SAJAK MENGENANG

Oleh: Achmad Rois)*

“BIARKAN MEREKA MENGENALMU SECARA WAJAR, TAPI PERKENALKAN DIRIMU DALAM KETIDAKWAJARAN YANG LOGIS”

Aku, seorang laki-laki yang meninggalkan banyak kenangan kira-kira hampir enam tahun yang lalu. Beberapa hari yang lalu kenangan itu muncul begitu deras, menjadikan aktifitasku penuh dengan keceriaan yang sudah tidak kutemui sejak lima tahun yang lalu. Aku sendiri sebenarnya tidak begitu mengerti, mengapa kebanyakan orang harus berselisih paham terhadap masa lalu yang diciptakannya sendiri. Padahal aku dalam beberapa hari ini begitu banyak menikmati betapa posotifnya energy yang kudapatkan lantaran aku terlanjur berdamai dengan semua yang sudah pernah terjadi waktu itu.

Aku waktu itu adalah remaja yang tidak begitu tampan, namun sebagian orang berkata bahwa ada banyak hal menawan yang senantiasa tanpa kusadari tampil kepermukaan. Apapun itu, semua kusadari bukan karena ketampananan, tapi menurut psikiater terakhir yang aku hubungi, dia bilang aku sedang dalam zona rawat jalan. Aku lebih suka hidup dalam prilaku yang oleh banyak orang dianggap tak wajar, namun lambat laun ketidak wajaran itu menjadi sesuatu yang indah dan tak pernah mereka temukan tanpa kehadiranku di sekeliling mereka. Kemudian pada akhirnya ketidak wajaran itu mereka sukai sebagai sebuah prilaku yang mesti direnungkan.

Hidup ini tak perlu banyak kenangan, cukuplah beberapa saja. Kenangan seperti buaian angan dalam mimpi yang berayun bergelantung di awan. Mereka muncul terkadang dari sebab yang tak pernah kita duga dan kira-kirakan. Suatu waktu mereka hadir bersama nada dering, tetapi untuk zaman ini, mereka lebih sering muncul di situs-situs social. Sebelum tidur meracau, bangun tidur begitu dan mau makan kadang-kadang begitu juga. Tanpa lelah sepertinya mereka mengganguku dengan kebahagiaan. Kebahagiaan yang lambat laun menjadi sesuatu yang kuat dan tidak bisa dihitung dalam takaran yang sulit.

Saat persepsi menjadi sulit sekali dimengerti, aku kemudian kembali dalam jurang mimpi yang lama sudah kubangun dari balik jeruji. Ada banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi secara bertubi, sementara reaksinya belum diperhitungkan sama sekali. Lantas kenapa kita harus mempersulit diri dan hidup ini. Hidup ini terlalu indah untuk disakiti, jadi biarkan dia memilih jalan-jalan yang dia sukai. Tak perlu riskan pada kebebasannya memilih, karena hari ini, kebebasan lebih sering membelenggu dan meyakiti. Lagipula, sebenarnya kebebasan itu hanya wacana, tak pernah ada walau sekeping dalam realita.

Sahabatku yang saat ini banyak dan dimana-mana, berdamailah dengan masa lalumu dan jangan pernah sesalkan apa yang sudah terjadi. Kebahagiaanmu hari ini adalah hasil deklarasi perdamaianmu dengan masa lalu. Jadi patuhi perjanjian itu sebagai sesuatu yang mesti kau jalani dalam keadaan apapun yang nanti kau temui. Kebersamaanmu waktu itu adalah jalan penuh duri yang tidak berada ditengah jalan untuk dihindari. Karena terkadang sesuatu yang indah itu dimulai dari rasa sakit, keburukan, kerusakan atau apapun yang tidak kita inginan terjadi.

Kemudian suatu pagi aku terbangun karena sengitnya gigitan nyamuk lantaran Tuhan tidak memberi mereka pilihan lain, selain menghisap darah penidur pulas. Aku bangkit menyisihkan keluhan di atas jemuran kawat yang berada tidak jauh dari kamar mandi. Kubiarkan rasa kantukku tetap di atas karpet karena aku khawatir sesaat lagi aku ingin kembali kesana. Kubasuh muka berdosa ini dengan air keruh, lalu kucaci secara sadar hati gemuruh yang berguncang dalam setiap pengaruh. Tapi ternyata, ini rindu ntah pada siapa. Namun yang pasti, topik kita hari ini adalah masa lalu dalam banyak hitungan tragedy.

Ada banyak nama yang sulit kuingat setiapa saat, namun ada beberapa yang tak mungkin kulupa. Mereka sering hadir disela-sela tombol hand phone, di bawah karpet, ensel lemari, tumpukan buku-buku, jemuran, dan pintu. Suara mereka terdengar tiap kali aku menutup pintu dan menyapu halaman rumah penuh dedaunan dan debu. Kemudian wajahnya hadir saat mata terkilir setir menimpa semilir angin seperti kincir yang diplintir. Kemudian ternyata, aku mulai merindukan kalian yang dalam sedikit sekali kesempatan untuk bisa bertemu. Dari itu, dengarkanlah ini, biarkan aku mengenang kalian dalam kehangatan mentari dan keseragaman pelangi. Salam rindu selalu, untuk saat yang tempatnya selalu bergantung pada waktu.

)* Penulis adalah Peziarah Ghaib yang saat ini kesepian menanti kelelahan jiwanya pergi dalam bayang kerinduan, meskipun itu bukan cinta kasih.

