AGAMA MEMAKNAI GLOBALISASI

Oleh: Achmad Rois)*

Di tengah kehidupan yang serba modern ini, globalisasi menjadi perbincangan menarik untuk diketengahkan dengan tema apapun. Globalisasi akrab disebut-sebut sebagai zaman dimana teknologi menjadi kebutuhan utama dalam menjalani aktifitas sehari-hari. Dari mulai memasak, mencuci pakaian, sampai dengan urusan agama pun terkait dengan teknologi. Bahkan globalisasi akan menjadi tema yang menarik jika dibahas dari kacamata dan fenomena-fenomena keagamaan. Agama sendiri memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan sosial dan kultural. Sedangkan globalisasi, khususnya teknologi informasi, memiliki dampak yang tidak kalah serius jika dibandingkan dengan Agama. Dampak dari globalisasi ini bisa berpengaruh terhadap budaya, sistem nilai dan tata hidup sehari-hari.

Faktanya, globalisasi memberikan banyak kemudahan pada masyarakat yang akrab dengan teknologi-teknologi mutahir seperti internet. Saat ini, internet sudah menjadi wahana utama bagi masyarakat global untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan mereka tentang apapun. Seluruh informasi pergumulan global tentang masalah sosial, budaya, politik, ekonomi bisa di akses dengan cepat dan mudah dari sini. Masalah agama, yang pada umumnya berisi doktrin-doktrin agama juga tidak luput dari kemudahan mengakses informasi; internet. Sehingga saat ini, orang lebih sering mendatangi WARNET (warung internet) ketimbang hadir dipengajian-pengajian atau bersilaturahmi ke rumah pemuka agama untuk mendapatkan pencerahan mengenai problem keagamaan dan kehidupan sehari-hari.

Wajah baru globalisasi dan kemudahan mengakses informasi agama ini tentu menimbulkan budaya baru dalam kehidupan sosial keagamaan. Jika dahulu masyarakat mendapatkan informasi keagamaan dari para Guru atau pemuka-pemuka agama melalui madrasah atau pengajian-pengajian umum, maka saat ini, setiap orang hanya perlu pergi ke warnet atau membuka laptop di dalam kamar untuk mendapatkan informasi keagamaan yang mereka butuhkan. Budaya semacam ini merupakan dampak globalisasi yang dimaknai dengan dangkal dan tanpa filter. Hingga akhirnya menghasilkan manusia-manusia bermental konsumeris atau cenderung menyukai sesuatu yang instan, siap saji.

Masalah lain yang timbul seiring dengan gencarnya teknologi informasi ini adalah masuknya wajah-wajah neo-liberalisme dan kapitalisme yang diejawantahkan pada budaya konsumerisme. Wajah-wajah ini hadir bersama karakteristiknya yang khas, yaitu memperjelas sistem hierarki sosial. Tujuan utama sistem ini adalah memperjelas defenisi mengenai kaya, miskin, bahagia, sukses, kehormatan dan hina dari kacamata duniawi. Semua kata tersebut menjadi sebuah sistem nilai baru dimana uang, kemewahan dan kepemilikan barang-barang tertentu menjadi barometer. Hingga akhirnya tercipta sebuah jurang pemisah yang amat dalam antara si Kaya dan si Miskin.

Pada awalnya mungkin hanya soal kepemilikan barang-barang seperti emas, mobil, deposito, hand phone, laptop, rumah mewah, perabot mahal atau semacamnya. Namun kemudian hal ini mulai meluas kepada terbentuknya komunitas tertentu dalam interaksi sosial. Misalnya komunitas arisan istri-istri pejabat, sekolah anak-anak orang kaya, komunitas car modification, dan komunitas-komunitas lain yang diskriminatif. Dengan begitu, anak-anak orang kaya mulai dilarang bergaul dengan anak-anak pedagang kaki lima, serta budaya pamer kemewahan dunia mulai dipupuk rata. Sehingga semakin jelaslah bahwa dualisme Kaya dan Miskin, Kuat dan Lemah, Besar dan Kecil adalah sesuatu yang wajib ada dalam pergaulan sosial masyarakat di era globalisasi. Jika sudah seperti ini teori Evolusi Darwin pun mulai tampak tidak bisa disangkal, karena sesungguhnya teori itu ingin berkata bahwa “yang kuat harus menindas yang lemah”.

Globalisasi sudah mereduksi banyak sistem nilai dalam interaksi sosial, misalnya nilai sopan santun dan kekeluargaan. Globalisasi mulai mengurangi volume silaturahmi, kekeluargaan dan perkumpulan-perkumpulan fisik. Kalaupun budaya berkunjung ke rumah teman, ngobrol-ngobrol dan diskusi itu masih ada, efektifitas pergaulan semacam itu sudah semakin berkurang. Bagaimana tidak, saat teman yang satu berbicara, yang lain lebih asyik membaca sms atau mengakses jejaring sosial. Mereka lebih suka berhubungan dengan khayalan ketimbang menghadapi kenyataan. Selain kurangnya sopan santun, hal ini juga berdampak pada melemahnya mental dalam berkomunikasi secara ekternal. Karena teknologi, khususnya internet sudah mampu menjajah waktu kita dan membuat kita semakin individualis.

Singkatnya, kita tidak lagi dijajah secara fisik, tapi sudah lebih parah dari itu. Globalisasi sudah menjajah kita dari banyak sisi. Mereka menjajah waktu kita dan mengeksploitasi otak kita untuk terus memikirkan hal-hal yang tidak nyata. Budaya dan cara kita bergaul yang kini semakin individual juga merupakan bentuk penjajahan. Globalisasi terus mencekoki kita dengan berbagai teknologi sehingga kita menjadi generasi yang manja dan tidak kreatif, karena kita mulai menyukai sesuatu yang gampang dari pada berjuang untuk mendapatkan sesuatu. Secara ekonomi kita dituntut untuk bekerja keras hanya untuk dapat membeli barang-barang baru dengan teknologi yang semakin canggih.

