya, tujuan tersebut tampak menjadi sesuatu yang legal dan dengan mudah ia kuasai begitu saja untuk kepentingannya sendiri. Pemimpin semacam ini punya ribuan pretensi dan alibi. Ia sangat pandai bersilat lidah dan mengambil hati rakyat, tetapi sebenarnya adalah pamrih yang pada akhirnya akan menyengsarakan rakyatnya sendiri secara terus-menerus.

Kedua, pemimpin yang madya, pemimpin tipe ini memiliki ciri dua hal; 1) dia mau memberikan sebagian hartanya kepada rakyat. Pemberian ini disertai niat yang tulus tanpa pamrih apapun. Pemimpin seperti ini tidak berusaha memperkaya dirinya sendiri atau kelompoknya. Apalagi jika ia menjumpai rakyat yang masih di bawah standar kesejahteraan, hatinya akan segera luluh dan berusaha menggunakan kekuasaannya untuk memberikan kesejahteraan terhadap rakyatnya; 2) pemimpin madya cenderung berlaku adil dalam memberikan hukuman kepada rakyatnya yang bersalah. Dimatanya, tidak ada satupun dari warga negaranya yang kebal hukum, bahkan dirinya sendiri. Pemimpin seperti ini sangat peka terhadap HAM dan tidak suka main hakim sendiri.

Ketiga, pemimpin utama, pemimpin ini memiliki karakter dan berbudi bawaleksana. Artinya, mau memberikan sesuatu kepada rakyat secara ikhlas lahir dan batin, tanpa pamrih sedikitpun. Tujuannya hanya mengabdi sepenuhnya kepada rakyat dan Sang Gusti. Dia menempatkan dirinya sebagai pelayan bagi rakyatnya, tidak gila kekuasaan dan kehormatan. Ia tidak suka mengobral janji, baginya janji adalah sesuatu yang sakral dan harus dipertanggungjawabkan dihadapan Sang Gusti di kehidupan yang akan datang. Ia menjunjung tinggi sikap yang rendah hati dan kesederhanaan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Baginya, kepemimpinan adalah amanah dan tanggungjawab yang besar dan mulia.

Dari ketiga gambaran di atas, tugas kita kemudian adalah mengenali setiap pemimpin atau calon pemimpin kita yang akan datang. Jangan sampai dikemudian hari kita terjebak kedalam sejarah pahit kepemimpinan kita di masa lampau. Seringkali saya menulis “dalam hidup, tidak ada satupun yang dapat kita lakukan selain memilih, bahkan saat kita memutuskan untuk tidak memilihpun, itu merupakan sebuah pilihan, pilihan untuk tidak memilih”. Maksudnya jelas, hidup adalah tentang apa yang kita pilih dan seserius apa kita menjalani pilihan itu.

Akhirnya, tanggung jawab memilih pemimpin ada di tangan kita selaku rakyat dan peserta demokrasi. Memilih pemimpin adalah tugas hati nurani, tidaklah bijak mendengarkan janji-janji manis tanpa bukti dikemudian hari. Rakyat Indonesia sudah tidak lagi buta dalam menilai para pemimpin. Transparansi media dalam mengulas banyak hal mengenai perpolitikan di Negeri ini menjadi tayangan yang mendidik, terutama dalam hal pemahaman politik. Media cetak secara umum biasanya lebih tegas dalam mengulas banyak hal. Keberanian dan keterbukaan media secara umum menjadi jamuan positif bagi para pembaca. Sekali lagi, demokrasi adalah sistem kerakyatan, bukan sistem yang justru menjadi longgar bagi para penguasa untuk meraup kepentingan perut.

)* Penulis adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung