Janji, Ekspektasi dan Mimpi

Janji, Ekspektasi dan Mimpi

Janji, Ekspektasi dan Mimpi


Oleh: Achmad Rois)*

Indonesia yang saat ini berpenduduk kurang lebih 230 juta jiwa sepertinya sedang dilanda masalah yang cukup besar dan serius. Indonesia telah menentukan pilihan arah pembangunan negara disegala bidang, paling tidak untuk lima tahun kedepan. Hal ini ditandai dengan terpilihnya presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Kepala Negara sekaligus Pemimpin Pemerintahan. Ini berarti bahwa sebuah bangsa telah memilih jalan hidup demi kemajuan bangsanya minimal untuk masa lima tahun pemerintahan. Lantas bagaimanakah kriteria yang diharapkan oleh rakyat dalam kapasitasnya sebagai pemimpin yang ideal. Seorang pemimpin yang mampu membawa Negeri ini pada taraf kemajuan yang significan. Seorang pemimpin yang tidak mengutamakan kepentingan pribadi ataupun golongan dan berani memilih tindakan yang tepat meski tidak menjadikan dirinya populer.
Masyarakat kita terlalu pintar tentang konsep-konsep atau teori ke-pemimpin-an. Pantas kiranya jika masyarakat kita mengharapkan seorang pemimpin yang mumpuni dalam kompetensi dan kapasitasnya sebagai Kepala Negara dan Pemimpin Pemerintahan. Masyarakat kita tidak lagi peduli dengan konsep-konsep yang mereka bawa waktu berkampanye dulu. Rakyat Indonesia sudah cukup tua untuk mendengar sajian kata yang disusun dalam bentuk janji-janji. Rakyat sudah cukup mengerti bahwa yang harus dimiliki seorang Kepala Negara dan Pemimpin Pemerintahan bukan hanya kemampuan meramu konsep dan formulasi program. Melainkan kapasitas, kemampuan dan kerja nyata dalam berbagai bidang. Sehingga wajar jika masyarakat kita saat ini memiliki espektasi yang cukup tinggi dalam hal kapasitas dan implikasi program dilapangan. Dalam konteks itu semua, dapat dikatakan bahwa situasi Negara dan Bangsa saat ini membutuhkan figur seorang pemimpin yang berani, tegas, cepat, tanggap dan tepat.
Peringatan 100 hari masa kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudoyonno dan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II seharusnya diinterpretasikan sebagai evaluasi kinerja pemerintahan. Moment seperti ini harus bisa ditanggapi secara positif oleh semua pihak, baik dari element politikus, ormas, buruh, mahasiswa dan pihak pemerintah itu sendiri. Jika ditelisik, moment 28 Januari 2010 yang lalu adalah kelanjutan dari aksi besar yang berlangsung diseluruh pelosok Negeri pada tanggal 9 Desember 2009 yang lalu. Ini membuktikan bahwa rakyat Indonesia tidak lagi main-main dalam mengawal setiap kebijakan dan langkah-langkah pemerintahan. Problematika birokrasi yang terus membludak dimedia membuat masyarakat semakin mengerti bagaimana seharusnya menjadi rakyat yang baik. Bagaimana menjadi rakyat yang memiliki kepedulian tinggi terhadap stabilitas Nasional dan kemajuan Bangsa pada taraf Internasional. Dan rakyat yang memiliki aware Nasionalisme yang tinggi.
JANJI dan EKSPEKTASI
Bukan sesuatu yang mengherankan lagi jika seorang wakil rakyat menjanjikan sesuatu terhadap suara yang diwakilinya. Hal yang demikian adalah sesuatu yang lumrah dan diperbolehkan dalam etika politik, khususnya dalam proses penggalangan masa dan menarik simpati para simpatisan politik. Kegiatan semacam ini bisa dilakukan dimana saja, dalam kegiatan berkampanye atau dalam bentuk gerakan simpatik lainya seperti kegiatan amal atau bhakti sosial.
Begitu juga yang dilakukan presiden terpilih sebelum menjadi seorang Kepala Negara dan Pemimpin Pemerintahan. Setelah terpilih, beliau mencanangkan program 100 hari kerja. Hal ini secara positif mungkin dimaknai sebagai pijakan awal untuk memulai langkah kedepan menuju arah yang lebih baik. Tapi disisi lain, hal ini dicatat dalam benak masyarakat secara umum sebagai bentuk janji seorang Presiden. Jadi tidak perlu dikhawatirkan lagi jika suatu saat janji ini akan ditagih dalam bentuk yang nyata. Bukan dalam tataran konsep atau program yang muluk-muluk tanpa kejelasan implikasinya dilapangan.
Ada 15 poin penting yang dicatat oleh seluruh masyarakat dan diartikan secara keras sebagai janji seorang Presiden. Ekonomi, Politik, Pemerintahan Bersih, dan beberapa program lain.
Masalah korupsi sementara ini masih menjadi masalah yang mendapat pengamatan serius dari seluruh lapisan masyarakat. Baik dari lapisan masyarakat menegah kebawah seperti para petani dan buruh, masyarakat menengah keatas terutama masyarakat educated, dan masyarakat elite yaitu pihak birokrat, politikus dan lembaga-lembaga tinggi negara. Kerasnya tuntutan masyarakat kepada pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus ini adalah sesuatu yang wajar. Karena korelasi aksi 28 Januari 2010 dan 9 Desember 2009 lalu adalah wujud keseriusan masyarakat terhadap advokasi kinerja pemerintahan SBY dan gerakan yang bersifat kontinuitas. Rakyat kelihatanya memang tidak lagi main-main, bahkan bisa jadi akan ada aksi lanjutan terkait kinerja pemerintah hari ini. Hal itu mungkin saja terjadi karena ekspektasi masyarakat terhadap program 100 hari kerja ini cukup besar.
Kurang maksimalnya hasil dari program 100 hari ini disebabkan beberapa faktor, antara lain:
Pertama, masa 100 hari ini masih menjadi “masa bulan madu” bagi para anggota Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. “Bulan madu” dalam konteks kali ini tentu tidak dapat diartikan sepenuhnya seperti masa “bulan madu”nya sepasang pengantin baru. Para anggota kabinet yang disusun dari hasil koalisi politik dan berbagai pertimbangan penting tentu tidak akan begitu saja berjalan selaras sesuai harapan kita bersama sebagai masyarakat yang awam dalam dunia politik. Harus ada kesesuaian antara individu satu dengan yang lain, karena yang akan diperjuangkan adalah suara seluruh rakyat yang diwakili.
Kedua,
adanya kasus yang marak beberapa bulan yang lalu dengan sebutan kasus “Cicak dan Buaya“. Kasus ini banyak mengundang konsentrasi semua pihak terutama tim KPK dan Kepolisian. Dua lembaga yang sama-sama berfungsi menegakkan supremasi hukum di Indonesia ini terpaksa bertikai satu sama lain dimeja hijau. Hal ini tentu mempunyai pengaruh yang significan terhadap stabilitas nasional, terutama pada perjalanan program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Dan,
Ketiga, mencuatnya mega skandal Bank Century yang melibatkan beberapa tokoh penting sebagai penggerak roda pemerintahan. Bagaimana tidak, Boediono adalah seorang Wakil Presiden dan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Dua posisi ini adalah posisi yang sama-sama strategis mempengaruhi stabilitas nasional. Pengaruh yang significan juga dirasakan oleh puluhan anggota Panitia Khusus Angket Century. Mereka harus mondar-mandir keluar masuk ruang sidang untuk menyelesaikan proses persidangan. Masalah yang sangat rumit ini bahkan menghadirkan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Mantan Kabareskrim Susno Duaji untuk kembali diexpose diruang-ruang publik. Beberapa tokoh seperti ahli hukum yang memiliki pengaruh terhadap interpretasi media pun dihadirkan. Karena dikhawatirkan adanya interpretasi yang menyimpang dari konteks persidangan kemudian dimuat secara bebas dimedia dan dikonsumsi oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Proses-proses tersebut tidak bisa tidak berpengaruh terhadap berlangsungnya stabilitas Nasional dan roda pemerintahan.
MIMPI
Jika semua konsentrasi pemerintah terfokus kearah yang sama. Maka harapan masyarakat akan janji-janji pemerintahanpun hanya akan ada dalam mimpi. Sebenarnya ada hal lain yang juga tidak kalah penting untuk diperhatikan selain tiga hal yang telah saya sebutkan sebelumnya.
Permainan Mafia selama ini ternyata tidak hanya merambah wilayah hukum. Sebenarnya Mafia Perpajakan pun mempunyai peluang yang tidak kalah besarnya sebagai lahan basah korupsi. Padahal realitanya, sistem perpajakan adalah sistem yang mempunyai korelasi langsung terhadap jantung perekonomian bangsa. Dalam hal ini, peningkatan taraf ekonomi masyarakat juga merupakan salah satu program yang dicanangkan dan akan dipenuhi pada masa 100 hari kepemimpinan SBY. Tidak harus mengambil langkah yang muluk muluk, memperbaiki sistem perpajakan, mengalirkan dananya sesuai kebutuhan dan menempatkan pada tempat yang tepat, saya pikir akan lebih efektif untuk membantu stabilitas ekonomi bangsa. Tapi mungkin prosesnya tidak akan sesimple itu.
Terjadinya krisis listrik juga menjadi masalah yang serius dikalangan masyarakat. Ini dibuktikan dengan masih diberlakukannya sistem pemadaman bergilir, terutama pada beberapa daerah dipulau jawa. Bukankah program Revitalisasi Listrik ini sudah dicanangkan 100 hari yang lalu, tetapi sistem pemadaman bergilir masih juga dirasakan. Bahkan alasan kepergian Presiden dari Istana 28 Januari 2010 yang lalu adalah meresmikan PLTU di Labuhan, Banten. Padahal program ini sudah dicanangkan semenjak tahta pemerintahan diduduki oleh SBY dan JK 5 tahun 100 hari yang lalu.
Penerapan FTA (Free Trade Area) di Indonesia juga mengundang banyak kontroversi yang sebagian besar disuarakan oleh para buruh dan pengusaha kecil; padat karya. Pertanyaannya, apakah pemerintah sudah cukup mampu memberikan fasilitas yang cukup untuk membuat mereka mampu bersaing dipasar bebas 2010. Kebijakan ini dekecam keras di Surabaya oleh Kelompok Mayoritas Buruh dan Pengusaha Menengah kebawah pada aksi 28 Januari 2010 yang lalu. Mereka berasumsi bahwa kebijakan ini sama sekali tidak berpihak kepada rakyat kecil dan para buruh. Mereka juga memberikan kecaman keras terhadap sistem kontrak terhadap buruh. Keduanya menurut mereka tidak sesuai dengan cita-cita kemaslahatan mereka sebagai buruh dan rakyat kecil.
Lalu, sejauh mana atau apa tolak ukur yang digunakan dalam mengidentivikasi apakah program ini benar-benar berjalan atau berhasil? Jawabannya ada pada sejauh mana semua program itu berjalan dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat secara real. Hanya itu tolak ukur yang dapat digunakan. Jadi bukan pada program yang rapi dan mutahir diatas kertas, tetapi lebih pada implikasinya atau bentuk kongkrit yang dapat langsung dirasakan oleh masyarakat. Bukan seperti kosmetik yang indah dipermukaan tetapi hancur dalam kenyataan. Kenyataan lain yang harus dijawab adalah sejauh mana antisipasi pengangguran dari penerepan FTA. Akibatnya harus dispekulasi secara detail, karena kenyataan yang sedang kita hadapi adalah masih tingginya tingkat pengangguran pada masyarakat educated.
Akhirnya, Janji bukanlah mimpi yang begitu saja dapat dilupakan. Reduksi kredibilitas terhadap pemerintahan mungkin saja terjadi dikalangan masyarakat yang merasa aspirasinya tidak disalurkan atau janji yang menurut mereka dilupakan. Karena tolak ukur mereka adalah kepuasan dan mampu atau tidaknya sebuah program dalam menjawab kebutuhan secara real.

)* Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

Iklan

AKHIRNYA DALAM KESENDIRIAN, AKU BISA MELAMUN

Hari-hari setelah hari ini adalah proses yang serius. Tapi itu bukan berarti hari-hariku sebelumnya tidak ku jalani dengan penuh keseriusan. Namun, ada banyak pertanyaan yang selalu tak mampu kutepis. Perjalananku menempuh pendidikan menurutku sudah terlalu lama, tapi aku tak pernah ingin sama sekali mengakhirinya walau sesaat. Kecintaanku terhadap dunia seperti ini agaknya tak bisa digantikan dengan apapun. Aku hampir tak pernah berpikir sedikitpun tentang bagaimana masa depanku besok. Atau dalam bahasa yang lebih mudah dipahami, orang sering menyebutnya “dari mana aku akan mendapatkan uang untuk tetap bertahan hidup dari makan”. Nanti saja berpikir tentang masa depan karena saat ini adalah saat yang sedang terjadi dan harus dihadapi. Masa depan bukanlah sesuatu yang pasti terjadi, siapa yang tau bahwa setelah aku menulis kali ini aku mati. Karena tak ada sama sekali yang bisa menjamin hidupku ini abadi. Jadi untuk apa membicarakan “nanti”, kenapa tidak kita bicarakan saja sesuatu yang menarik dengan tema “saat ini”?

Suatu saat setelah pekerjaan rumahku selesai, aku menyalakan note book. Aku mendengarkan musik yang setiap saat selalu ku putar berulang-ulang. Alasannya bukan karena aku menyukainya, tapi karena memang tak ada musik lain yang akan kudengar selain musik-musik di hard disk yang tersimpan dalam note book ku. Barang kali seleraku tentang musik juga tergolong sangat rendah. Karena itu mungkin aku bukan penggemar maniak sebuah group band atau club malam yang menyediakan pertunjukan musik sebagai pemanja pengunjungnya. Tak ada musik atau lagu-lagu yang memiliki fungsi penting menurutku. Atau yang tergolong punya pengaruh significant terhadap ku saat mereka kuputar dan kudengarkan. Barang kali pendapatku akan banyak bertentangan dengan mereka para penggemar Kangen Band, ST 12, Hijau Daun atau DEWA 19. Mereka menganggap lagu-lagu yang dinyanyikan beberapa group band terkenal memberikan banyak inspirasi bagi hidup mereka, tapi menurutku tidak. Atau musik yang mereka dendangkan memiliki pengaruh spiritual tersendiri bagi para pendengarnya, seperti lagu yang sering didendangkan group band UNGU akhir-akhir ini, tapi menurutku juga tidak. Mungkin akan berbeda dengan para TNI atau Presiden yang begitu mengahargai lagu kebangsaan dan mars-mars kemiliteran. Bagi mereka itu adalah alasan paling tepat untuk bertahan hidup dengan keadaan apapun. Dalihnya Nasionalisme dan NKRI dijadikan harga mati. Alasan yang masuk akal, meskipun sebenarnya mereka berjuang demi kebohongan. Itu alasan mereka tentang lagu-lagu, tapi aku belum punya alasan untuk itu semua.

Tadi malam aku teringat satu hal karena itu aku tak dapat tidur dengan nyenyak. Tapi sekarang aku tahu bahwa salah satu alasan kenapa orang-orang tak bisa tidur nyenyak adalah karena mereka mengingat satu atau banyak hal. Ibuku mungkin tak pernah tidur nyenyak selama ini karena ada banyak hal yang pasti mengganggunya, termasuk bagaimana mengatur keuangan yang pas-pas an untuk tetap cukup membiayaiku sampai selesai kuliah. Kalau begitu, ayahku juga tak pernah tidur nyenyak. Pekerjaannya satu bulan tak cukup gaji untuk makan selama dua minggu. Tapi aku tetap harus sekolah, sering ditegaskannya waktu itu. Kalau aku saja tak dapat tidur nyenyak karena aku terus berpikir kenapa begitu banyak nyamuk malam ini. Lalu bagaimana dengan mereka yang nanti sore harus menyetor hasil sewa angkot pada bosnya. Bagaimana pula dengan wanita paruh baya sekertaris perusahaan besar itu? Dia sedang lembur kerja karena bosnya mendadak minta dibuatkan naskah untuk meeting besok jam 07.00 pagi. Sedangkan sekarang adalah waktunya pulang kerumah dan menyuruh anak-anaknya untuk mandi. Bagaimana kalau nanti malam suaminya tak bisa tidur karena ngantuknya mendadak terhambat oleh hasrat yang membelanggu. Rasa kantuk itu ada untuk datang, tapi tak kunjung sampai karena dia men-syarat-kan sesuatu. Apakah esok dia akan mendapati suaminya tetap tidur sampai siang hari; mogok kerja. Atau dalam keadaan bangun dengan kerut di dahi pertanda ada yang harus kau penuhi malam ini dan aku tak mau dengar ada kata lembur kerja lagi. Atau dia mendapati suaminya pulang pagi dengan pakaian lusuh, bau parfum yang asing dan diyakini bukan asli milik suaminya. Mulut berbau minuman keras, sisa lipstick yang entah lupa atau sengaja tidak dibersihkan dari leher. Atau harus pulang dengan mobil PATROLI bersama wanita lain dalam sepasang borgol dan esok hari dia mendapati suaminya itu di TV. Atau memang suaminya adalah seorang Direktur advertising agency.

Direktur? Cukup menarik, ada sesuatu yang sepele tentang jabatan tinggi ini tapi mungkin hal ini perlu kita kaji. Direktur menurutku adalah seseorang yang identik dengan dasi. Bukankah dasi ini adalah salah satu pelengkap pakaian formal yang menarik? Aku sama sekali tak tahu dari mana asal kata itu diambil. Apa makna etimologinya, apa makna terminologinya aku pun bahkan hampir tak pernah ingin tau. Aku pernah sesekali menanyakan tentang hal ini kepada guru BP tempat SMA ku dulu. Waktu itu aku dipanggil kekantor dengan alasan seragamku tak lengkap. Dasar anak bandel, celetusnya kesal. Apa kamu tahu hari apa ini? Jelas aku tahu, itu alasanku kenapa memakai baju putih dan celana abu-abu. Perkataan ku tadi mungkin sedikit membuatnya kesal. Tapi tak apalah, melanggar peraturan kan memang sudah menjadi hobbiku. Kalau kamu tahu ini hari apa, lantas mana dasi mu? Kenapa tak kau kenakan? Celetusnya makin terlihat kesal. Flu ku sudah sembuh pak, jadi tak perlu lagi ku kenakan benda miskin warna itu. Selesai sudah, menikmati hukuman diluar kelas bagiku lebih menyenangkan ketimbang belajar matematika dengan guru yang selalu menghitung berapa kali dia tersenyum sejak dia masuk dan mulai mengajar di kelas sampai nanti dia selesai mengajar.
Itu adalah awal aku mengenal dasi. Tapi kesendirianku kali ini memberikan pandangan yang berbeda tentang dasi. Jika waktu itu kukatakan dasi tidak akan berguna jika kita tidak terkena flu, itu karena aku adalah anak kelas 1 SMA yang bandel. Sekarang aku adalah mahasiswa Semester VII di Universitas paling terkenal di kota tempat aku lahir 22nd tahun yang lalu. Bukankah ini waktu yang cukup lama untuk sekedar mengenal kata dasi. Biarlah, aku sama sekali tak peduli berapa waktuku yang tersita untuk hal sepele ini.

Jika aku sempat mengenakannya; dasi nanti, aku akan katakan pada mereka beberapa hal. Ini sengaja kucatat, supaya aku tidak lupa nanti, karena semakin tua kemampuanku mengingat akan semakin berkurang.

Apa yang melingkar dileherku ini adalah kain yang pernah menjadi bahan tertawaan teman-temanku waktu aku masih duduk di kelas 1 SMA dulu. Tak ada gunanya, kecuali kau terkena flu. Ini adalah benda miskin warna yang diikat dengan cara rumit, menghambat udara yang masuk kedalam paru-paru dan membuat lehermu sulit untuk menoleh. Kau juga harus berhati-hati ketika berada didekat kipas angin kalau kau tak ingin tercekik oleh kain kecil ini.