Globalisasi membuat kita lebih suka bergaul dalam kelompok atau komunitas-komunitas tertentu. Kelompok-kelompok tersebut mulai membuat group-group tertentu di internet. Fasilitas ini lah yang nantinya dijadikan ajang ngobrol-ngobrol tanpa muka dan senyum yang nyata. Jadi tidak heran jika saat ini banyak sekali modus kejahatan di internet, atau sering dikenal dengan istilah cyber crime. Karena orang tidak bisa lagi mengetahui apakah lawan bicaranya ini serius, bergurau atau bahkan berbohong. Globalisasi mulai menjadikan manusia-manusia pembual dan mudah dibohongi hanya dengan kata-kata sebait atau dua bait.

Dari sisi keagamaan, seperti yang sudah disinggung di atas, masyarakat yang kini terggelam dalam arus globalisasi sudah menjauhkan diri dari para pemuka agama dan pengajian-pengajian Agama. Kyai mulai disisihkan dengan berbagai pretensi, misalnya, Kyai dianggap sebagai sosok yang otoritatif dan tidak komunikatif. Dakwah-dakwahnya dianggap kuno karena melulu menggunakan metode ceramah dan sama sekali tidak dialogis. Bahkan sebagian Kyai dianggap cabul karena memiliki istri lebih banyak dari yang lain. Dari sisi kelembagaan misalnya, pesantren dianggap menjalankan sistem feodal seperti penjajah belanda pada masa itu. Para santri di pesantren-pesantren, khususnya di pulau Jawa, disuruh mengerjakan sawah, mencuci pakaian, menyapu rumah dan lain sebagainya seperti pembantu rumah tangga. Padahal itu semua adalah kemauan dari santri-santri itu sendiri untuk mendapatkan ridho Allah melalui ridho dan doa para Kyai.

Hal-hal yang berkaitan dengan wacana tersebut sudah marak kita jumpai di internet. Semua informasi tersebut dibesar-besarkan seakan-akan yang mereka katakan adalah sebuah kebenaran. Kemudian dalam sejam saja, informasi tersebut sudah dibaca oleh ribuan pengguna internet. Bisa kita bayangkan betapa cepatnya seseorang ingin merusak orang lain, paling tidak dari sisi pencitraan. Baik itu pencitraan personal, kelembagaan pesantren atau bahkan kebenaran Agama. Kebenaran dalam hal apapun, khususnya kebenaran Agama, saat ini sudah sangat mudah dimanipulasi oleh oknum beragama hanya dengan menggunakan media internet, televisi, radio dan lain-lain. Tujuan mereka yang beragam membuat mereka semakin kreatif dalam menjelek-jelekkan orang lain dan membenarkan diri atau kelompok mereka sendiri.

Jika dicermati, semua itu adalah usaha-usaha yang dilakukan oleh segelintir orang yang ingin meraup keuntungan duniawi dengan cara menjauhkan masyarakat, khususnya komunitas keagamaan, dari agama itu sendiri. Dengan berbagai jalan yang mereka tempuh, saat ini sudah dapat kita lihat keberhasilan mereka dalam menjauhkan manusia dari agama dan Tuhan. Jika pada zaman sebelum globalisasi bergulir, para pemimpin keagamaan menjadi sumber central dari nilai-nilai kebaikan dan pergaulan sehari-hari. Mereka selalu menjadi orang nomor satu yang ditemui dan dimintai pendapat untuk menyelesaikan problem-problem keagamaan atau bahkan non-keagamaan. Maka, di era ini, masyarakat lebih suka mencari solusi di internet untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga hal ini mempunyai konsekuensi bahwa posisi Agama dan pemimpin keagamaan sudah tergantikan oleh internet.

Akhirnya, kita harus mulai sadar bahwa sejak abad 20, semangat globalisasi yang diisi dengan kampanye sekularisasi dan modernisasi dalam bentuk apapun – baik itu kemajuan teknologi informasi, budaya, busana, makanan, dan lain-lain – hanya mengemban satu misi, yaitu menjauhkan Tuhan dan Agama dari kehidupan publik. WALLAHU A’LAM.

)* Penulis Adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

Iklan

NEGARA SEKS-ISME

Oleh: Achmad Rois)*

Indonesia secara geografis dan kebudayaan merupakan Negara Timur. Kebanyakan Negara di belahan Timur tergolong sebagai bangsa yang sopan dan ramah, baik secara interaksi sosial maupun budaya. Budaya dapat diartikan dalam banyak hal, terserah dari sudut mana anda memandang kata budaya, bisa prilaku, tata bahasa, adat istiadat, karakter kebangsaan atau busana dan mode. Indonesia sendiri dianggap sebagai Negara yang tergolong “sopan” dalam banyak hal oleh Negara-negara lain dari seluruh belahan dunia. Dari sisi bahasa misalnya, Indonesia memiliki gaya bahasa yang santun dan menjunjung tinggi penghargaan terhadap orang lain sebagai lawan bicara. Secara adat dan prilaku masyarakat dalam interaksi sosial, Indonesia memiliki ciri khas “menyayangi yang muda dan menghormati yang lebih tua”. Dan dari sisi pakaian atau busana, Indonesia tergolong sebagai Negara yang santun dalam hal berpakaian. Meskipun ukuran “santun” dalam hal ini bisa bermakna berbeda di setiap daerah yang ditempatinya. Namun secara global, masyarakat Indonesia dapat dibilang “santun” dalam hal tata busana.

Di tengah Negara yang sedemikian santun ini, tidak menutup kemungkinan adanya problem sosial tertentu yang justru berlawanan dengan kesantunan tersebut. Masalah busana misalnya, dulu, sebelum globalisasi masuk bersama kapitalisme dan modernisasi, wanita-wanita Indonesia masih terlihat anggun dengan kebaya dan “tapih atau jarik”. Di belahan barat, khususnya Sumatra dan sekitarnya, wanita dan pria masih sangat menawan dan elok dengan baju koko, celana panjang atau rok, disertai songket kebanggaan budaya melayu. Tapi kini, keanggunan tersebut sudah habis terkena abrasi modernisasi mode dan pengaruh yang signifikan dari dunia mode westernisasi yang gencar dikampanyekan melalui simbol-simbol selebritas.