Iklan

Tuhankah Pemicu Pertikaian?

Oleh: Achmad Rois)*

Ketahuilah, bahwa hidup dengan sepenuhnya ikhlas dalam kebaikan, adalah persiapan bagi kehidupan abadi yang indah dan mulia bersama semua jiwa terkemuka di surga nanti. (Mario Teguh)

Indonesia adalah Negara dengan penduduk yang tidak sedikit. Terdiri dari ribuan pulau dengan segala keindahan alam dan budayanya masing-masing. Keragamannya pernah terlihat indah bersama keagungan namanya dibelahan dunia yang lain. Pesona alamnya mampu meningkatkan income masyarakat sekitar sekaligus Negara dengan hak territorial dan perpajakannya. Keramahan penduduknya menjadi kepuasan dan keyamanan tersendiri bagi para wisatawan. Kesejukan alamnya adalah nikmat dan anugrah Tuhan yang sulit sekali disyukuri tanpa kesadaran akan manfaat yang diberi.

Menyoal tentang manusia dan wilayah kekuasaan, kita akan menemukan banyak fenomena unik, menarik, konyol dan tak beradab. Ada banyak geliat manusia yang digelutinya bersama aturan yang dibuatnya sendiri, atau aturan lain dalam bentuk teks (Agama). Dalam berinteraksi, manusia seringkali lupa pada hak dan kewajibanya sendiri serta orang lain. Dari itu, ada banyak aturan yang harus dibuat dan disepakati. Aturan tersebut (pada awalnya) bertujuan untuk membentuk sebuah tatanan peradaban yang beradad. Namun pada perjalanannya seringkali disalah gunakan sebagai legitimasi kebenaran untuk mendukung tercapainya tujuan dari kepentingan pribadi. Atau dengan kata lain, seseorang harus menguasai hak si anu agar hak si aku tercukupi berkat tereksploitasinya hak dan sumberdaya si anu.

Dari ketidak harmonisan antara keberagaman dan hak tersebutlah seringnya muncul pertikaiaan dalam jumlah yang tidak pernah sedikit dan selesai. Beginikah hakikat manusia diciptakan, untuk saling menghancurkan antara yang satu dengan yang lain. Tentu saja ada hakikat lain yang lebih tekstualis. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. …(Al-Hujurat : 13)”. Meskipun demikian, saya tidak akan memaksa anda untuk menyepakati bahwa ayat ini adalah ayat yang berisi tentang ajaran rekonsiliasi social, bahkan mungkin keagamaan. Tapi silahkan anda teruskan penggalan ayat ini sebagi panduan bagi anda untuk tau siapa yang paling mulia dalam hitungan perogatif Tuhan.

Paling tidak ada dua hal yang paling rentan memicu pertikaian, yaitu HAM dan Agama. Sebagaimana dikatakan dalam banyak buku sejarah, baik yang resmi atau yang non-resmi ada banyak peristiwa yang memungut perhatian intens dari dunia yang terjadi dikarenakan HAM dan Agama. Tapi pernahkan kita berpikir tentang siapa sebenarnya yang menciptakan doktrin tentang HAM dan mengapa doktrin ini diciptakan. Benarkah doktrin ini bertujuan untuk menghargai hak-hak kemanusiaan umat di dunia atau justru untuk menyulut banyak pertikaian karena ada yang mendukung gerakan mereka dalam skala luas dan intens. Dan haruskah aturan semacam ini menjadi baku dalam kesepakatan seluruh umat di dunia sementara ada segelintir komunitas yang mengambil banyak sekali keuntungan dari doktrin yang menghasilkan banyak pertikaian ini.

Apa yang paling diagungkan dalam doktrin HAM menurut anda? Yah, kebebasan. Kebebasan menjadi sebuah wacana yang menukik dalam tuntutan defenisi dan implikasi. Ribuan ilmuwan berusaha memaknai kata ini tanpa henti, tapi benarkah ini sudah merupakan sebuah solusi dari banyaknya pertikaian yang sampai sekarang masih terjadi di banyak belahan bumi. Atau lebih sulit lagi cobalah tanyakan pada diri anda, bisakah anda bebas, dan bebas dari apa? Jika sudah terjawab, adakah sebenarnya kebebasan menurut anda? Atau seseorang baru dikatakan bebas jika berada dalam titik tertentu? Lalu titik apa dan dimanakah itu?

Sebenarnya, setiap dari kita yang lahir dan hidup di dunia ini selalu dibatasi oleh sesuatu. Batasan itu yang sebenarnya menjadikan kita seorang pribadi yang bebas, atau sebaliknya. Jadi sebenarnya, tidak ada satu orangpun dari kita yang terbebas dari batasan. Setiap kita dibatasi oleh sesuatu, sehingga yang kita sebut sebagai kebebasan adalah sebuah kehidupan yang baik. Baik dalam arti kebebasan adalah segala sesuatu yang berada dalam batasan-batasan yang membuatnya masih disebut sebagai sesuatu atau seseorang yang baik. Kebebasan yang sesungguhnya adalah sesuatu yang berada dalam koridor kebaikan. Hanya orang-orang yang hidup dalam koridor ini yang bisa disebut bebas, sedangkan mereka yang melampaui batas dari koridor ini akan masuk ke dalam suatu area yang mengharuskannya berjaga-jaga, bahkan terhadap orang yang paling dipercayainya sekalipun.