Lalu jika seseorang menanyaiku tentang apa gunanya dasi yang kukenakan ini. Aku akan menjawab:

Sama sekali tak ada. Benda ini sama sekali tidak dekoratif, pembuatnya pun tak akan se-kreatif perancang busana pengantin atau pembuat mainan anak-anak. Benda ini sekarang menjadi lambang perbudakan, kekuasaan sekaligus keterasingan. Tidakkah kau lihat disetiap rumah tentara atau polisi yang memiliki anjing pelacak. Mereka selalu mengikat leher anjingnya dengan rantai bermotif simpul yang begitu rumit untuk kita tiru. Kerbau-kerbau juga demikian, bahkan kambing dan sapipun mendapatkan perlakuan yang sama seperti para tahanan yang miskin dan budak yang memberontak. Satu-satunya kegunaan dasi yang sebenarnya adalah ada pada perasaan lega ketika kau melepaskannya. Saat itu kau akan merasa lega seakan kau telah membebaskan dirimu dari sesuatu, meskipun kau sebenarnya tidak mengetahui hal itu. Kau tidak akan tau kau telah terbebas dari apa. Tapi rasa lega itu tetap akan ada dan lambat laun kau akan mengerti dengan sendirinya ketika kau telah lama tak mengenakannya lagi sebagai pelengkap pakaian formalmu.

AKU MELAMUN

AKU MELAMUN

PENDIDIKAN POLITIK DALAM KEMASAN MEDIA

PENDIDIKAN POLITIK DALAM KEMASAN MEDIA

PENDIDIKAN POLITIK DALAM KEMASAN MEDIA


Sidang Panitia Khusus Angket Century sudah berlangsung berhari-hari. Penyiarannya ditelevisi secara langsung membuat masyarakat semakin mengerti desas-desus terpojoknya pemerintahan SBY. Ungkapan para pengamat politik dalam setiap wawancara yang disiarkan langsung ditelevisi sedikit banyak pasti berpengaruh terhadap paradigma masyarakat dalam menilai stabilitas nasional sejak kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Hal ini semakin menarik dengan banyaknya kajian-kajian atau telaah dalam bentuk forum perdiskusian yang digelar oleh LSM, Organisasi-organisasi Independent dan Mahasiswa di kampus-kampus atau beberapa tempat yang mengundang perhatian publik.
Suasana sidang yang dapat kita saksikan langsung dari rumah atau diwarung-warung yang menyediakan televisi sebagai fasilitas pemanja pelanggannya, layaknya patut diacungi jempol. Selain sebagai fasilitas pendidikan politik, penyiaran sidang secara langsung adalah wujud dari sebuah sistem demokrasi yang transparan. Masyarakat tak bisa lagi dibohongi, mau tidak mau masyarakat sudah menyaksikan secara langsung bagaimana prosesi sidang berlangsung. Sebagai presiden, seharusnya SBY tak perlu lagi khawatir tentang isu-isu yang diklaim memojokkan pemerintah. Karena pada dasarnya sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini sudah mampu menjalani system politik demokrasi dalam kacamata individu, atau pemahaman subjektifnya masing-masing.
Media cetak dalam hal ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengembangan pemahaman dan ide masyarakat yang berkaitan dengan isu-isu politik atau fakta-fakta politik. Peradaban semacam ini secara fungsional harus senantiasa dipertahankan sinergitasnya dalam kacamata public. Dalam hal ini, public harus dimaknai masyarakat secara umum yang saat ini dilanda krisis kepercayaan dan haus akan figur seorang pemimpin yang tidak berpihak terhadap kepentingan pribadi ataupun golongan manapun.
Masyarakat membutuhkan contoh bagaimana memahami legislator politik dan kebijakan dalam bingkai hukum dan etika demokrasi. Lebih sempit lagi mungkin bisa kita maknai dengan etika persidangan. Selama puluhan tahun kita hanya mengenal istilah sidang tertutup, padahal pembahasan dalam sidang tersebut adalah tentang kepentingan khalayak ramai; rakyat. Kita dapat menyaksikan hasil sidang setelah keputusan sidang itu diketok dan baru berkomentar setelahnya, padahal setelah itu tak ada sama sekali yang mampu kita lakukan karena rapatnya pintu demokrasi dan rapinya disiplin dalam system politik saat itu. Saya tidak akan mengatakan bahwa sistem politik kita hari ini tidak disiplin atau tidak rapi. Tapi dari sisi lain, ada hal yang patut diberi apreisasi terutama terkait transparansi sidang dan pengambilan kebijakan yang dapat kita saksikan prosesnya secara langsung.
Kita sedang dihadapkan pada masalah besar keuangan bangsa dan desas-desus pemerintah yang terlibat langsung atau tak langsung dalam proses ini. Dan dalam hal ini kita sebagai rakyat kecil tak ada yang bisa diharapkan lebih banyak dari media selain eksistensi media dalam meliput hal apapun yang berkaitan dengan nasib kita sebagai kaum marginal. Sehingga kita tak lagi dibodohi oleh kepentingan-kepentingan sepihak kaum birokrat dan elite politik.
Masyarakat akan lebih mampu menentukan pilihan-pilihan selanjutnya tentang nasib dan kedaulatan mereka dengan pemahaman yang kondusif dan maksimal dari media cetak maupun elektronik. Saat ini dan sampai kapanpun fungsi media menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Selain sebagai wahana otentik penyalur ideology, media hendaknya mampu secara tranformatif mewadahi kreatifitas dan perkembangan pemahaman masyarakat, terutama yang berkaitan dengan alur kebijakan-kebijakan pemerintah.
Pada akhirnya, perjalanan politik di Negeri yang semakin lama semakin trenyuh ini harus dapat dinikmati secara utuh dalam bentuk pendidikan media sebagai wahana yang mempunyai pengaruh penting dalam mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah. Pemahaman politik adalah penting untuk setiap Warga Negara, karena peradaban dan kepribadian bangsa juga akan tercermin dari bagaimana pemahaman rakyat di Negara tersebut terhadap perpolitikan bangsanya.