Fenomena degradasi busana ini ternyata tidak selesai begitu saja. Penghematan busana dari yang panjang menjadi pendek, bahkan sangat pendek ini justru berimbas pada pergeseran nilai-nilai sopan santun dan moral. Baju kebaya, koko serta sarung songket menjadi busana yang dianggap kuno, ketinggalan zaman dan tidak “gaul”, sementara pakaian ketat dan minim dianggap sebagai pakaian modern dan mode kentemporer. Efeknya, syahwat mulai sangat mudah kita jumpai di mana-mana, karena ketika busana ini dikenakan, khususnya oleh kaum hawa, dan karena kaum hawalah yang menjadi ikon sekaligus target pasar maraknya busana minim ini, tindakan asusila kemudian semakin marak terjadi di mana-mana. Kasus-kasus pelecehan seksusal sering menjadi pembuka halaman di banyak surat kabar. Pemerkosaan menjadi perdebatan sengit di televisi, dan seks yang awalnya tabu, justru menjadi pembicaraan yang sangat wajar di berbagai tempat-tempat umum dan bisa dinikmati oleh semua usia.

Problem yang belum lama hilang dari pantauan media adalah kisah asmara antara dua selebritis papan atas yang videonya bahkan dapat diakses oleh anak-anak di bawah umur, yang bahkan belum wajar mengenal seks. Video ini berdampak signifikan pada prilaku yang – dianggap – menyimpang pada anak-anak seumuran SLTP. Pemerkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual terjadi dengan maraknya di berbagai pelosok Negeri. Parahnya, alasan mereka sangat simple ketika ingin melakukan – seks – pada teman sebaya mereka, “hanya ingin meniru”. Tidak lama setelah kasus tersebut mulai redup dari kamera media, muncul kasus baru yang masih berkutat pada wilayah selebritas. Salah seorang, yang juga seorang vokalis sebuah Group Band terkenal, terlibat kasus narkoba dan pencabulan gadis di bawah umur. Belum lama ini, terdakwa kembali muncul di media dengan segala dakwaan dan cercaan yang meliputinya. Dari sini dapat kita lihat betapa besar pengaruh busana dan selebritas seseorang dalam mempengaruhi moralitas publik, atau secara global, moralitas bangsa.

Tidak itu saja, infiltrasi pornografi tidak hanya dilancarkan melalui busana dan selebritas. Jalur pendidikanpun terkena imbas globalisasi porno ini. Hal ini diketahui belakangan karena dijumpai ada LKS (Lembar Kerja Siswa) yang memuat konten-konten porno. Awalnya, konten tersebut disisipkan dalam bentuk kalimat-kalimat yang mengindikasikan gejolak seksual. Kemudian kasus berikutnya mulai dimuat dalam bentuk gambar-gambar yang fullgar. Padahal, pendidikan adalah instrumen ideologis dan wahana pembentukan karakter putra-putri bangsa sejak dini. Jadi bisa kita bayangkan bagaimana jadinya negeri ini jika sejak dini saja mereka sudah dijejali dengan konten atau ideologi-ideologi porno, maka sepuluh tahun kedepan, Indonesia akan jadi Negara paling porno di seluruh dunia.

Dari sisi birokrasi yang seharusnya mengatur regulasi mengenai kasus-kasus di atas, justru terjerat dengan kasus-kasus yang sama. Sidang “paripurna” yang kemudian berganti menjadi sidang “pariporno”. Pejabat-pejabat yang terjerat skandal seksual dengan sesama pejabat atau dengan wanita-wanita penghibur. Ditemukannya video-video mesum para pejabat. Bahkan baru-baru ini, ada sinyalemen mengenai gratifikasi seks untuk para pejabat. Meskipun belum dapat dibuktikan secara jelas, namun adanya peringatan seperti ini bisa jadi merupakan sebuah pertanda akan ada kejadian seperti ini atau bahkan sudah terjadi. Sehingga peringatan seperti ini merupakan upaya preventif agar kejadian ini tidak terulang kembali.

Jika diamati secara berkala, kasus yang terjadi pada “birokratisasi seks” ini mungkin masih ada hubungannya dengan kasus suap menyuap dan tindak pidana korupsi yang belakangan ini marak terungkap. Jika uang suap dan korupsi sangat mudah dilacak dari rekening ke rekening oleh KPK, maka KPK akan kesulitan atau bahkan tidak mungkin melacak bukti-bukti penyuapan berkedok seks ini dari satu resleting ke resleting lain.

Modus penyuapan seperti ini sangat mungkin terjadi karena sejak dulu sudah ada mitos yang kemudian dibuktikan menjadi kebenaran, bahwa ada tiga Tuhan lain selain Tuhan yang kita kenal selama ini. Tuhan pertama adalah harTA, dengan harta orang bisa buta, tuli dan bisu terhadap kebenaran. Tuhan kedua adalah tahTA, banyak orang bahkan dengan mudah mengorbankan hartanya demi sebuah kekuasaan. Dan Tuhan ketiga adalah waniTA, Tuhan ketiga ini memang punya pengaruh signifikan terhadap laki-laki. Demi Tuhan ketiga ini, banyak orang rela mengorbankan apapun untuk mendapatkan kenikmatan beberapa detik saja.

Ketiga Tuhan tersebut dulunya hanya bekerja sendiri-sendiri untuk mengumpulkan hamba-hambanya yang taat. Namun zaman sudah semakin “gila”, sama gilanya dengan ketiga Tuhan tersebut. Mereka kini sudah mengenal koalisi dan partai, bahkan kontrak politik. Jadi tidak heran jika peran ketiga Tuhan ini menjadi semakin efektif dan efisien – seperti kata politikus orde baru – dalam mengumpulkan hamba-hambanya yang taat kepada mereka sekaligus. Manusia menjadi semakin gila dan patuh terhadap ketiganya, harta saja tidak cukup, lantas mereka berebut kuasa, setelah kuasa didapat, mudah saja mereka memilih wanita. Atau sebaliknya, jika harta tidak bisa berbuat banyak untuk merebut kuasa, maka kenapa tidak kita tawarkan saja wanita sebagai gantinya. Atau, terserahlah, mau dibolak balik juga hasilnya akan sama saja, selalu berujung kepada Tuhan yang lebih Maha Kuasa.