Penyulut pertikaian paling efektif kedua adalah Agama. Agama yang dalam banyak defenisi saya sederhanakan menjadi sebuah aturan tekstual yang otorotatif sekaligus fleksibel. Saya sebut otoritatif karena dari sisi pengetahuan agama sering dikelompokkan kedalam model pengetahuan otoritatif, namun silahkan tidak sependapat karena saya tak akan keberatan. Selain itu, pengetahuan ini lebih menitikberatkan aspek keyakinan dari pada penjelasan secara ilmiah dan logis. Karena ada banyak hal dari pengetahuan ini yang sangat sulit dijelaskan secara logis dan sulit sekali dibuktikan secara empiric. Berbicara mengenai agama sama saja mengusik ketenangan Tuhan dalam pemahaman manusia yang terbatas. Tuhan yang banyak kita pahami sebagai Maha Dzat dengan banyak ke-Maha-an sifatnya itu terasa begitu sulit jika ingin diwujudkannya dalam diri kita sebagai manifestasi. Dan tanpa kita sadari ini seringkali membuat kita berlaku sombong dalam ketidaktahuan. Sedangkan dalam kata fleksibel, secara subjektif saya katakan bahwa Tuhan adalah yang paling bisa diajak bernegoisasi. Saya tidak menyebutnya “mudah”, tapi saya yakin “bisa”.

Selanjutnya, jika Tuhan yang kita kenal menyukai kebaikan, keindahan, perdamaiaan, lalu dari manakah datangnya pertikaiaan, permusuhan, pembunuhan dan banyaknya kejahatan yang terjadi secara durative namun simultan. Bahkan dari banyaknya postulat yang mereka gunakan, postulat yang paling sering digunakan adalah postulat Ilahiah. Kerena postulat inilah yang paling efektif dalam segala lini kehidupan masyarakat. Apa bisa dikatakan bahwa Tuhanlah pemicu segala pertikaian, atau paling tidak dari banyaknya pertikaian yang paling dahsyat sebenarnya Tuhanlah alasan mereka harus bertikai. Anda yang punya jawaban tentang ini nanti. Tapi biarkan saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada anda.

Apakah Tuhan menciptakan pertikaian? Jika Tidak, apakah Tuhan ingin mencegah pertikaian tetapi tak mampu? Kalau begitu Tuhan impoten. Jika tidak, apakah itu berarti Tuhan mampu mencegah pertikaian tetapi tidak bersedia? Kalau begitu Tuhanlah yang jahat. Tetapi, jika Dia mampu dan bersedia, lalu darimana sebenarnya datangnya pertikaian-pertikaian itu jika Tuhan tidak menciptakannya?

Jadi, benarkah banyaknya pertikaian yang terjadi di Negara kita saat ini harus terjadi? Jika iya, apa alasan yang paling bisa diterima oleh keluarga para korban pertikaian tersebut? Mungkinkah seperti ini? Mereka mati karena membela kebesaran nama Tuhan. Lalu kenapa dengan Tuhan sehingga harus dibela sedemikian rupa. Apakah Tuhan begitu lemah dan tidak tahu balas budi. Kalau memang tidak demikian, kenapa tidak dihidupkan-Nya lagi anakku yang rela memberikan nyawanya pada Tuhan. Memang nyawa itu miliknya, tapi tidakkah Tuhan tahu bahwa aku masih sangat membutuhkan anakku hidup. Ratapan seperti inikah yang kita harapkan?

Kembalilah pada pengertian-pegertian yang berarti sejuk, indah, damai dan bahagia. Namun jika anda menemukan pengertian dengan makna lain, biarkan kebahagiaan dan kebaikan hati anda menerima itu sebagai sesuatu yang haru direnungkan sebelum pada akhirnya terjadi penyesalan. Negara kita sudah terlalu lama sengsara, haruskah kita teruskan pertikaian tanpa akhir yang jelas ini. Pertikaiaan yang intinya hanya ingin menguasai ini dari si anu. Agama sebenarnya adalah keindahan yang tentram dan bahagia, bukan pembelaan akan Tuhan dengan jalan yang tercela. Jika agama mengajarkan kita demikian, berarti pemahaman kitalah yang harus diluruskan. Akhirnya, Jangan anda sekali-kali merobohkan sebuah pagar, tanpa mengetahui terlebih dahulu mengapa pagar itu didirikan. Kebaikan dibangun dan didirikan agar kehidupan kita terlindungi dari keburukan. Jadi apakah anda akan tetap merobohkannya? Sekian dan Selamat Berkontemplasi!!!

)* “Ampuni aku dalam perenungan ini, Tuhan, atau jika ini tak cukup, beri dulu aku Pencerahan dalam arti menerima secara ikhlas tentang yang Engkau anggap benar”.

HARI INI AKU BENAR-BENAR MARAH

Oleh: Achmad Rois)*

31 Januari 2010

“Harus ku awali dari mana ceritaku?” Tanyaku pada kertas A4 sebagai kanvas tempat aku akan menulis saat ini. “Terserah kamu saja”, jawabnya tak terdengar. “Baiklah”, ide yang bagus, kataku dalam hati. Terserah aku, aku yang mau bercerita, kenapa harus terserah orang lain, ini ceritaku, bukan cerita orang lain yang ku kutip dari cerpen, novel atau pun kisah nyata teman dekatku.