TAK ADA GUNANYA LAGI BAHASA, KARENA SAAT INI SEMUA ADALAH KEBOHONGAN

Kadang kala kegelisahan hidup menjadikan semua yang kita jalani menjadi beban tak terlaksanakan. Seperti ketika beberapa gelintir orang sedang duduk dalam sebuah rapat atau perdiskusian penting yang membahas masalah-masalah penting pula. Beberapa dari mereka duduk tenang dengan pandangan-pandangan dan pikiran yang kosong tak mengerti, tetapi yang mereka tampilkan adalah ekspresi-ekspresi yang seakan-akan mereka sedang memikirkan ide-ide penting yang sangat berpengaruh dan mampu mempengaruhi peserta yang lain. Topeng seperti ini adalah sesuatu yang tidak jarang kita jumpai pada setiap perkumpulan. Dan kadang-kadang secara jujur harus berani kita katakan bahwa mereka adalah orang-orang yang sama setiap kali kita jumpai demikian.
Ternyata ada bahasa-bahasa yang bisa dimengerti tanpa harus diucapkan penuturnya. Seseorang tak perlu mengatakan mengantuk dalam keadaan mata merah menahan dan menguap dalam tempo yang hampir seiring dengan kedipan. Tak perlu mengatakan capek jika tiba diperaduan dengan keadaan terlentang pasrah meluruskan tulang. Tak perlu mengatakan “saya mengerti apa yang anda maksud” jika apa yang kita katakan sesuai alur dan aturan pembicaraan. Ada aturan-aturan tertentu untuk sebuah fungsi dan hubungan komunikasi yang secara otomatis sebenarnya tak perlu dipelajari dibangku sekolah atau perkuliahan. Jadi sebenarnya ada aturan-aturan tak ditentukan namun telah ditulis dan ditetapkan begitu saja oleh alam.
Suatu ketika kita mungkin akan menemui teman kita sedang menanti bus di perempatan. Tak harus kita tanyakan apa yang sedang dia lakukan disana, toh setiap hari kita menemuinya dalam keadaan dan waktu hampir bersamaan disana. Di jam-jam akhir perkuliahan atau waktu istirahat menjelang pulang. Penunggu angkutan tak perlu berteriak-teriak untuk menghentikan laju bus yang melaju dengan kecepatan tinggi, yang bahkan peyebrang jalan pun akan mati. Tak perlu lagi ada ayunan tangan karena mereka memang akan berhenti menjadikan kita sebagai penumpang. Bahkan saat kita sama sekali tak butuh bantuan.
Ada bahasa dengan jawaban tak semestinya sering kita ucapkan. Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu rumah kita dengan nafas terengah-engah kelelahan. Tanpa diminta, kita akan memberinya segelas air putih untuk diminum. Ini bukan tentang kebiasaan, tapi tentang ke-ilmu-an. Sepele saja misalnya, dalam ilmu kesehatan, seseorang dengan nafas terengah-engah adalah mereka yang butuh bantuan. Entah itu nafas buatan atau memberinya segelas air putih untuk ditelan. Ini tentang ke-ilmuan, diketahui bahwa air putih dan tarikan nafas teratur adalah proses penenangan. Tanpa sadar kita sebenarnya telah melakukan tindakan sederhana tersebut dengan begitu banyak pertimbangan. Namun bukan berarti dengan banyak pertimbangan kita mejadi lambat untuk melakukan tindakan.
Sebagian orang kadang merasa resah dengan suara tikus pada tumpukan sampah disamping atau dibelakang rumah. Suara gorden atau gantungan foto kenangan yang pecah jatuh kelantai karena angin bertiup tak wajar. Atau teriakan suara tetangga yang tadi pagi baru selesai melakukan Ijab Qabul pernikahan. Dan jendela kamarnya bersebrangan, dengan jarak tak terlalu jauh dengan jendela rumah kita. Sulit membedakan itu suara maling atau penjarah. Itu gempa bumi atau angin topan. Itu kenikmatan atau penyiksaan. Tak perlu terlalu jauh diungkapkan. Ini kenyataan.
Suatu hari kita akan berpikir bahwa kita akan semakin tua. Tanda-tanda ketuaan seperti memutihnya warna rambut dan kening yang berkerut legam sudah tak lagi bisa disembunyikan. Suatu hari kita hanya mampu berbaring diranjang dengan bau keringat dan liur yang hampir sama sekali sulit untuk dibedakan. Untuk pergi kekamar mandi pun tak akan terlaksana jika tanpa bantuan, entah itu kursi roda atau beberapa teman. Dengan terpaksa saya katakan bahwa ini adalah tentang kebaikan hubungan sosial.
Suatu hari tak ada lagi yang mengatakan kata-kata indah seperti pujian, bahkan istri atau suami kita. Padahal pada tahun pertama pernikahan kita hampir mendengarnya setiap kali memulai persetubuhan. Lebih sering bersetubuh pada tahun pertama, sedikit berkurang pada tahun kedua dan pada tahun ketiga kita hanya akan memikirkan tentang persetubuhan dalam dua kali seminggu dan melakukannya satu kali dalam dua minggu. Pasangan hidup tak lebih jauh dari hubungan pertemanan. Pada tahun itu istri kita hamil dan menjadi sering punya anak. Tak kan ada penampilan seksi untuk disajikan. Tak ada lagi perbincangan menarik. Bahkan untuk sebuah iklan teh, mereka harus menampilkan dua sosok tubuh tua tanpa perbincangan berjam-jam sehari.
Ini tak harus membuat kita ketakutan, karena ini adalah kenyataan pasti. Mungkin nanti tetapi pasti suasana seperti ini harus berani kita jalani dengan keberanian. Tak akan lagi ada ibu atau mertua dalam suasana demikian. Yang ada hanya tangisan anak-anak yang tak bisa dihentikan untuk beberapa lembar uang jajan. Tak perlu khawatir jika tetangga kita yang begitu baik, pada awalnya, menjadi lebih sering tak peduli atau lebih jarang berkunjung. Padahal suara detak jam malam tak bisa dilepaskan dari pendengaran. Hal-hal yang tak patut disepelekan ternyata justru sesuatu yang penting terabaikan.
Tak pernahkah kita lihat disuatu tempat bersama ibu atau bapak kita dipasar. Tak ada penjual emas dengan teriakan-teriakan kasar, sepert penjual roti atau celana dalam. Mereka hanya duduk tapi tak diam, karena yang mereka jajakan adalah kewibawaan. Kadang menjadi simbol keagungan dan kemegahan. Ini bukan sesuatu yang mengherankan, karena tak sedikit ibu-ibu yang kecopetan, bahkan dalam angkutan. Tak ada kemewahan yang pantas untuk dipertontonkan. Hanya mala petaka yang pantas disajikan. Bahkan tanpa sajian, semua bisa jadi santapan.
Hari, bahasa, symbol dan kejadian. Tak ada yang saling berkait. Tapi semuanya bertautan. Bahasa keindahan dari tubuh tak berbalut. Kenistaan dari rambut yang terpaut rentetan kejadian. Leher berduri tanpa hati kerendahan. Betis yang tak mampu menepis tragadi pencabulan. Perut tentang bahasa yang memaksakan. Kehendak yang harus berakhir di Meja Pengadilan. Bibir pengundang pertentangan. Bahkan kelamin yang harus dipaksa mencapai klimaks pun tak lepas dari kajian.
Semua mengatakan artinya dengan bahasa-bahasa yang tak pernah diucapkan, bahkan untuk memulai persetubuhan hanya cukup dengan satu kali kecupan. Pencurian dengan siulan tanda semua keadaan aman. Tapi dengan pemerintah mereka terus bermain dalam kebijakan. Undang-undang yang amanahnya sengaja dilupakan. Aparat keamanan yang hak asasinya dibunuh dengan perintah. Karena mereka memang hanya dibayar unuk menaati perintah. Bukan untuk berfikir atau bertindak lebih bijak.
Buat saya, tak ada lagi bahasa tentang ketulusan yang dikumandangkan. Karena diakui atau tidak, tak ada orang seperti kita yang mungkin mampu melakukan sesuatu untuk orang lain. Kita hanya lahir dari bahasa yang alasanya syiar dan sunnah keagamaan. Tapi hakikatnya kita adalah korban kenikmatan.

Suara Kebohongan

Suara Kebohongan

Jadi tak heran jika harus begitu banyak bayi dibuang dalam koran ataupun kaca tontonan. Ini adalah Fenomena yang tak mungkin dilupakan tapi sengaja dilupa-lupakan.

Sekian. Semoga bermanfaat.

MEMBACA MENJADI LEBIH EFEKTIF

MEMBACA MENJADI LEBIH EFEKTIF

MEMBACA MENJADI LEBIH EFEKTIF

Judul buku      : QUANTUM READER: MEMBACA LEBIH EFEKTIF,   LEBIH BERMAKNA DAN LEBIH CERDAS

Penerjemah    :  Lovely

Penyunting      :  Budyastuti R. H.

Penulis            :  Bobbi DePorter

Penerbit          :  Kaifa, Bandung

Cetakan I       :  November, 2009

Tebal               :  75 Halaman

Peresensi        : Achmad Rois)*

M embaca barangkali bukanlah hal yang asing lagi bagi kita. Para pelajar, mahasiswa, para pegawai kantoran, penjaga tiket busway atau sopir taksi yang sedang menunggu penumpangnya di terminal atau bandara. Tetapi yang mungkin menarik dari setiap mereka adalah tentang metode atau cara masing-masing dari mereka dalam menikmati bacaannya. Hal ini tentu tidak akan terlepas dari apa sebenarnya tujuan mereka membaca. Bisa dikatakan bahwa tujuan seorang mahasiswa yang sedang menyelesaikan studinya di kampus, relative tidak akan sama tujuannya dengan seorang sopir taksi yang sedang berada ditengah suasana menunggu penumpang. Setiap dari kita tentu punya alasan yang berbeda untuk mau membaca. Jika kita semua punya alasan maka setiap dari kita akan cenderung memilih waktu yang berbeda, suasana yang jauh berbeda, tingkat konsentrasi yang tak mungkin sama dari setiap individu. Jadi sudah pasti kita akan punya alasan-alasan tersendiri untuk meningkatkan kualitas membaca.

Terlepas dari itu semua, buku ini secara khusus dikemas oleh Bobbi DePorter untuk dipersembahkan kepada para Quantum Learner yang ingin belajar lebih banyak dari membaca. Menjadi lebih baik karena mampu membaca bacaan-bacaan baik dengan cara-cara yang baik pula. Serta melakukan hal-hal yang lebih baik di sekolah, kampus ataupun dalam ruang terbatas kehidupan.

Buku ini dikemas begitu menarik dengan penyertaan gambar yang sangat inspiratif. Pantas kiranya jika kita menyebut pendiri SuperCamp ini sebagai penulis sekaligus guru yang kreatif dan inspiratif.

Kita tidak bisa begitu saja “menyuruh” otak kita untuk membaca lebih cepat dan “menyuruh”-nya untuk mampu memahami lebih dalam dan cermat. Tapi kita masih bisa “meminta”-nya, semacam itulah kira-kira. Karena hal itu, maka pada Bab I, buku ini mengajak kita untuk menanyakan hal yang tepat sebelum kita membaca. Pertanyaan tentang apa manfaat bagi kita sehingga kita harus membaca. Pertanyaan itu akan menimbulkan motivasi dan keingintahuan. Motivasi ini disebut Motivasi Intrinsik, seperti yang dikatakan Penulis dalam buku ini. Motivasi tipe ini adalah motivasi yang paling efektif untuk belajar karena ini adalah sesuatu yang ingin kita lakukan untuk diri kita sendiri, bukan untuk guru atau dosen kita disekolah. Sehingga dalam suasana yang seperti ini kita akan benar-benar menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri.

Pada Bab II, Presiden Quantum Learning Network (QLN) yang bermarkas di Oceanside, California ini mengajak para pembaca untuk masuk dalam kondisi membaca yang maksimal. Sesuai dengan persiapan kita yang berawal dari motivasi bahwa kita harus melakukan pemenuhan kebutuhan untuk diri kita sendiri. Penulis mengajak kita me-minimalisir kemungkinan saat kita selesai membaca suatu materi dengan tanpa memahami materi itu sama sekali. Hal ini di-indentifikasi sebagai akibat dari kegiatan membaca tanpa menggambarkan materi-materi itu dalam pikiran kita. Karena itu penulis mengatakan bahwa “otak kita perlu citra untuk memahami makna; jika tidak, maka sesungguhnya kita hanya melihat tulisan-tulisan tanpa makna”. Jadi, agar dapat menggambarkan materi dan memahami materi yang kita baca, kita harus berada dalam kondisi yang tepat. Yaitu dalam kondisi yakin dan konsentrasi penuh saat membaca.

Pada Bab III dan IV, penulis mulai mengajarkan keterampilan pendukung untuk dapat memahami bacaan atau buku dengan baik. Keterampilan yang dimaksud adalah bagaimana menjadikan Mata dan Tangan sebagai instrument ampuh penunjang kemampuan otak menjadi maksimal. Otak kita igin membaca dengan cepat, tapi biasanya justru kita perlambat. Kita sering kali mengira bahwa jika kita membaca dengan lambat, maka kita akan dapat lebih memahami isi bacaan. Penulis menegaskan kenyataan yang sebaliknya, bahwa hal yang demikian justru akan membuat kita bosan, membuat pikiran melayang kemana-mana dan akhirnya kita akan gagal untuk mendapatkan informasi; atau kebutuhan untuk diri kita sendiri, seperti kita sebut di awal tadi. Karena itu penulis ingin agar kita para pembaca memper-tahankan keingintahuan dan kuantum kita dengan keterampilan mata dan tangan sebagai instrument penunjang kerja otak yang maksimal.