Akhirnya, kasus-kasus yang sudah terpapar sejak tadi adalah teguran keras bagai seluruh rakyat Indonesia, khususnya bagi para pemimpin-pemimpin negeri ini. Baik itu pemimpin keluarga, pemimpin agama, ataupun pemimpin Negara. Dalam hal ini, semua elemen harus terlibat aktif dalam melakukan upaya preventif berubahnya ideologi pancasila menjadi ideologi seksisme. Saat ini, NII tidak lagi menjadi sesuatu yang membahayakan, karena sebagian besar rakyat Indonesia masih menganggap pancasila sebagai harga mati ideologi yang dianut Negara tercinta ini. Namun, karena pancasila saat ini sudah benar-benar mati, jadi ideologi-ideologi baru mulai menawarkan diri, termasuk di dalamnya kapitalisme, neo-liberalisme, konsumerisme dan seksisme yang saat ini sudah kelihatan punya partai besar di permukaan negeri ini.

Secara regulatif, RUU Pornografi dan Pornoaksi telah disahkan oleh DPR menjadi UU Pornografi pada tanggal 30 Oktober 2008 lalu. Dengan demikian, Indonesia sudah memiliki aturan formal dan baku mengenai pornografi dan pornoaksi. Disahkannya UU Pornografi ini tentu menyimpan harapan agar dapat menyelamatkan bangsa ini dari kerusakan moral akibat pornografi dan pornoaksi. Namun kenyataan berkata lain, pornografi justru kian marak terjadi di mana-mana, bahkan sampai di gedung-gedung pemerintahan dimana Undang-undang itu disahkan. Ironisnya, mereka yang mengesahkan Undang-undang justru terjerat dengan kasus-kasus yang disahkannya menjadi Undang-undang.

Sekian, semoga bermanfaat.

)* Penulis Adalah Aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

AGAMA SEBAGAI RUH PENDIDIKAN

Oleh: Achmad Rois)*

Peran sosial agama telah ditutupi oleh tangan-tangan angkuh pendusta agama. Tidak sepantasnya tangan-tangan angkuh itu mengklaim kebenaran agama atas nama Tuhan.

(Dr. Ahmad Ali Riyadi, M.A)

Pendidikan secara umum mempunyai peran yang luhur dan agung. Hal ini sudah menjadi konsensus atau kesepakatan yang sudah disepakati semua pihak dan elemen masyarakat. Pendidikan selalu saja menjadi perbincangan yang menarik untuk diketengahkan dengan tema apapun. Meskipun di beberapa tempat, pendidikan menjadi sesuatu yang asing bahkan tidak menarik lagi untuk diperhatikan. Pendidikan saat ini mulai dipandang dari sudut yang sangat sempit. Misalnya, pendidikan oleh sebagian orang dianggap sebagai peramal dan penentu masa depan yang pasti. Maksudnya, jika seseorang belajar ilmu kedokteran, maka dipastikan atau diramalkan dia akan menjadi seorang dokter, dan begitu seterusnya.

Apakah paradigma ini salah? Tentu saja tidak. Orang boleh saja berharap menjadi apapun sesuai dengan jalur pendidikan yang ditempuhnya. Karena kebanyakan orang berpikir bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan. Paradigma ini pada awalnya tidak bermasalah, tapi kemudian akan berimplikasi pada sebuah orientasi yang sifatnya sekuler atau keduniawian semata. Karena orang seperti ini cenderung hanya berpikir bahwa hidup hanyalah soal untuk mencukupi kebutuhan pada wilayah perut. Hal ini akan diperparah ketika seseorang sudah berhasil dan dianggap sukses menempuh pekerjaan sesuai dengan spesifikasi pendidikannya menjadi lupa terhadap hakikat hidupnya sebagai manusia. Yaitu untuk mengabdi kepada Tuhan dan memberikan manfaat bagi orang-orang yang ada disekitarnya.

Pendidikan yang hanya menghasilkan manusia-manusia berpandangan sempit dan dangkal dalam menyikapi masalah hidup dan kehidupan, tentu saja menimbulkan banyak masalah terhadap pergaulan masyarakat sosial, bahkan menjadi dilema pada dirinya sendiri. Di satu sisi manusia membutuhkan kecukupan ekonomi, tapi di sisi lain yang lebih transenden, manusia pasti merasakan kematian. Dalam al-Qur’an surat Ali Imron: 185, Al Anbiya’ 35, Al Ankabut: 57, semua menyebutkan bahwa “setiap makhluk yang bernafas (manusia) pasti merasakan mati”.

Pertanyaannya adalah, kenapa Tuhan memilih redaksi “merasakan” dalam ayat ini? Apakah ada maksud tertentu? Tentu saja ada, jumhur ulama menafsirkan kata ini sebagai sebuah isyarat bahwa akan ada kehidupan yang lebih nyata dan abadi setelah kematian. Ibarat makanan, makanan hanya akan terasa ketika sampai pada lidah atau indera perasa, dan itu hanya membutuhkan waktu yang sangat singkat. Begitu juga kematian, kematian hanyalah pintu masuk ke dalam sebuah kehidupan yang abadi, nyata dan sebenar-benarnya kehidupan. Karena dalam banyak ayat lain dalam al-Qur’an disebutkan bahwa dunia hanya fatamorgana dan permainan. Jadi jelaslah bahwa pendidikan agama memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan pendidikan secara keseluruhan, bahkan dalam agama apapun.