Aku kebetulan aktif kira-kira sejak 3 tahun yang lalu dalam sebuah organisasi kecil tempat aku berproses dalam menuntut apapun yang harus aku tuntut. Ilmu, skill organisasi, seni memimpin, kaderisasi, filsafat, theologi, media, bahkan kebijakan dan wewenang pun kadang-kadang aku tuntut. Banyak hal yang sudah aku dapatkan darinya; Organisasi Kecil. Kapan aku harus menulis, kapan aku harus membaca, kapan aku harus bolos kuliah, kapan aku harus bangun kesiangan, kapan aku harus bermain kartu, kapan aku harus ke cafe dan kapan aku harus tidur larut malam. Semuanya proses tersebut aku pelajari dengan baik disana karena kapan menurutku adalah pertanyaan yang tepat untuk melakukan sesuatu setelah mengapa.

Membincangkan teori-teori para pemikir berpengaruh didunia adalah keseharian dari kegiatan kami selain tidur dan pergi ke cafe. Kami sering lupa waktu jika sudah bertengkar tentang sebuah konsep atau teori yang penulisnya bahkan belum pernah kami temui secara langsung atau melihat gambarnya dikoran dan televisi. Kami hanya menemukan namanya disetiap sampul atau dihalaman kedua buku-buku yang ditulisnya. Tapi itu tidak membuat kami berhenti belajar. Kami mempelajari bagaimana kebenaran timbul dalam berbagai perspektif, bukan belajar mana yang saat ini disebut benar atau mana yang divonis kurang benar. Karena itu kami semua tak pernah merasa benar, kami tau bahwa kebenaran itu “tak ada” didunia tempat kami berproses untuk bertahan hidup. Yang kami yakini, kebenaran hanya ada milik Beliau yang Maha Benar. Apa yang menurut kita benar belum tentu benar untuk orang lain, begitu pula sebaliknya, dan apa yang kita dan orang lain sebut benar belum tentu pula benar menurut Beliau Sang Maha Benar. Itu semua kami pahami dengan baik dan utuh. Sebab itu kami hampir tak pernah menyalahkan satu sama lain.

Sesungguhnya aku bukan mempelajari isi buku-buku itu, tapi aku mencoba belajar bagaimana cara para penulisnya berpikir. Aku diajari bertanggung jawab terhadap apa yang aku lakukan. Termasuk ketika berargumen atau mengeluarkan kata-kata kotor. Aku dituntut untuk punya alasan dari setiap yang kukatakan dan kuperbuat. Aku adalah orang yang dididik untuk bertanggung jawab. Karena perlu diingat bahwa tidak semua orang terdidik bisa bertanggung jawab. Anda pun tahu bahwa saat ini begitu banyak mereka yang berpendidikan tinggi namun tak mengerti atau pura-pura tak mengerti tentang tanggung jawab. Baik itu tanggung jawab terhadap diri mereka sendiri atau orang lain. Dan tanggung jawab tertinggi adalah Tanggung Jawab terhadap Beliau Pemilik Kehidupan, itu yang penting.

Maaf, aku lupa. Aku lupa kalau aku sedang marah. Kalau begitu biar kuselesaikan dulu marahku. Aku sedang bertugas untuk tujuan yang jelas, untuk eksistensi. Semalaman aku tak tidur karena harus ngobrol tanpa tema dan alur yang rapi dengan salah seorang putra Kyai tempat aku menimba begitu banyak ilmu ukhrawi. Dia mengenalkan padaku tentang banyak hal, termasuk bagaimana caranya agar tidak mengantuk waktu ngobrol semalaman. Semuanya kupelajari dengan sangat baik. Meskipun kami sama-sama pemalas, tapi kami yakin kami tidak termasuk kedalam golongan orang-orang yang kurang pintar dan tak mampu membagi waktu dengan baik. Kulanjutkan perjalanan pagiku dengan berangkat ketujuan terencana. Begitu jauh dan pasti akan sangat melelahkan, apalagi ketika kutemui beliau tak ada di rumah dan dalam perjalanan pulang ban belakangku bocor terkena paku diatas jalanan yang sedang diguyur hujan. Kejadian ini benar-benar membuatku marah, lalu kulontarkan semua kata dan kalimat kotor yang pernah kukenal. Kutuliskan semua kekesalanku distatus facebook milikku. Apa itu sudah selesai? Belum dan tidak segampang itu.

Mari kita selesaikan dalam beberapa poin.

Poin pertama adalah marah. Apa marah adalah sebuah tindakan yang baik? Terlalu sulit menetapkan itu baik atau tidak, biarlah anda yang menilai nanti. Kita sama sekali tak dilarang untuk marah, bahkan jika keadaan mengharuskan kita untuk marah tapi saat itu kita tak melakukannya, ini bisa berarti kita adalah orang yang lemah dan tak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Jika kita berada dalam situasi yang mengharuskan kita untuk marah tetapi kita tak menggunakan wewenang itu, apa kita pernah berpikir jika marah kita ditunda atau bahkan tak dilanjutkan akan berakibat buruk terhadap seseorang yang seharusnya kita marahi. Atau dalam bahasa yang mudah dipahami, jika kemarahan kita akan berakibat baik bagi seseorang yang memang seharusnya kita marahi berarti marah kita adalah sebuah maksud yang baik. Marah itu naluri manusiawi, pengaruhnya signifikan terhadap kesehatan fisik dan psikis. Jika harus marah, marahlah dengan cara yang baik dan dengan akibat yang baik. Sekali lagi tidak ada yang melarang kita untuk marah, toh sama sekali tak ada yang dirugikan dengan kemarahan yang terkendali dengan baik. Kita boleh saja marah, tapi kita tidak dianjurkan untuk menimbulkan akibat atau pengaruh yang buruk dari kemarahan kita. Intinya, marahlah dengan cara dan sikap yang baik sehingga pengaruh kemarahanmu akan berakibat baik bagi dirimu dan orang-orang baik disekitarmu.