Pada Bab V dan VI, pendiri SuperCamp ini mengajak para pembaca untuk bisa mempelajari beberapa teori tentang metode membaca yang ampuh. Tetapi sekaligus meng-aplikasi-kanya langsung dalam kegiatan membaca yang professional. Kita mungkin pernah kehilangan data yang sangat penting karena kita bekerja terlalu cepat dan lupa menyimpannya. Karena itu, kita harus memastikan untuk menyalin semua informasi yang kita baca dan kita harus menyimpannya didalam otak. Metode ini adalah metode terakhir dalam system Quantum Reader yang dikemas begitu menarik dalam buku ini. Metode itu yang disebut Periksa dalam istilah yang digunakan buku ini. Membuat Peta Pikiran dan Menceritakan Kembali adalah isi dari metode ini. Kita bisa menceritakan kembali isi bacaan yang kita baca terhadap diri kita sendiri untuk mengingat bahwa Peta Pikiran akan membantu kita mengolah dan mengingat secara menyeluruh apa yang kita baca.

“Cara terbaik lain untuk meningkatkan pemahamanmu adalah dengan berbagi dengan orang lain apa yang kamu pelajari. Membagikan idemu akan mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama. Ini merupakan gerakan spiral yang bisa membuatmu semakin maju (hal: 58)”. Kutipan diatas sangat bermakna menurut saya, karena makna “berbagi” terlihat menjadi benar-benar mulia.

Buku ini dilengkapi dengan cara mengukur kecepatan membaca sehingga kita dapat melihat kemampuan kita sebelumnya saat membaca dan membandingkanya setelah kita mendapatkan buku ini sebagai panduan dan system yang kuat tentang metode membaca yang menarik dan professional. Hal ini tentu akan lebih memperkuat keinginan kita untuk segera mendapatkan buku ini sebagai konsumsi awal untuk mencapai kesuksesan membaca dan awal dari kegemilangan perjalanan dan karir kita dalam kehidupan.

Buku ini sangat membantu kita dalam hal fungsi membaca dan memberikan system enam langkah membaca lebih cepat, memahami lebih baik dan menemukan ide-ide yang mampu menggali petensi individu kita. Membaca membantu kita menemukan apa yang kita inginkan, mengikuti keinginan itu dan mendapatkan apa yang kita inginkan dalam hidup ini. Kita tidak hanya membutuhkan kemampuan membaca untuk mempertahankan keingintahuan, kita juga membutuhkan system membaca yang kuat dan handal agar kita bisa menggunakan lebih banyak kemampuan membaca kita tentang hal-hal yang paling penting unuk kita.

Buku ini menginginkan kita masuk sepenuhnya dalam dunia Quantum. Oleh karena itu kita perlu punya kemampuan dan keterampilan yang lebih cepat serta pengetahuan yang dalam untuk bisa belajar lebih banyak, menjadi lebih hebat, dan mampu melakukan lebih banyak hal.

Bagi banyak orang, membaca berubah menjadi PR yang harus dikerjakan, menulis seperti mengerjakan tugas dan mengingat membuat kita terkenang saat akan mengerjakan tes soal pilhan. Tapi tidak dengan para pembaca yang menikmati buku ini. Membaca akan menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi seperti nasi dan lauk pauk. Makanan yang harus dikonsumsi setiap hari oleh organ ter-mulia yang disebut otak.

)*  Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.

Alamat: STAIN Tulungagung, Jln. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung.

HP: 085645829226

Bagaimana Dengan ke-Pemimpin-an SBY?

Menangnya Partai Demokrat dibawah pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono pada pesta demokrasi 2009 yang lalu adalah sebuah prestasi yang pantas dibanggakan. Sebagai partai yang relative memiliki umur begitu muda dibanding beberapa partai besar lainnya yang menjadi pesaing beratnya pada pemilu tahun lalu yaitu Partai Golkar dan PDI Perjuangan. Kedua partai dibawah pimpinan Yusuf Kalla dan Megawati itu layaknya pantas mengacungkan kedua jempolnya kepada kemenangan besar yang diraih oleh Partai asuhan pria gagah yang acap kali akrab disapa SBY ini. Kemenangan yang diraih dari kerja keras setiap tim ini agaknya menjadi prestasi yang cukup melegakan bagi para tim sukses dan kader-kader utama partai Demokrat. Keberhasilan menduduki pemerintahan mutlak adalah dambaan bagi setiap mereka yang menjadi pendukung setia SBY. Perjuangan mereka memang bukan main-main. Keseriusan dan kerja keras mereka pantas mendapatkan hasil yang cemerlang bagi masa depan partai dan kesejahteaan pendukung-pendukungnya.

Setelah masuk kedalam ranah Pemerintahan Negara, kepentingan golongan haruslah dijadikan sebagai kepentingan nomor sekian dari banyak kepentingan-kepentingan lain. Kenyataan ini harus berani dihadapi dengan sikap lapang dada dan tanggung jawab penuh sebagai kader bangsa yang memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme tinggi. Kepentingan Negara haruslah menjadi kepentingan utama dari kepentingan golongan, apalagi kepentingan individu. Menurut penulis, ini adalah konsep Negara yang harus dijunjung tinggi bagi setiap warga Negara dan kaum birokrasi.

Berawal dari itu semua, Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II pun terbentuk. Seleksi pembantu presiden pun berlangsung lancar, meskipun sedikit perselisihan harus terjadi. Tapi itu adalah hal biasa bagi para pemain bola dilapangan politik, karena tujuannya sama, untuk sebuah gol yang diraih dengan kerja keras. Program jangka panjang pun disusun dan direncanakan sedemikian rapi untuk menjalankan Negara dibawah kepeminpinan yang arif dan sesuai dengan amanah UUD 45. Untuk gebrakan awal, program “Bersih-bersih”pun mulai dijalankan. SBY ingin seluruh pemerintahannya dijalankan “Bersih”, tanpa korupsi. Tim Sembilan dibentuk dan batas jatuh tempo ditetapkan agar program berjalan sesuai keinginan. Tempo 100 hari bukanlah hal yang pantas untuk dikatakan sepele. Kita bisa menilai kinerjanya nanti setelah semuanya terurai di alam nyata, disaksikan ditelevisi ataupun dibaca disurat kabar.

Semua tim mulai bekerja keras melaksanakan tugas-tugas yang diembannya. Perselisihan demi perselisihan besar ditingkatan birokrasi Negara terjadi. Kasus Antasari yang sampai hari ini belum tuntas dikalangan penegak-penegak hukum tingkat tinggi pun menjadi santapan media masa, cetak dan elektronik. Hal ini menjadi konsumsi yang harus secara telak dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat dari kasta atau golongan manapun di Indonesia.

Kasus kriminalisasi KPK pun tak kalah hebohnya dijadikan perbincangan di setiap pojok kampung ataupun warung-warung kopi dan nasi pecel. Beberapa kasus lain yang membuat Polri jatuh bangun untuk meningkatkan kembali citra positifnya dimata masyarakat juga terjadi tidak kalah hebohnya. Belum lagi kasus penganiayaan dan penembakan yang menyebabkan nyawa warga sipil tak bersalah terpaksa harus melayang dan mengundang tangis puluhan orang. Kinerja Polri saat ini menurut penulis perlu dipertanyakan. Benarkah seperti yang tertera di pos-pos peristirahatan mereka dengan slogan “Melayani Masyarakat” itu sudah benar-benar dijalankan secara maksimal. Atau malah menjadi momok yang mengerikan dengan seragam keangkuhan yang setiap hari dicitrakan. Ini adalah PR kita semua sebagai warga yang peduli terhadap Negara.

Waktunya jatuh tempo akan segera tiba. 28 Januari 2010 mendatang adalah hari akhir atau hari habisnya program kerja 100 hari Kabinet Indonesia Jilid II ini. Tapi skandal terbesar Negara terkait Bank Century pun tak kunjung selesai. Pantas kiranya jika disebut kasus besar karena pelakunya adalah orang-orang besar. Bagaimana tidak, Boediono dan Sri Muliani adalah orang sangat penting dalam menentukan langkah Negara selanjutnya. Keduanya adalah Wakil presiden sebagai orang Nomor-2 dinegara ini dan menteri keuangan yang tahu persis sirkulasi uang di Negara agraris ini.

Bahkan yang sedang marak beberapa hari ini adalah tentang penerbitan buku yang mengulas kucuran dana sekian triliun Bank Century dan melibatkan didalamnya nama SBY. Terlepas itu terbukti benar atau tidak ini, adalah tentang pencitraan seorang presiden dimata ratusan juta rakyat Indonesia yang pada pemilihan presiden beberapa bulan lalu mampu mengantongi kemenangan mutlak.

Beberapa hal diatas pantas kiranya membuat para mahasiswa yang menyebut dirinya Aliansi 30 kampus memberikan ultimatum keras terhadap pemerintahan SBY. Kata “Mundur secara hormat atau Turun secara paksa” adalah sesuatu yang bukan main-main. SBY harus benar-benar mampu mempertanggung jawabkan kepemimpinannya dihadapan seluruh rakyat Indonesia. Beberapa poin penting terkait hal diatas adalah tentang kasus-kasus seperti keadilan dan mafia hukum, pemberantasan korupsi, kriminalisasi KPK dan Skandal besar Bank Century. Ini dulu paling tidak harus segera diselesaikan, jika tidak ingin dianggap sebagai pemimpin yang gagal memimpin bangsa.

Akankah masyarakat tetap percaya terhadap ke-gagah-an seorang Kepala Negara yang dikemas begitu rapi dalam tutur dan sapa? Atau dari profesionalisme kinerja? Harapan penulis, semoga hal ini bisa dijadikan bahan refleksi bersama bagi masa depan bangsa kita tentang bagaimana memilih seorang pemimpin yang bertanggung jawab, jujur, amanah dan tidak suka ingkar janji.

HANYA TENTANG PERJALANAN TAK SIA

Sunyi seperti sabda,

Begitu nyata tentang ada,

Begitu hampa tanpa tanda,

Alampun tak jua ada tanpa tiada,

Api juga tak membara meski air telah kehilangan makna,

Betapa jeram, betapa tak dalam tentang hampa tanpa ketudukan dan kearifan segala.