Artinya, semua disiplin ilmu akan selaras dengan manusia, alam dan Tuhan manakala intelektualitas tersebut di dasari dengan pemahaman agama yang cukup memadai. Ilmu sosial-politik misalnya, sudah bukan sesuatu yang baru lagi kita temukan banyaknya kasus-kasus mencengangkan seperti suap menyuap, korupsi, pembunuhan dan bentuk kriminalisasi yang lain. Jika kita usut, apakah para pelaku kejahatan ini berasal dari golongan non-akademis? Justru kebanyakan dari mereka adalah manusia-manusia intelektual dan akademisi sukses. Namun sayangnya, mereka tidak memahami agama sebagai pedoman hidup dan matanya sudah tertutup oleh kemewahan fatamorgana sehingga membuat mereka lupa pada kehidupan yang akan datang. Apalah daya, konstruk pemikiran yang sekuler ini sudah terlanjur mendarah daging dan sulit dicegah lagi. Dan satu-satunya jalan yang bisa kita tempuh adalah mengembalikan mereka kepada ajaran agamanya masing-masing tentang kebajikan dan kebijaksanaan.

Persoalan ini tidak selesai begitu saja, ada problem lain yang juga tidak kalah menariknya dengan fenomena di atas. Dalam pesatnya perkembangan teknologi, industri dan informasi ini, manusia mulai condong kepada budaya konsumerisme. Karakteristik budaya ini adalah berubahnya paradigma masyarakat dalam menilai harkat dan martabat. Harkat dan martabat manusia mulai dinilai dari segi materi belaka. Hubungan dan penghargaan ini akan harmonis jika antara satu dan yang lainnya memiliki hubungan yang saling menguntungkan, dan apabila yang terjadi justru sebaliknya, maka hubungan ini dianggap tidak harmonis. Masyarakat seperti ini sudah mulai melupakan nilai agama tentang keikhlasan, tolong menolong bahkan toleransi. Karena yang ada dalam benak mereka hanyalah upah, keuntungan dan balas budi. Pergaulan sosial seperti ini sebenarnya lebih tidak harmonis lagi, karena akan mudah sekali menyulut pertikaian, terutama dari pihak yang merasa dirinya rugi dan dirugikan.

Problema di atas akan terus bergulir seperti bola salju menjadi paradigma kapitalisme. Dimana harkat dan martabat kemanusiaan hanya dinilai dari sisi modal dan aspek kepraktisan. Secara sosiologis, model atau budaya masyarakat kapitalisme ini sudah lahir dan terjadi secara alamiah, karena pada dasarnya, semua manusia memiliki sisi keduniawian atau sekularisme pada dirinya. Kodrat keduniawian ini muncul dari dunia yang semakin kompetitif, terutama kompetisi yang ada hubungannya dengan materi. Karena begitu ketatnya kompetisi antar individu, maka norma-norma pun berkembang mengikuti model konsumerisme dan kapitalisme. Sehingga nilai-nilai memanusiakan manusia pun mulai terkikis dan pudar kemudian berganti dengan nilai-nilai eksploitasi.

Pada wilayah inilah pendidikan, khususnya pendidikan agama mulai dirasakan urgensinya. Ketika posisi dan peran pendidikan agama dalam membentuk moral dan memanusiakan manusia dipertanyakan, maka pertanyaan tersebut akan mengundang jawaban yang dilematis lagi. Di satu sisi, pendidikan dan pendidikan agama diharapkan memberikan bekal pragmatis bagi manusia untuk menempuh masa depannya, dan menjadi media dakwah pengembangan agama sekaligus sebagai bodyguard moral manusia. Namun di sisi lain, tantangan pendidikan dan agama terletak pada sudah maraknya budaya kapitalisme dan konsumerisme. Tantangan besar terletak pada pendidikan agama, dimana pendidikan agama yang cenderung bersifat abstrak ini perlahan-lahan mulai tidak diminati dan dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang kuno dan tidak aktual.

Pendidikan agama secara umum, khususnya pendidikan Islam, seharusnya menjadi senjata pamungkas untuk dapat mengerakkan dinamika masyarakat. Secara idealis, pendidikan Islam atau agama secara luas dapat menjadi landasan atau pedoman perubahan masyarakat. Dalam hal ini agama berlaku sebagai ruh dari segala aktifitas sosial masyarakat, termasuk dalam pendidikan itu sendiri. Jika sudah demikian, pendidikan agama dan agama secara umum akan mampu berperan sebagai tranformasi sosial pada ruang publik dan memberi penyadaran bahwa saat ini, kita sedang berhadapan dengan dunia yang penuh dengan ilusi, rekayasa dan kebohongan. Jika pendidikan dalam hal ini adalah jiwa, maka agama harus menjadi ruhnya, karena jiwa tak akan bisa berfungsi dengan baik tanpa adanya ruh. Jika ruhnya sudah baik, maka besar harapan kita, jiwa-jiwa yang dihasilkan dari rahim pendidikan juga akan baik seperti ruhnya, begitu pula sebaliknya.

Akhirnya, pendidikan, dalam hal ini pendidikan Islam dan agama secara luas harus mampu menunjukkan jati diri atau ruhnya sebagai agen perubahan dan revolusi sosial. Hal ini sudah dinyatakan dan dibuktikan oleh Baginda Nabi Besar Muhammad SAW. Beliau mampu mengubah tatanan masyarakat yang dahulunya amburadul menjadi tatanan masyarakat yang mapan, bermoral dan akademis dengan senjata bernama Agama. Teladan ini sudah sepantasnya menjadi sesuatu yang kita tiru, bahwa dengan pemahaman agama yang benar dan baik, kehidupan akan menjadi lebih baik, bijak dan bijaksana. Jadi, agama harus diimplementasikan dalam bentuk disiplin ilmu apapun dan proses pendidikan dimanapun. Sehingga ruh agama menjadi kendali terhadap pendidikan dan kehidupan sosial kemasyarakatan.

)* Penulis adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theology (PKFT) Tulungagung

WAJAH PARA PEMIMPIN

Oleh: Ahmad Rois)*

Tahun 2013 menjadi tahun transisi kepemimpinan, khususnya bagi provinsi Riau. Tanah melayu ini akan dihadapkan kepada sebuah pesta penuh janji dan pertanggungjawaban yang dinanti-nanti. Surat-surat pertanggungjawaban akan segera digelar di banyak sidang, baik yang digelar secara terbuka atau tertutup. Hiruk-pikuk kampanye BALON atau Calon gubernurpun akan segera kita temui diseluruh penjuru Negeri Gurindam 12 ini. Meskipun sebenarnya asap dari kobaran api politik ini sudah banyak merebak di pinggir-pinggir jalan dalam wujud baleho-baleho wajah para Calon Pemimpin Riau yang akan datang, paling tidak di sana tertulis 2013-2018. Sebagian visi dan misi mereka ada di sana, meskipun kebanyakan masih berbunyi seperti slogan yang penuh semangat, namun kosong sama sekali dari harapan masyarakat.