Poin kedua adalah rencana. Kegiatan yang menyebabkan aku marah itu memang sudah direncanakan sebelumnya. Aku punya tujuan dan aku telah menyusun cara-caraku untuk mencapai tujuan, itu yang kusebut dengan rencana. Bagiku, orang yang gagal berencana adalah orang yang berencana untuk gagal. Mohon anda ingat bahwa orang yang bekerja tanpa rencana untuk berhasil, akan berlaku seperti orang yang berencana untuk gagal (MT). Keberhasilan tanpa perencanaan lebih pantas disebut kebetulan, dan apa anda tau bahwa sebuah kebetulan akan sangat sulit terulang dua atau tiga kali, apalagi untuk jangka waktu yang panjang. Sebuah perencanaan memang tidak menjamin setiap yang kita lakukan akan berhasil sesuai dengan yang kita rencanakan. Tapi perlu diketahi bahwa keberhasilan menetapkan satu syarat untuk disebut keberhasilan. Sesuatu akan disebut keberhasilan jika sebelumnya ada tahap yang disebut rencana. Jika keberhasilan anda tak ingin disebut kebetulan, maka penuhilah syaratnya.

Poin ketiga adalah kesalahan. Kegiatan seperti mengeluarkan kata-kata kotor, seperti yang saya lakukan adalah perbuatan yang kurang benar dan tidak cukup baik. Tapi ada hal yang perlu kita ketahui bahwa manusia adalah tempatnya salah. Bagi saya secara pribadi, manusia memang harus pernah salah. Manusia harus pernah salah, bukan harus selalu salah. Ingat! Harus salah bukan berarti harus selalu salah. Tanpa kesalahan kita tak akan pernah tau mana yang disebut benar, toh saya pikir kata salah memang sengaja diciptakan untuk menyebut yang benar. Buruk untuk menyebut yang baik dan gagal untuk menyebut yang berhasil. Bahkan anak ayam pun harus memecah telurnya untuk dapat disebut menetas. Jadi menurut saya, dengan kesalahan kita akan belajar mengapa ini disebut salah dan menemukan mana dan mengapa yang itu disebut benar. Tak perlu khawatir salah jika yang kita cari adalah yang disebut benar dan tak perlu takut disebut gagal jika kegagalan kita saat ini akan mencegah kegagalan kita esok dengan memaksimalkan kemungkinan kita untuk berhasil.

Akhirnya, segala sesuatu yang kita alami harus lah mampu kita sebut sebagai hikmah dalam arti yang utuh dan murni. Karena suatu hari akan datang suatu masa ketika peradaban digantikan oleh layar dan ideologi ditukarkan begitu murah dengan uang kemudian norma-norma dan nilai-nilai digantikan oleh kesepakatan negoisasi. Maka saat itu fungsi nurani sudah tak ada lagi dan semua akan digantikan oleh tirani. Yang akan serius kita hadapi dimasa depan adalah kesulitan kita dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Itu sebabnya saya tekankan diawal tadi bahwa yang benar adalah Pemilik Kebenaran itu sendiri; Beliau Yang Maha Benar. Terus dan tetaplah belajar membaca situasi. Tempatkan semuanya pada tempat yang semestinya. Tetapkan semuanya pada waktu yang tepat. Dan tetaplah bertindak sebaik, sebenar, setepat dan sebijak mungkin.

)* Penulis adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

HARI INI AKU BENAR-BENAR MARAH

HARI INI AKU BENAR-BENAR MARAH

AKHIRNYA DALAM KESENDIRIAN, AKU BISA MELAMUN

Hari-hari setelah hari ini adalah proses yang serius. Tapi itu bukan berarti hari-hariku sebelumnya tidak ku jalani dengan penuh keseriusan. Namun, ada banyak pertanyaan yang selalu tak mampu kutepis. Perjalananku menempuh pendidikan menurutku sudah terlalu lama, tapi aku tak pernah ingin sama sekali mengakhirinya walau sesaat. Kecintaanku terhadap dunia seperti ini agaknya tak bisa digantikan dengan apapun. Aku hampir tak pernah berpikir sedikitpun tentang bagaimana masa depanku besok. Atau dalam bahasa yang lebih mudah dipahami, orang sering menyebutnya “dari mana aku akan mendapatkan uang untuk tetap bertahan hidup dari makan”. Nanti saja berpikir tentang masa depan karena saat ini adalah saat yang sedang terjadi dan harus dihadapi. Masa depan bukanlah sesuatu yang pasti terjadi, siapa yang tau bahwa setelah aku menulis kali ini aku mati. Karena tak ada sama sekali yang bisa menjamin hidupku ini abadi. Jadi untuk apa membicarakan “nanti”, kenapa tidak kita bicarakan saja sesuatu yang menarik dengan tema “saat ini”?