HANYA TENTANG PERJALANAN TAK SIA

Hari itu langkah pasti terayun turuti kemauan hati. Tak ada kata terindah selain “aku harus pergi”, ini bukan untuk guru atau siapapun yang pernah melantunkan beberapa tuntutannya padaku. Ini adalah tentang kebutuhan jiwa dan hati. Bukan tentang cinta yang saat ini hampir telah kehilangan makna suci dan basi. Kerikil dan aspal penuh duri kembali menuntun kami pada keringat busuk tak peduli. Kejenuhan dating namun tak hirau oleh kami. Satu persatu kata terucap untuk sekedar menghibur diri. Tapi biarlah, kadang-kadang kelaparan bukan kita yang hanya sandang. Letih menyelinap diantara roda-roda jeruji dari lempeng yang entah apa, aku tak tahu. Kubiarkan semuanya hanya terlarut seperti debu. Juga kalbu dan hantu, ku biarkan mereka mengelilingi seluruh lapisan keras didalam kepalaku, tapi tak urung aku punya niat untuk mengusirnya, agar terlihat syahdu.

Kicauan burung sering kali dijadikan pertanda bagi mereka yang percaya itu ada, tapi bagi mereka yang tidak, biarlah, keduanya bukan masalah kita. Ada atau tidak itu adalah masalah yang sangat sulit untuk selesai dibahas. Tapi yang jelas sesuatu yang ada pasti berasal dari yang ada pula. Kelembaban tahah barangkali adalah sebuah pertanda becek. Keluarnya semut dari lorong-lorong tuanya mungkin sebuah pertanda. Peranda tentang hujan yang sebetar lagi akan turun. Lalu apa pedulinya bagi mereka yang sedang duduk-duduk santai ditaman kota atau beberapa tempat rekreasi lainnya di kota dan musim yang sama pula. Sama sekali tak ada. Hujan pun mereka tak akan risau, toh atap mobil cukup untuk mereka berteduh. Tapi tidak dengan hati mereka yang terus saja gaduh. Kenapa harus hujan padahal kesenanganku adalah kecerahan, katanya. Kakekku seorang petani yang bergantung sepenuhnya terhadap musim dan matahari. Jauh sekali bedanya dengan mereka yang sengaja menggantung dirinya dengan dasi. Membebani diri tanpa kesenangan, sampai mati.

Aku kadang-kadang suka mencuri, apa pun, apa saja yang ku cari. Tapi kusadari semuanya bukanlah jalan, melainkan kebuntuan. Aku pernah berkenalan dengan mereka yang suka mencuri, mereka bilang itu adalah hal yang paling menyenangkan, bayangkan saja jika mengambil mainan kunci dari sebuah toko accessories kemudian keluar tanpa mendengar alarm berbunyi. Aku melupakan sesuatu bahwa perjalanan adalah keinginan untuk secepat mungkin berhenti. Dan perjuangan adalah cara tercepat untuk segera mati. Kuncinya adalah tentang jati diri. Menjadi selesai akan membuat kita berhenti sampai disini. Seperti saat seorang penulis mengakhiri puluhan kata-katanya dengan titik dan huruf yang dibaca mati.

Aku kadang sering bertanya pada diriku sendiri kenapa dan apa pentingnya mengaji. Aku sering melihat keanehan tak terpecahkan dan tak ku mengerti, bahkan sampai saat ini. Tapi aku tahu, aku memang masih terlalu bodoh dan dini untuk hal sesulit ini. Kadang aku melihat didalam kitab suci hanya tumpukan kata tanpa arti. Tapi mungkin susunannya membuat kita sedikit mengerti.

Mengapa harus “bismi” awalnnya, dan mengapa pula harus “an-nass”. Ah… aku benar benar semakin tak mengerti. Atau barang kali hubungan sepenuhnya adalah tentang ilahi dan insani. Mengawalinya dengan penyerahan diri, dan melegitimasikannya dengan tindakan manusiawi. Ini benar-benar hal paling masuk akal menurutku. Baiklah kalau begitu, tapi masih ada yang lain.

Seperti ritual suci yang kadang pernah juga aku langgar. Mengangkat tangan tanda menyerah dan meletakkan dahi ditanah. Kemudian mengakhirinya dengan ucapan selamat. Apa aku terlalu jarang berfikir sehingga aku harus mengucap kata “tak tahu”. Untuk makna yang tak urung membuat begitu banyak makhluk terharu. Ternyata hubungan manusia terbaik adalah pada pencipta dan makhluknya. Diawali dengan ketundukan dan dibarengi dengan pengamalan.

Tak ada ternyata yang paling pantas disebut Tuhan. Kecuali yang sering kita namai Tuhan itu sendiri. Terlalu banyak tuhan yang saat ini harus rela disembah, tunduk pada Negara berarti menyembah Negara, tunduk pada Aturanya kadang berarti tak mengerti kenapa hal rumit itu harus dipatuhi. Kita yang muda dan nakal ini terlalu sering berkata lancang karena memang itulah tabiat kami. Mereka yang mahasiswa itu mengangap semua tema aturan termasuk Negara adalah Musuh besar yang harus dimusuhi. Kata mereka yang suka demo itu mereka tak ingin potensi individunya diburu lalu dibunuh. Karena mereka adalah musuh seragam lusuh yang tak pernah dicuci bahkan untuk sekali seminggu. Ini juga adalah perjalanan untuk berhenti.

Perjalanan juga kadang diartikan pembacaan. Membaca situasi yang akhirnya harus dilaksanakan dalam bentuk program oleh organ-organ. Terlalu sistematis, aku tak suka. Aku lebih suka ngawur dan semauku karena itu memang dasar dari tabiat dari keseharianku. Membaca pasar untuk dagangan agar cepat laku, membaca buku untuk ujian, membaca peta untuk bepergian, membaca tindakan untuk sebuah bahasa yang tak begitu saja mudah diartikan. Tapi semuanya tetap saja namanya membaca.

Tentang tanda, tentang ada, tentang kemaren dan esok seperti dalah kitab suci saja. Tapi benar semuanya memang ada disana. Nabi terakhir itu dulu tak bisa membaca tulisan. Tapi mambu membaca situasi dengan baik sehingga berhasil menciptakan peradaban yang baik pula. Kita saja kan yang sebenarnya telah merusaknya. Dengan emosi dan amukan-amukan yang sebenarnya tak pernah pantas dikatakan berarti.

Berarti orang punya alasan khusus masing-masing untuk dapat mengerti. Ya…seperti membaca contohnya. Aku adalah pembenci matematika. Alajabar terutama. Tapi disisi lain aku sering memberikan motivasi terhadap mereka yang sehati denganku, juga pembenci matematika. Aku katakan bahwa belajar aljabar adalah untuk sebuah perburuan binatang liar. Menatap soal adalah mulai masuk kehutan yang lebat, tapi bukan berarti tak bisa ditaklukkan. Yah…seperti berburu binatang liar yang kita bahkan tak tahu namanya. Maka dari itu mungkin pencipta rumus-rumus memberinya nama “x” yang artinya “belum diketahui”, bukan tidak diketahui. Lalu setelah perburuan selesai kita dapat melihat binatang itu kemudian kita memberinya nama yang tepat.

Ternyata menjalani hidup adalah tentang bagaimana menbaca. Hidup juga kumpulan dari banyak kata-kata yang secara tepat harus segera kita ketahui maknanya. Kata kuncinya “Hidup adalah tentang Kata dan Makna”. Membaca membuat kita tahu apa yang kita inginkan. Membuat kita mengikuti keinginan yang kita butuhkan. Dan mendapatkan apa yang kita butuhkan. Simple saja konsepnya. Tapi tak jarang orang sering lupa apa isinya kehidupan. Kalau begitu, hidup adalah tentang Demi dan Untuk. Demi siapa? Dan untuk siapa? Atau apa?

Begitulah jika hidup adalah untuk sebuah kata. Sebuah perjalanan. Sebuah pertanyaan yang jawabanya tak ada. Temukan saja paku yang tadi terjatuh dan bengkok kemudian luruskan kembali dan tancapkan lagi. Jika gagal, ulanglah lagi. Tapi jangan dengan cara yang sama Karena jika tetap dengan cara yang sama, engkau akan tahu hasilnya terlebih dahulu sebelum engkau melakukannya lagi. Gagal.

Bosan aku setiap hari mengaturmu, padahal aku bukan orang tuamu. Pemerintah ataupun aparat aroganmu. Biarlah apapun yang ku tulis ini menjadi saksi bahwa nanti pada akhirnya aku tetap harus mati. Pedasnya cabe, manisnya gula hanya akan terasa saat kedunya tersiksa. Wanita pencinta tak lupa setiap hari mengirim surat untuk kekasihnya. Setiap saat membaca surat dari kekasihnya. Dalam hitungan hari jika kekasihnya mati. Dia sudah melupakan bahkan namanya.

Tak ada ternyata yang sempurna. Yang sempurna ternya hanyalah kesempurnaan itu sendiri. Tak ada yang abadi. Yang abadi hanya perubahan. Tak ada yang sunyi. Karena kesunyian adalah diam dalam keramaian. Tak ada yang gelap meskipun kata itu disebut. Yang ada hanya kekurangan cahaya sehingga redup dan akhirnya menggelap, tapi sekali lagi tak ada yang gelap.

Pada akhirnya hidup adalah tentang memaknai kesendirian. Karena hidup adalah sendiri. Dalam kandungan kita sendiri. Dalam kubur kita sendiri . Dan harus bertanggung jawab kepada Tuhan dari apa yang kita perbuat juga sendiri. Oh…lebih baik sendiri.