Riau Pos, salah satu Surat Kabar paling terkemuka dan banyak mendapat perhatian para pembaca di Riau secara umum, juga terkena dampak peliknya persaingan politik yang akan berlangsung tidak lama lagi ini. Jajak pendapat di gelar di salah satu kolom Aspirasi Pembaca. Meskipun di kolom tersebut dibubuhi keterangan “tidak bersifat ilmiah dan hanya mencerminkan opini para pembaca”, tapi kolom ini, menurut penulis akan mempunyai pengaruh yang signifikan bagi para pembaca secara umum, dan khususnya bagi para BALON GUBRI 2013-2018 tersebut. Karena bagaimanapun, media sejak dulu selalu mempunyai fungsi yang vital dalam mengarahkan dan membentuk opini masyarakat. Media selalu mempunyai posisi yang strategis – dan dianggap netral – dalam banyak hal, terutama yang berkaitan dengan persoalan politik, yang kental akan nuansa keberpihakan.

Kembali kepada masalah kepemimpinan di Negeri ini, secara umum, ada tiga fase sejarah kepemimpinan yang dimiliki bangsa Indonesia. Pertama, masa Orde Lama, yang sebenarnya adalah klaim dari Orde Baru untuk memberikan sebutan akrab bagi masa kepemimpinan Soekarno. Kedua, masa Orde Baru itu sendiri, yang dikuasai oleh Soeharto dengan Golkar, yang saat itu menjadi sistem politik yang paling mutahir pada masanya, sebelum pada akhirnya tahun 1990-an akhir suaranya ‘pecah’ dan nyaris hanya tinggal 40% saja. Ketiga, Masa Reformasi, yang ditandai dengan runtuhnya rezim Orde Baru, kemudian sistem demokrasi-pun mulai terdengar gaungnya sampai sekarang di seluruh penjuru Negeri.

Gambaran singkat mengenai ketiga fase ini mencerminkan bagaimana sistem politik yang berlangsung disetiap masanya, sebelum akhirnya kita sampai pada sebuah sistem yang dipuja-puja sebagai sistem terbaik, Demokrasi. Lantas sampai hari ini, demokrasi seperti apakah yang sebenarnya sedang dijalankan sebagai sistem politik Negeri ini? Dalam beberapa hal, demokrasi menjadi sesuatu yang positif, misalnya; memberikan kebebasan berpendapat. Tapi dalam perjalanannya, demokrasi banyak menimbulkan masalah-masalah baru yang bahkan menjadi lebih sulit dikontrol dan diselesaikan. Baik dari dalam pemerintahan itu sendiri, atau dari luar pemerintahan sebagai bagian dari sebuah sistem ‘kerakyatan’.

Secara awam, demokrasi dapat dimaknai sebagai sebuah sistem kerakyatan atau sebuah sistem pemerintahan yang berazas kerakyatan. Dari sana jelas bahwa kata kunci sistem demokrasi adalah rakyat atau kerakyatan. Tapi mengapa akhir-akhir ini perhatian kita akan hal ini seakan disamarkan dengan definisi-definisi tentang demokrasi yang rumit sekali untuk dipahami, apalagi diterapkan dalam bentuk praktis pemerintahan. Bahkan parahnya, kata ‘kerakyatan’ sudah dengan sengaja diganti menjadi ‘kekuasaan’ atau ‘penguasaan’. Demokrasi menjadi celah yang luas untuk memperkaya diri dan kelompok dengan manisnya kata-kata ‘untuk rakyat’. Hal ini menjadi ironis ketika sebuah sistem yang seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, menjadi berbalik menyengsarakan rakyat dan memperkaya kaum berdasi.

Dalam hal ini, tidak terlalu bijak untuk saling menyalahkan satu elemen dan elemen lain yang semuanya tersimpul dalam sebuah sistem. Tapi yang jelas, pemerintah, khususnya para pemimpin menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam menerapkan sistem ini sebagaimana mestinya. Pemimpin menjadi masinis yang bertanggungjawab penuh agar setiap gerbong di belakangnya tetap berjalan di atas rel yang sudah ditentukan. Artinya, setiap penumpang yang ada dalam setiap gerbong juga merupakan tanggungjawab penuh seorang masinis untuk mengantarkan mereka sampai pada tujuan. Tujuan tersebut adalah kesejahteraan, keadilan, kemakmuran dan kebahagiaan.  Jadi jelaslah dalam hal ini pemimpin adalah elemen paling penting dalam sistem ini.

Kategori Pemimpin

Lantas pemimpin yang bagaimanakah yang kita butuhkan saat ini? Yang bisa mengemban amanah rakyat dan mengantarkan mereka sampai pada tujuan akhir, kesejahteraan. Meskipun Riau adalah Negeri Melayu, tidak ada salahnya kita melihat filosofi kepemimpinan dari tanah Jawa, toh kita juga masih satu rumpun kesatuan Indonesia. Atau paling tidak, kita dapat memperkaya wawasan kita tentang kebudayaan suku bangsa lain, sehingga kita tidak seperti ‘katak dalam tempurung’.

Dalam Babad Tanah Jawa, diterakan bahwa ada tiga kriteria seorang pemimpin. Pertama, pemimpin yang nistha, mereka adalah para pemimpin yang cerdik dan banyak akal. Tapi sayangnya, kecerdikan mereka lahir dari kegilaan mereka untuk memperkaya diri mereka sendiri atau golongannya. Pemimpin semacam ini biasanya gila kekuasaan dan kekayaan. Pemimpin model ini biasanya menganut paham sekulerisme atau cinta keduniawian yang fana. Dia berusaha untuk menyunat sebagian besar hak-hak rakyat dengan dalih sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya, tujuan tersebut tampak menjadi sesuatu yang legal dan dengan mudah ia kuasai begitu saja untuk kepentingannya sendiri. Pemimpin semacam ini punya ribuan pretensi dan alibi. Ia sangat pandai bersilat lidah dan mengambil hati rakyat, tetapi sebenarnya adalah pamrih yang pada akhirnya akan menyengsarakan rakyatnya sendiri secara terus-menerus.