Suatu saat setelah pekerjaan rumahku selesai, aku menyalakan note book. Aku mendengarkan musik yang setiap saat selalu ku putar berulang-ulang. Alasannya bukan karena aku menyukainya, tapi karena memang tak ada musik lain yang akan kudengar selain musik-musik di hard disk yang tersimpan dalam note book ku. Barang kali seleraku tentang musik juga tergolong sangat rendah. Karena itu mungkin aku bukan penggemar maniak sebuah group band atau club malam yang menyediakan pertunjukan musik sebagai pemanja pengunjungnya. Tak ada musik atau lagu-lagu yang memiliki fungsi penting menurutku. Atau yang tergolong punya pengaruh significant terhadap ku saat mereka kuputar dan kudengarkan. Barang kali pendapatku akan banyak bertentangan dengan mereka para penggemar Kangen Band, ST 12, Hijau Daun atau DEWA 19. Mereka menganggap lagu-lagu yang dinyanyikan beberapa group band terkenal memberikan banyak inspirasi bagi hidup mereka, tapi menurutku tidak. Atau musik yang mereka dendangkan memiliki pengaruh spiritual tersendiri bagi para pendengarnya, seperti lagu yang sering didendangkan group band UNGU akhir-akhir ini, tapi menurutku juga tidak. Mungkin akan berbeda dengan para TNI atau Presiden yang begitu mengahargai lagu kebangsaan dan mars-mars kemiliteran. Bagi mereka itu adalah alasan paling tepat untuk bertahan hidup dengan keadaan apapun. Dalihnya Nasionalisme dan NKRI dijadikan harga mati. Alasan yang masuk akal, meskipun sebenarnya mereka berjuang demi kebohongan. Itu alasan mereka tentang lagu-lagu, tapi aku belum punya alasan untuk itu semua.

Tadi malam aku teringat satu hal karena itu aku tak dapat tidur dengan nyenyak. Tapi sekarang aku tahu bahwa salah satu alasan kenapa orang-orang tak bisa tidur nyenyak adalah karena mereka mengingat satu atau banyak hal. Ibuku mungkin tak pernah tidur nyenyak selama ini karena ada banyak hal yang pasti mengganggunya, termasuk bagaimana mengatur keuangan yang pas-pas an untuk tetap cukup membiayaiku sampai selesai kuliah. Kalau begitu, ayahku juga tak pernah tidur nyenyak. Pekerjaannya satu bulan tak cukup gaji untuk makan selama dua minggu. Tapi aku tetap harus sekolah, sering ditegaskannya waktu itu. Kalau aku saja tak dapat tidur nyenyak karena aku terus berpikir kenapa begitu banyak nyamuk malam ini. Lalu bagaimana dengan mereka yang nanti sore harus menyetor hasil sewa angkot pada bosnya. Bagaimana pula dengan wanita paruh baya sekertaris perusahaan besar itu? Dia sedang lembur kerja karena bosnya mendadak minta dibuatkan naskah untuk meeting besok jam 07.00 pagi. Sedangkan sekarang adalah waktunya pulang kerumah dan menyuruh anak-anaknya untuk mandi. Bagaimana kalau nanti malam suaminya tak bisa tidur karena ngantuknya mendadak terhambat oleh hasrat yang membelanggu. Rasa kantuk itu ada untuk datang, tapi tak kunjung sampai karena dia men-syarat-kan sesuatu. Apakah esok dia akan mendapati suaminya tetap tidur sampai siang hari; mogok kerja. Atau dalam keadaan bangun dengan kerut di dahi pertanda ada yang harus kau penuhi malam ini dan aku tak mau dengar ada kata lembur kerja lagi. Atau dia mendapati suaminya pulang pagi dengan pakaian lusuh, bau parfum yang asing dan diyakini bukan asli milik suaminya. Mulut berbau minuman keras, sisa lipstick yang entah lupa atau sengaja tidak dibersihkan dari leher. Atau harus pulang dengan mobil PATROLI bersama wanita lain dalam sepasang borgol dan esok hari dia mendapati suaminya itu di TV. Atau memang suaminya adalah seorang Direktur advertising agency.

Direktur? Cukup menarik, ada sesuatu yang sepele tentang jabatan tinggi ini tapi mungkin hal ini perlu kita kaji. Direktur menurutku adalah seseorang yang identik dengan dasi. Bukankah dasi ini adalah salah satu pelengkap pakaian formal yang menarik? Aku sama sekali tak tahu dari mana asal kata itu diambil. Apa makna etimologinya, apa makna terminologinya aku pun bahkan hampir tak pernah ingin tau. Aku pernah sesekali menanyakan tentang hal ini kepada guru BP tempat SMA ku dulu. Waktu itu aku dipanggil kekantor dengan alasan seragamku tak lengkap. Dasar anak bandel, celetusnya kesal. Apa kamu tahu hari apa ini? Jelas aku tahu, itu alasanku kenapa memakai baju putih dan celana abu-abu. Perkataan ku tadi mungkin sedikit membuatnya kesal. Tapi tak apalah, melanggar peraturan kan memang sudah menjadi hobbiku. Kalau kamu tahu ini hari apa, lantas mana dasi mu? Kenapa tak kau kenakan? Celetusnya makin terlihat kesal. Flu ku sudah sembuh pak, jadi tak perlu lagi ku kenakan benda miskin warna itu. Selesai sudah, menikmati hukuman diluar kelas bagiku lebih menyenangkan ketimbang belajar matematika dengan guru yang selalu menghitung berapa kali dia tersenyum sejak dia masuk dan mulai mengajar di kelas sampai nanti dia selesai mengajar.
Itu adalah awal aku mengenal dasi. Tapi kesendirianku kali ini memberikan pandangan yang berbeda tentang dasi. Jika waktu itu kukatakan dasi tidak akan berguna jika kita tidak terkena flu, itu karena aku adalah anak kelas 1 SMA yang bandel. Sekarang aku adalah mahasiswa Semester VII di Universitas paling terkenal di kota tempat aku lahir 22nd tahun yang lalu. Bukankah ini waktu yang cukup lama untuk sekedar mengenal kata dasi. Biarlah, aku sama sekali tak peduli berapa waktuku yang tersita untuk hal sepele ini.