APRESIASI UNTUK SANG PENAKLUK

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un
Saya secara pribadi dan kami segenap keluarga besar padepokan Pusat Kajian Filsafat dan Theologi Turut berduka cita sedalam-dalamnya duka, atas berpulangnya tokoh panutan dan salah satu putra terbaik bangsa. Dewan guru besar K.H Abdurrahman Wahid ke hadirat Ilahi Rabbi. Semoga segala amal ibadah beliau diterima di sisi Allah SWT, amal dan idenya dapat menjadi tauladan bagi kemaslahatan bangsa dan Beliau mendapatkan tempat yang sangat pantas di Sisi Allah SWT.
Rabu, 30 Desember 2009, agaknya menjadi hari yang sangat menegangkan, penuh harap dan doa selamat. Atau paling tidak, jika Engkau harus pergi, pergilah dengan sebaik-baiknya jalan dan selayak-layaknya saat. Barangkali suasana tersebut dirasakan oleh segenap keluarga besar K.H Abdurrahman Wahid, baik yang sedang dalam suasana hiruk pikuk dan bau obat di rumah sakit ataupun yang sedang mengenggam hand phone menunggu kabar apapun yang akan tiba melalui sms atau pun nada panggil telepon nya. Kekhawatiran dengan alasan yang sangat pantas bagi seluruh rakyat bangsa Indonesia pada umumnya, atau bahkan dunia sekalipun yang sedang menyaksikan televisi ataupun berita di surat kabar. Tokoh-tokoh masyarakat yang kerap kali akrab memanggil Beliau dengan sebutan Gus Dur pun tak kan kalah tercengang ketika terdengar kabar bahwa pada pukul 18.45 WIB yang lalu Beliau telah meninggalkan bagitu banyak kenangan yang tak mungkin setiap saat di ingat namun pasti tak akan pernah pula dilupakan oleh banyak orang. Pembesar-pembesar agama, Islam, Catholic, Konghucu, Buddha, Hindu dan entah agama apa lagi yang berteriak begitu histeris atas kepergian Beliau hari itu. Mr. president dan para pejabatnya sendiri pun tak kalah haru dengan rasa kehilangan yang amat saya kira sangat.
Secara pribadi belum pernah saya jumpai seorang tokoh se “hebat” Beliau. Banyak hal yang belum saya ketahui tentang biografi Beliau, tapi dari sedikit saja pengetahuan saya tentang beliau tersebut sudahlah cukup menjadi alasan yang tepat mengapa saya harus mengagumi sosok sederhana, penuh misteri seperti Beliau yang begitu Mulia dimata saya. Banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari sejarah kehidupan Beliau. Tentang kesederhanaan, ke-kasih sayang-an, ke-peduli-an, ke-arifan, ke-hamba-an, dan masih begitu banyak runtutan ke-ke yang lain yang tak bisa saya sebutkan lagi.
Tak heran bila Beliau disebut sebagai bapak dari banyak agama. Ke-prularis-an beliau membuat begitu banyak tokoh agama mampu mengakui bahwa semua agama adalah baik. Untuk masalah yang sangat fundamental seperti agama adalah bukan urusan yang gampang untuk diterima semua kalangan terutama orang-orang awam seperti saya, anda dan kita pada umumnya. Beliau mengajarkan bahwa begitu pentingnya menghargai orang lain dengan agama yang tidak harus sama untuk penghargaan yang sama seperti penghargaan terhadap teman dan saudara kita yang kebetulan memiliki keyakinan yang sama dengan kita. Padahal, saya kadang kurang begitu yakin apakah semua orang yang se-keyakin-an dengan saya itu juga mampu menghargai semua pemilik agama yang berbeda. Saya tidak pernah mencaci agama lain, karena saya pikir kita adalah dalam tujuan yang sama, tapi hanya kita harus menempuh jalan yang berbeda untuk menemukan apa yang kita sama-sama cari.
Saya sangat tertarik dengan semua paradigma yang digunakan Gus Dur dalam memandang agama. Hal ini cukup rumit untuk saya mengerti, tapi saya yakin suatu saat saya akan mengerti. Para penganut agama Konghucu menganggap Gus Dur sebagai “bapak” mereka. Saya tidak begitu mengerti apa arti “bapak” bagi mereka, tapi yang pasti “tokoh bapak” adalah orang yang di muliakan seperti saya memuliakan bapak saya sendiri di rumah. Sederhana saja, tak mungkin tak ada yang istimewa untuk seorang tokoh dari agama berbeda kemudian menjadi tokoh mulia dimata agama mereka. Sangat mengesankan bukan?
Mohon maaf sebelumnya kepada para pembaca yang tak sependapat dengan hal ini atau kepada pihak yang bersangkutan langsung dengan tulisan ini. Saya kadang-kadang pernah jengkel jika melihat keluarga Gus Dur tampil ditelevisi dengan berbagai atribut yang sama sekali berbeda dari umumnya. Gus Dur dengan kopyah lusuhnya dan baju batik dengan motif yang sangat sederhana. Ibu Sinta dengan jilbab putih dan kebaya kesayangannya. Tapi anak-anaknya ada yang tak pakai kerudung atau dalam nama apa saja lah yang biasa digunakan untuk membalut kepala (menutup aurat; dalam istilah Islam-nya). Pertanyaan yang timbul dalam benak saya hanyalah tentang bagaimana Beliau mendidik anak-anaknya. Pendidikannya begitu prulalis menurut saya. Menghargai hak-hak demokrasi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia terutama tentang kebebasan berpendapat. Beliau seperti sama sekali tidak khawatir keyakinan agamanya digadaikan dengan keyakinan agama lain. Tapi sudahlah, saya yakin beliau lebih mengerti tentang Alissa, Zannuba, Annita dan Inayah dari pada saya.
Dari sisi pendidikan beragama barangkali kita harus berani secara tegas memberikan pendidikan yang alami terhadap masalah yang fundamental ini; agama, untuk anak-anak didik atau anak kita sendiri. Pendidikan agama yang prularis secara substansial sangat berkaitan dengan bagaimana manusia memandang agama itu sendiri. Secara garis besar agama memiliki dua dimensi, yaitu dimensi risalah dan dimensi rahmat. Dimensi risalah mengharuskan umat beagama menyebarluaskan ajaran agamanya seluas mungkin. Sedangkan dimensi rahmat menuntut manusia agar dengan agamanya itu bisa menunjukkan sifat-sifat luhur seperti halnya sifat-sifat yang dimiliki Tuhan kepada sesama manusia. Penjelasan diatas bukan saya maksudkan untuk mengatakan bahwa Gus Dur adalah manusia sempurna. Makhluk dengan pengetahuan sempurna tentang ke-Tuhan-an atau apalah sebutan sempurna yang lain karena saya tetap yakin bahwa tak ada yang paling sempurna selain sifat-sifat yang dimiliki Tuhan itu sendiri. Tuhan adalah kesempurnaan tiada banding, terserah dalam konteks agama apa anda memaknai kata Tuhan dalam kalimat saya ini karena itu tidak akan menjadi masalah buat saya.
Realitanya, pendidikan agama selama ini lebih menitik beratkan agama sebagai Risalah dan belum memberikan keseimbangan dengan agama sebagai Rahmat. Karena itu dalam istilah Dr. Amin Abdullah pendidikan agama masih bersifat normatif. Pendidikan agama lebih menekankan proses pewarisan agama daripada penempatan anak didik untuk mencari pengalaman keberagamaan. Dalam otak anak didik disuguhkan konstruksi-konstruksi perumusan agama yang diderivasi dari norma-norma tekstual namun kosong dari proses pencarian spiritualitas. Maka menurut saya, perlu ada seorang perintis metode pendidikan agama yang mampu memadukan antara sisi normatif dan sisi historis-empiris. Gus Dur menurut saya sudah mencontohkanya terhadap kita. Hanya pertanyaanya, mampu atau tidak kita menjalankannya? Pengetahuan terbatas kita membuat cara pandang kita begitu sempit, sedangkan cara pandang yang begitu sempit membuat kiat begitu fanatic terhadap agama yang kita anut. Sehingga kadang-kadang dalam pembicaraan kita sering kali mengolok-olok agama lain. Padahal apakah hal yang demikian itu perlu kita lakukan?
Hal ini menjadi penting karena agama, (atau lebih sempit lagi wahyu) itu memiliki dua kekuatan legitimatif, yakni legitimasi tekstual dan konseptual. Dalam terminologi Al Farabi dalam kitab Al Millat al Fadhilah disebut dimensi teoritis dan pragmatis. Yang teoritis bersifat esensial dan abadi, sedang yang pragmatis selalu berubah-ubah. Secara sosiologis, agama pada hakikatnya adalah instrumen bagaimana kita dapat berdialog dengan Tuhan, menangkap pesan-pesan Tuhan dan berprilaku seperti pemahaman kita tentang Tuhan, Nabi dan ajaran esensial lain tentang agama itu sendiri. Agama tidak bisa tidak harus memberi prularitas bagi tumbuh suburnya penghayatan dan pengalaman keagamaan. Sehingga akan muncul agama ala intelektual, budayawan, konglomerat, pejabat, teknokrat, ulama, pastur, pendeta, tukang becak, mahasiswa dan lain-lain. Dari uraian diatas, maka fungsi pendidikan agama adalah bagaimana memberikan wahana yang kondusif bagi anak didik untuk menghayati agamanya tidak hanya sekedar teoritis, tetapi penghayatan yang benar-benar dikonstruksi dari pengalaman keber-agama-an. Lagi-lagi Gus Dur sudah menjadi tauladan yang baik buat kita. Beliau selalu menghargai lapisan masyarakat apa dan dengan agama apapun, dan ini adalah alasan yang tepat kenapa Beliau harus duduk di puncak pimpinan Pengurus Besar Nahdatul Ulama sejak usia yang masih relative muda dan dalam kurun waktu yang relative lama untuk ukuran sebuah periode kepemimpinan.