Kedua, pemimpin yang madya, pemimpin tipe ini memiliki ciri dua hal; 1) dia mau memberikan sebagian hartanya kepada rakyat. Pemberian ini disertai niat yang tulus tanpa pamrih apapun. Pemimpin seperti ini tidak berusaha memperkaya dirinya sendiri atau kelompoknya. Apalagi jika ia menjumpai rakyat yang masih di bawah standar kesejahteraan, hatinya akan segera luluh dan berusaha menggunakan kekuasaannya untuk memberikan kesejahteraan terhadap rakyatnya; 2) pemimpin madya cenderung berlaku adil dalam memberikan hukuman kepada rakyatnya yang bersalah. Dimatanya, tidak ada satupun dari warga negaranya yang kebal hukum, bahkan dirinya sendiri. Pemimpin seperti ini sangat peka terhadap HAM dan tidak suka main hakim sendiri.

Ketiga, pemimpin utama, pemimpin ini memiliki karakter dan berbudi bawaleksana. Artinya, mau memberikan sesuatu kepada rakyat secara ikhlas lahir dan batin, tanpa pamrih sedikitpun. Tujuannya hanya mengabdi sepenuhnya kepada rakyat dan Sang Gusti. Dia menempatkan dirinya sebagai pelayan bagi rakyatnya, tidak gila kekuasaan dan kehormatan. Ia tidak suka mengobral janji, baginya janji adalah sesuatu yang sakral dan harus dipertanggungjawabkan dihadapan Sang Gusti di kehidupan yang akan datang. Ia menjunjung tinggi sikap yang rendah hati dan kesederhanaan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Baginya, kepemimpinan adalah amanah dan tanggungjawab yang besar dan mulia.

Dari ketiga gambaran di atas, tugas kita kemudian adalah mengenali setiap pemimpin atau calon pemimpin kita yang akan datang. Jangan sampai dikemudian hari kita terjebak kedalam sejarah pahit kepemimpinan kita di masa lampau. Seringkali saya menulis “dalam hidup, tidak ada satupun yang dapat kita lakukan selain memilih, bahkan saat kita memutuskan untuk tidak memilihpun, itu merupakan sebuah pilihan, pilihan untuk tidak memilih”. Maksudnya jelas, hidup adalah tentang apa yang kita pilih dan seserius apa kita menjalani pilihan itu.

Akhirnya, tanggung jawab memilih pemimpin ada di tangan kita selaku rakyat dan peserta demokrasi. Memilih pemimpin adalah tugas hati nurani, tidaklah bijak mendengarkan janji-janji manis tanpa bukti dikemudian hari. Rakyat Indonesia sudah tidak lagi buta dalam menilai para pemimpin. Transparansi media dalam mengulas banyak hal mengenai perpolitikan di Negeri ini menjadi tayangan yang mendidik, terutama dalam hal pemahaman politik. Media cetak secara umum biasanya lebih tegas dalam mengulas banyak hal. Keberanian dan keterbukaan media secara umum menjadi jamuan positif bagi para pembaca. Sekali lagi, demokrasi adalah sistem kerakyatan, bukan sistem yang justru menjadi longgar bagi para penguasa untuk meraup kepentingan perut.

)* Penulis adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

PENDIDIKAN DAN KERETA API (Sebuah Refleksi Tentang Proses)

Oleh: Achmad Rois)*

Beberapa waktu yang lalu, pemuda bodoh yang pendidikan formalnyanya tidak selesai-selesai ini melakukan pencarian tentang sebuah makna kata yang memang tidak ia ketahui sejak lama, bahkan tanpa disadarinya. Pendidikan, itulah sebuah kata yang ingin ia tahu maknanya. Dia mulai membuka-buka beberapa buku lusuh koleksinya di almari buruk, berayap. Ditemukannya beberapa karya yang dia cari, milik orang-orang terkenal yang pemikirannya sudah lebih dahulu dikenal kebanyakan orang, terutama educative civilizations. Pencarian tersebut menghasilkan beberapa hal yang coba diringkasnya di setiap paragraph dalam tulisan ini.

Terminologi pendidikan merupakan terjemahan dari istilah Pedagogi. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani Kuno “Paidos” dan “Agoo”. Paidos artinya “budak” dan Agoo berarti “membimbing”. Akhirnya, pedagogie diartikan sebagai “budak yang mengantarkan anak majikan untuk belajar”. Dalam perkembangannya, pedagogie dimaksudkan sebagai “ilmu mendidik”. Dalam khazanah teorisasi pendidikan, ada yang membedakan secara tegas antara pendidikan dan pengajaran. Perbedaan tersebut umumnya didasarkan karena hasil akhir yang dicapai serta cakupan rambahan yang dibidik oleh kegiatan tersebut. Dinamakan pendidikan apabila dalam kegiatan tersebut mencakup hasil yang rambahannya (dimensi) pengetahuan sekaligus kepribadian, sedangkan pengajaran membatasi kegiatan pada transfer of knowledge yang kawasannya tidak membentuk kepribadian.1

Dalam bahasa Inggris, pendidikan berasal dari kata educate (verb) yang berarti “mendidik”, kemudian menjadi education (noun) yang diartikan sebagai process of teaching, training and learning.2 Jadi, pendidikan dalam istilah ini menekankan pada tiga proses, yaitu mengajar, melatih (latihan) dan belajar. Mengapa proses begitu ditekankan dalam defenisi ini. Kata ‘proses’ mungkin saja merupakan isyarat bahwa pendidikan adalah sesuatu yang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat atau secara instan. Karena itu pendidikan menuntut ketelatenan, keuletan, kesungguhan dan tanpa mengenal lelah sampai kapanpun. Sementara itu dapat kita simpulkan bahwa bagian penting dari pendidikan adalah “proses”, bukan “hasil”, karena hasil akan selalu mengikuti proses.