Jika aku sempat mengenakannya; dasi nanti, aku akan katakan pada mereka beberapa hal. Ini sengaja kucatat, supaya aku tidak lupa nanti, karena semakin tua kemampuanku mengingat akan semakin berkurang.

Apa yang melingkar dileherku ini adalah kain yang pernah menjadi bahan tertawaan teman-temanku waktu aku masih duduk di kelas 1 SMA dulu. Tak ada gunanya, kecuali kau terkena flu. Ini adalah benda miskin warna yang diikat dengan cara rumit, menghambat udara yang masuk kedalam paru-paru dan membuat lehermu sulit untuk menoleh. Kau juga harus berhati-hati ketika berada didekat kipas angin kalau kau tak ingin tercekik oleh kain kecil ini.

Lalu jika seseorang menanyaiku tentang apa gunanya dasi yang kukenakan ini. Aku akan menjawab:

Sama sekali tak ada. Benda ini sama sekali tidak dekoratif, pembuatnya pun tak akan se-kreatif perancang busana pengantin atau pembuat mainan anak-anak. Benda ini sekarang menjadi lambang perbudakan, kekuasaan sekaligus keterasingan. Tidakkah kau lihat disetiap rumah tentara atau polisi yang memiliki anjing pelacak. Mereka selalu mengikat leher anjingnya dengan rantai bermotif simpul yang begitu rumit untuk kita tiru. Kerbau-kerbau juga demikian, bahkan kambing dan sapipun mendapatkan perlakuan yang sama seperti para tahanan yang miskin dan budak yang memberontak. Satu-satunya kegunaan dasi yang sebenarnya adalah ada pada perasaan lega ketika kau melepaskannya. Saat itu kau akan merasa lega seakan kau telah membebaskan dirimu dari sesuatu, meskipun kau sebenarnya tidak mengetahui hal itu. Kau tidak akan tau kau telah terbebas dari apa. Tapi rasa lega itu tetap akan ada dan lambat laun kau akan mengerti dengan sendirinya ketika kau telah lama tak mengenakannya lagi sebagai pelengkap pakaian formalmu.