Selama ini dalam dunia pendidikan agama menurut saya telah banyak mengesampingkan penyampaian agama dari dimensi pengalaman manusia. Padahal secara jujur seperti halnya dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa keber-agama-an para Nabi seperti Ibrahim, Musa, Muhammad dan juga lainya hakikatnya adalah pengalaman keberagamaan. Bagaimana kisah Ibrahim dan Musa dalam perjalanan panjang pencarian Tuhan dan perjalanan Muhammad untuk mendapatkan wahyu. Semua itu adalah pengalaman keberagamaan. Sayang bahwa kekayaan pengalaman yang spiritual seperti itu kini masih miskin diajarkan didunia pendidikan agama. Pendidikan agama sekarang ini hanya memberi peluang kecil bagi anak didik untuk mengadakan proses pengembangan spiritual. Karena itu masalah agama menjadi dogmatis, stagnan dan semakin ekslusif. Proses penanaman agama menjadi intoleran, doktrinal sempit, kaku dan mengesampingkan kebenaran-kebenaran lain diluar dirinya. Padahal seperti yang dikatakan Hegel, bahwa “agama itu memiliki seribu satu ruh. Dia akan terus hidup dan berkembang selagi masih ada makhluk yang bernama manusia. Begitu juga semakin banyak orang mempelajari agama dan menghayatinya, maka sekian banyak pula warna dan corak pemahaman yang tumbuh dan berkembang”.
Bila dimensi pengalaman keberagamaan masing-masing individu ini bisa diterima apalagi bisa tumbuh subur didunia pendidikan agama, maka kita tidak bisa mengatakan “agama yang satu lebih baik dari yang lain”. Sebenarnya hakikat agama bukan terletak pada superioritas atau tidak. Sebab belajar ilmu, termasuk ilmu agama seperti yang dikatakan oleh Imam Al Ghazali, yang paling tinggi dan substansial adalah pengetahuan tentang Tuhan. Bagaimana dengan belajar agama seseorang akan memiliki kemampuan mukhasyafah untuk mengenal Tuhan. Atau dalam istilah Quthb al Din al Syirazi di sebut Al-Hikmah. Saya pikir Gus Dur adalah tokoh yang penuh “Hikmah” bagi siapapun. Artis, musisi, pelawak, presiden dan lain-lain. Kehadirannya mendatangkan rahmat dan kepergiannya menimbulkan sesal tak sesaat. Seperti saya yang sangat menyesal karena tak sempat bertemu langsung dengan Beliau.
Keberagamaan termasuk pemikiran agama adalah pengalaman keagamaan, maka Muhammad Arqoun menilai bahwa Epistimologi keilmuan semua agama termasuk agama Islam tidak lebih adalah produk sejarah. Meskipun semua agama memiliki nilai abadi dan universal, namun bila bersentuhan dengan kehidupan empiris, mau tidak mau agama harus bersifat historis. Kesalahan dalam pemahaman keagamaan sering muncul karena para pengikut agama sering menganggap rumusan para pemikir agama sebagai ajaran agama yang kebenarannya harus diyakini secara absolut. Maka muncul apa yang olehnya disebut Taqdis Al afkar ad Diniyyah (pensakralan terhadap pemikiran-pemikiran keagamaan). Bila dunia pendidikan terjebak pada platform seperti ini, maka pendidikan agama tidak hanya bersifat intoleran dan eksklusif, tetapi akan gagal untuk menempuh jalan menuju tanda komunikasi dengan Tuhan, kitab suci dan para Nabi itu sendiri. Sebab komunikasi dengan Tuhan, kitab suci dan para Nabi itu bisa terjadi masing-masing manusia memiliki wasilah intuitif yang mampu me-nyandra aspek-aspek tersebut. Disini kekuatan tekstual semata tidak mampu menghantarkan manusia ke tangga tersebut tanpa dipadu dengan pengalaman-pengalaman spiritual. Barang kali pengalaman spiritual apa yang pernah di alami Gus Dur dalam konteks kali ini. Saya tak banyak tau tentang itu, tapi yang saya percayai adalah isyarat-isyarat yang pernah disampaikan Beliau adalah tanda yang benar dan hanya dapat ditemukan setelah beberapa saat setelah beliau tersenyum khas atau tertawa sepintas. Tak terlalu banyak orang mengerti tentang firasat, tapi saya pikir beliau tidak hanya tau tentang api, tapi lebih dari itu, beliau bahkan sudah pernah terbakar api. Jadi tak heran jika ada banyak hal yang sering beliau jadikan gurauan atau lelucon beberapa hari kemudian menjadi tanda yang tak sempat dipikirkan oleh banyak orang.
Sebuah pendidikan agama bisa bersifat pluralis apabila para umat beragama bisa menyeimbangkan pemahaman agamanya antara Dimensi Risalah dengan Dimensi Rahmat. Begitu juga dunia pendidikan perlu menyeimbangkan antara materi-materi normatif tekstual dengan dimensi pengalaman keberagamaan. Sebab dengan memberikan porsi pengalaman keagamaan, peserta didik akan bisa menangkap makna keber-agama-an yang sejati. Dimana agama bukanlah tujuan akhir, melainkan sebagai instrumen untuk menemukan Tuhan. Sebagai instrumen, maka antara satu orang dengan yang lainnya akan berbeda. Jangankan berlainan agama, satu agama pun bisa berbeda-beda. Kekayaan pengalaman keagamaan inilah yang mendesak untuk dikonstruksi menjadi salah satu materi dan metode pendidikan agama.
Konsep rekonsiliasi antar umat beragama sudah sangat dan begitu sering kita dengar. Himbauan dari para pe-tinggi pemerintahan dan para tokoh keagamaan juga selalu mengatakan bahwa hal yang demikian itu akan lebih baik ketimbang kita mem-brutal-kan diri atau dengan kuat menolak kehadiran orang-orang dengan agama dan keyakinan yang berbeda, dan megadakan upacara-upacara atau perayaan-perayaan aneh yang berbeda pula.
Hal semacam ini sudah menjadi budaya kurang baik yang tetap dipertahankan. Pemahaman semacam ini begitu mudah membiarkan peluang kehancuran dan pertikaian masuk dalam bentuk doktrin-doktrin dan isu keagamaan. Dan lambat laun kefanatikan yang berlebihan akan membuat kehancuran yang tak disangkakan. Saya tidak akan memposisikan diri kedalam kelompok muslim yang terlalu fanatic terhadap adannya perayaan-perayaan hari besar agama lain yang dilaksanakan dihalaman depan atau dibelakang rumah saya. Hal yang demikian tidak harus mengusik aqidah kita sebagai seorang muslim yang baik; (semoga) bukan? Bahkan beliau; Gus Dur mampu memiliki hubungan persahabatan yang begitu baik dengan sahabat-sahabatnya yang berlainan agama.
Dari sisi nasionalisme pun, Negara kita bukan Negara islam, melainkan Negara yang menjadikan sebagian besar hukum dalam syariat islam sebagai landasan hukum yang universal. Negara kita begitu menghargai berbagai agama. Islam juga mengajarkan hal yang demikian baik dalam bagaimana kita harus menyikapi teman sekelas atau tetangga kita yang mempunyai keyakinan berbeda dengan kita. Bahkan Junjungan kita pun mencontohkan hal yang demikian mulia terhadap paman Beliau yang berlainan keyakinan dengan Beliau Baginda yang Mulia.
Apa beberapa alasan diatas belum cukup menghadirkan diri kita sebagai pribadi dengan sikap-sikap yang baik sebagai seorang muslim? Perlukah kita mengecam kepercayaan lain yang merayakan hari raya besarnya di tempat ibadahnya? Dan bukankah semua agama mengajarkan keteraturan yang begitu mulia untuk semua penganutnya yang taat? Tidak ada agama yang mengajarkan penganutnya yang taat untuk tidak menghargai orang lain.
Bagi saya secara pribadi, meyakini apa yang kita yakini itu sangat penting. Meyakini yang kita yakini adalah benar, juga merupakan hal penting. Aqidah adalah hal paling utama dalam agama saya, itu sebabnya Syahadat diposisikan paling awal dalam Rukun Islam yang Lima. Menjadikan diri kita baik dan menjadikan diri kita benar adalah bagian dari banyak hal penting dalam kehidupan kita, karena saat kita “menjadikan”, sesungguhnya saat itu kita sudah “menjadi”. Tapi menganggap diri kita paling baik atau paling benar bagi penulis adalah hal yang tidak begitu penting untuk saat ini. Karena kita tidak akan tau mana yang benar sebelum bertemu Pemilik yang sesungguhnya.
Ada banyak hal lain yang akan membuat saya begitu banyak pula menyebutkan beberapa teori yang saya ketahui dari rasa kagum dan bangga saya terhadap Beliau. Ke-sederhana-an, ke-humoris-an, ke-demokratis-an, ke-prularis-an, dan ke-kontroversi-an Beliau.
Ada yang telah saya lupakan, pada akhirnya ternyata saya mengerti. Gus Dur sebenarnya bukan sosok yang kontroversi seperti yang sering kita dengar. Hanya kita yang awam ini saja yang tak mampu mengikuti pola pikir beliau yang begitu luas. Seperti itu barang kali lebih tepat. Kenapa kita harus malu mengakui bahwa diri kita ini begitu lemah dan tak mampu. Sampai-sampai kita harus memberikan klaim yang hampir tak berdasar tepat itu kepada sosok yang begitu arif dan bersahabat. Konsep rahmatal lil’alamin dijalankannya dengan sangat baik bukan? Sampai-sampai tidak hanya para kyai dan santri saja yang mengantar kepergian Beliau, bahkan para pastur, pendeta, Buddha dan tokoh-tokoh agama lain pun turut hadir mengantarkan ke-pulang-an Beliau.
Sesuatu yang paling tak pantas mungkin justru dilakukan oleh para pejabat Negara dan Mr. President sendiri. “Penghormatan terakhir” kata mereka, apa pantas sosok yang begitu besar dimata dunia ini diberikan penghormatan terakhir. Sosok yang menjadikan lebih penting mencapaikan kepentingan orang lain dari pada kepentingan dirinya ini diberi penghormatan terakhir saat ke-wafat-annya. Benar-benar kurang pas menurut saya. (Cuma usul) Harusnya bukan “Penghormatan Terakhir” tapi “Penghormatan tak Terhingga dan Penghormatan yang tak pantas diakhiri”. Baiklah nanti sama-sama kita usulkan teks pengganti untuk protokoler president itu supaya lebih tepat untuk memilih kata penghormatan kepada siapapun yang berjasa besar untuk negeri ini termasuk sosok seperti Beliau; K.H Abdurrahman Ad Dakhil.

Sekian dulu, karena saat ini hanya apresiasi untuk Beliau dan pelajaran dari Beliau saja yang penting.
Semoga bermanfaat dan Salam pergerakan!!!