AKU MELAMUN

AKU MELAMUN

TAK ADA GUNANYA LAGI BAHASA, KARENA SAAT INI SEMUA ADALAH KEBOHONGAN

Kadang kala kegelisahan hidup menjadikan semua yang kita jalani menjadi beban tak terlaksanakan. Seperti ketika beberapa gelintir orang sedang duduk dalam sebuah rapat atau perdiskusian penting yang membahas masalah-masalah penting pula. Beberapa dari mereka duduk tenang dengan pandangan-pandangan dan pikiran yang kosong tak mengerti, tetapi yang mereka tampilkan adalah ekspresi-ekspresi yang seakan-akan mereka sedang memikirkan ide-ide penting yang sangat berpengaruh dan mampu mempengaruhi peserta yang lain. Topeng seperti ini adalah sesuatu yang tidak jarang kita jumpai pada setiap perkumpulan. Dan kadang-kadang secara jujur harus berani kita katakan bahwa mereka adalah orang-orang yang sama setiap kali kita jumpai demikian.
Ternyata ada bahasa-bahasa yang bisa dimengerti tanpa harus diucapkan penuturnya. Seseorang tak perlu mengatakan mengantuk dalam keadaan mata merah menahan dan menguap dalam tempo yang hampir seiring dengan kedipan. Tak perlu mengatakan capek jika tiba diperaduan dengan keadaan terlentang pasrah meluruskan tulang. Tak perlu mengatakan “saya mengerti apa yang anda maksud” jika apa yang kita katakan sesuai alur dan aturan pembicaraan. Ada aturan-aturan tertentu untuk sebuah fungsi dan hubungan komunikasi yang secara otomatis sebenarnya tak perlu dipelajari dibangku sekolah atau perkuliahan. Jadi sebenarnya ada aturan-aturan tak ditentukan namun telah ditulis dan ditetapkan begitu saja oleh alam.
Suatu ketika kita mungkin akan menemui teman kita sedang menanti bus di perempatan. Tak harus kita tanyakan apa yang sedang dia lakukan disana, toh setiap hari kita menemuinya dalam keadaan dan waktu hampir bersamaan disana. Di jam-jam akhir perkuliahan atau waktu istirahat menjelang pulang. Penunggu angkutan tak perlu berteriak-teriak untuk menghentikan laju bus yang melaju dengan kecepatan tinggi, yang bahkan peyebrang jalan pun akan mati. Tak perlu lagi ada ayunan tangan karena mereka memang akan berhenti menjadikan kita sebagai penumpang. Bahkan saat kita sama sekali tak butuh bantuan.
Ada bahasa dengan jawaban tak semestinya sering kita ucapkan. Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu rumah kita dengan nafas terengah-engah kelelahan. Tanpa diminta, kita akan memberinya segelas air putih untuk diminum. Ini bukan tentang kebiasaan, tapi tentang ke-ilmu-an. Sepele saja misalnya, dalam ilmu kesehatan, seseorang dengan nafas terengah-engah adalah mereka yang butuh bantuan. Entah itu nafas buatan atau memberinya segelas air putih untuk ditelan. Ini tentang ke-ilmuan, diketahui bahwa air putih dan tarikan nafas teratur adalah proses penenangan. Tanpa sadar kita sebenarnya telah melakukan tindakan sederhana tersebut dengan begitu banyak pertimbangan. Namun bukan berarti dengan banyak pertimbangan kita mejadi lambat untuk melakukan tindakan.
Sebagian orang kadang merasa resah dengan suara tikus pada tumpukan sampah disamping atau dibelakang rumah. Suara gorden atau gantungan foto kenangan yang pecah jatuh kelantai karena angin bertiup tak wajar. Atau teriakan suara tetangga yang tadi pagi baru selesai melakukan Ijab Qabul pernikahan. Dan jendela kamarnya bersebrangan, dengan jarak tak terlalu jauh dengan jendela rumah kita. Sulit membedakan itu suara maling atau penjarah. Itu gempa bumi atau angin topan. Itu kenikmatan atau penyiksaan. Tak perlu terlalu jauh diungkapkan. Ini kenyataan.
Suatu hari kita akan berpikir bahwa kita akan semakin tua. Tanda-tanda ketuaan seperti memutihnya warna rambut dan kening yang berkerut legam sudah tak lagi bisa disembunyikan. Suatu hari kita hanya mampu berbaring diranjang dengan bau keringat dan liur yang hampir sama sekali sulit untuk dibedakan. Untuk pergi kekamar mandi pun tak akan terlaksana jika tanpa bantuan, entah itu kursi roda atau beberapa teman. Dengan terpaksa saya katakan bahwa ini adalah tentang kebaikan hubungan sosial.
Suatu hari tak ada lagi yang mengatakan kata-kata indah seperti pujian, bahkan istri atau suami kita. Padahal pada tahun pertama pernikahan kita hampir mendengarnya setiap kali memulai persetubuhan. Lebih sering bersetubuh pada tahun pertama, sedikit berkurang pada tahun kedua dan pada tahun ketiga kita hanya akan memikirkan tentang persetubuhan dalam dua kali seminggu dan melakukannya satu kali dalam dua minggu. Pasangan hidup tak lebih jauh dari hubungan pertemanan. Pada tahun itu istri kita hamil dan menjadi sering punya anak. Tak kan ada penampilan seksi untuk disajikan. Tak ada lagi perbincangan menarik. Bahkan untuk sebuah iklan teh, mereka harus menampilkan dua sosok tubuh tua tanpa perbincangan berjam-jam sehari.
Ini tak harus membuat kita ketakutan, karena ini adalah kenyataan pasti. Mungkin nanti tetapi pasti suasana seperti ini harus berani kita jalani dengan keberanian. Tak akan lagi ada ibu atau mertua dalam suasana demikian. Yang ada hanya tangisan anak-anak yang tak bisa dihentikan untuk beberapa lembar uang jajan. Tak perlu khawatir jika tetangga kita yang begitu baik, pada awalnya, menjadi lebih sering tak peduli atau lebih jarang berkunjung. Padahal suara detak jam malam tak bisa dilepaskan dari pendengaran. Hal-hal yang tak patut disepelekan ternyata justru sesuatu yang penting terabaikan.
Tak pernahkah kita lihat disuatu tempat bersama ibu atau bapak kita dipasar. Tak ada penjual emas dengan teriakan-teriakan kasar, sepert penjual roti atau celana dalam. Mereka hanya duduk tapi tak diam, karena yang mereka jajakan adalah kewibawaan. Kadang menjadi simbol keagungan dan kemegahan. Ini bukan sesuatu yang mengherankan, karena tak sedikit ibu-ibu yang kecopetan, bahkan dalam angkutan. Tak ada kemewahan yang pantas untuk dipertontonkan. Hanya mala petaka yang pantas disajikan. Bahkan tanpa sajian, semua bisa jadi santapan.
Hari, bahasa, symbol dan kejadian. Tak ada yang saling berkait. Tapi semuanya bertautan. Bahasa keindahan dari tubuh tak berbalut. Kenistaan dari rambut yang terpaut rentetan kejadian. Leher berduri tanpa hati kerendahan. Betis yang tak mampu menepis tragadi pencabulan. Perut tentang bahasa yang memaksakan. Kehendak yang harus berakhir di Meja Pengadilan. Bibir pengundang pertentangan. Bahkan kelamin yang harus dipaksa mencapai klimaks pun tak lepas dari kajian.
Semua mengatakan artinya dengan bahasa-bahasa yang tak pernah diucapkan, bahkan untuk memulai persetubuhan hanya cukup dengan satu kali kecupan. Pencurian dengan siulan tanda semua keadaan aman. Tapi dengan pemerintah mereka terus bermain dalam kebijakan. Undang-undang yang amanahnya sengaja dilupakan. Aparat keamanan yang hak asasinya dibunuh dengan perintah. Karena mereka memang hanya dibayar unuk menaati perintah. Bukan untuk berfikir atau bertindak lebih bijak.
Buat saya, tak ada lagi bahasa tentang ketulusan yang dikumandangkan. Karena diakui atau tidak, tak ada orang seperti kita yang mungkin mampu melakukan sesuatu untuk orang lain. Kita hanya lahir dari bahasa yang alasanya syiar dan sunnah keagamaan. Tapi hakikatnya kita adalah korban kenikmatan.

Suara Kebohongan

Suara Kebohongan

Jadi tak heran jika harus begitu banyak bayi dibuang dalam koran ataupun kaca tontonan. Ini adalah Fenomena yang tak mungkin dilupakan tapi sengaja dilupa-lupakan.

Sekian. Semoga bermanfaat.