Sebenarnya, ada satu hal yang membuat pemuda penidur ini meneruskan pemikirannya tentang makna pendidikan yang dia cari. Itu karena dia menemukan sesuatu yang menarik dan sangat jarang sekali, bahkan (setahu penulis) belum pernah disampaikan, yaitu uraian sebuah kata yang menjadi bagian dari definisi pendidikan yang dilansir Learner’s Pocket Dictionary. Jika kita cermati lebih lanjut, dalam uraian definisi education ini terdapat kata training yang bermakna latihan. Apakah tidak aneh bagi Anda, mengapa kata training diambil dari kata dasar train yang berarti “kereta api”, kemudian padanan makna yang mengikuti kata train3 adalah deretan, gerombolan, ekor, jalan dan rentetan.

Jika diusut dari kacamata morphologi, maka kata train akan digolongkan ke dalam dua golongan. Kata train yang pertama adalah noun yang jika ditambahkan –er menjadi noun countable. Sedangkan yang kedua adalah verb yang jika diimbuhi –ing menjadi noun uncountable. Jika Anda merasa perlu melakukan kajian bahasa yang lebih mendalam, silahkan buka kembali buku-buku morphologi Anda pada bab derivation dan inflection, karena tujuan tulisan ini tidak untuk membahas bagian ini terlalu dalam. Paling tidak pembahasan ini jarang sekali atau mungkin belum pernah di ketengahkan di hadapan para pembaca yang budiman. Atau mungkin Anda bisa menanyakannya pada anak-anak kuliahan yang kadang merasa dirinya tahu segalanya, padahal sebenarnya, yang mereka tahu tidak pernah lebih banyak dari apa yang mereka tidak ketahui. Biarkan saya memberi tahu Anda tentang karakteristik (bukan bermaksud merendahkan) mereka, atau kebanyakan ilmuan. Anak kuliahan dan para ilmuan kebanyakan itu hanya menganggap sesuatu itu ada jika mereka mengetahuinya, tapi jika tidak, mereka akan mengatakan “itu tidak ada dan tidak dapat dibuktikan secara empiris”, yah, begitulah bentuk keangkuhan mereka.

Kemudian penulis mulai berfikir tentang apa kira-kira korelasi antara kereta api dan latihan, dan kenapa kata train dan training tidak seperti kata-kata yang lain. Misalnya teach, teach adalah transitive verb dengan makna yang masih berhubungan meskipun ditambahi –ing, yaitu mengajar. Kemudian kata learn yang berformula sama dengan teach juga tetap memiliki makna yang sama, yaitu belajar atau mempelajari. Kemudian bagaimana dengan kata train dan training yang sudah penulis uraikan di atas? Sampai di sini sudahkan Anda menemukan keanehan dari ke-tidak ada-nya hubungan antara pendidikan dan kereta api.

Sampai di sini, Penulis mencoba mengamati setiap kata dari definisi ini dengan seksama. Kemudian mulai berfikir untuk membuat sebuah analogi agar misteri ini lekas terungkap. Dengan analogi tersebut, penulis berharap agar hakikat pendidikan itu sendiri dapat diterima dan dipahami dengan jelas. Atau paling tidak akan memberi gambaran keterkaitan antara kereta api dan pendidikan. Namun sebenarnya, hubungan antara pendidikan dan kereta api ini hanyalah erat dan relevan dalam perumpamaan yang sangat mendidik. Sekaligus memberi gambaran secara gamblang tentang pentingnya pendidikan dan proses yang terkandung di dalamnya.

Tahukah Anda bahwa kereta api hanya berjalan di atas rel yang sudah ditentukan, atau dibuat sebelumnya. Kereta api selalu memiliki beberapa gerbong yang berderet atau rentetan gerbong. Dibagian depan, ada seorang Masinis4 yang mengendalikan laju kereta api. Masinis hanya mengatur kecepatan atau laju kereta api, tegasnya, kapan kereta harus melaju kencang dan kapan kereta harus berhenti. Masinis baru boleh berhenti ketika para penumpangnya sudah sampai pada tujuan yang mereka kehendaki.

Perumpamaan di atas dapat dipahami sebagai berikut; Kereta api adalah simbol pendidikan itu sendiri, sedangkan rel atau jalannya adalah proses yang harus dilalui untuk sampai pada tujuan pendidikan itu sendiri. Tanpa melewati rel tersebut, sangat mustahil kereta api akan sampai pada tujuannya. Begitu juga dengan pendidikan itu sendiri, pendidikan adalah proses seseorang untuk mencapai tujuan. Mengenai apa tujuan pendidikan itu sendiri, secara singkat penulis kutip ungkapan dari seorang Filsuf Yunani, Plato (428-347 SM). Tegas Plato, “Pendidikan membuat orang menjadi baik dan orang baik tentu berperilaku mulia”.

Selanjutnya, gerbong-gerbong yang memuat penumpangnya adalah peserta didik dan masinisnya adalah para pengajar (pendidik) yang akan mengantarkan para penumpang ke tujuan mereka masing-masing. Setiap penumpang harus mempunyai tujuan yang jelas, dan sang masinis harus tahu kemana tujuan setiap penumpang tersebut. Artinya, setiap guru harus tahu apa yang diinginkan murid dan harus selalu mengedepankan kebutuhan peserta didik. Teori ini dalam ilmu pengetahuan modern dikenal dengan “sistem5 pendidikan yang berorientasi pada peserta didik”. Dan pada proses tersebut, para guru diharapkan untuk mengetahui karakter dari setiap muridnya, kapan harus diberikan motivasi, kapan harus dibimbing dan kapan harus dinyatakan siap untuk terjun ke dunia yang lebih nyata (masyarakat).

Demikian analogi tentang kereta api dan pendidikan yang penulis buat-buat untuk mempermudah kita semua dalam memahami hakikat pendidikan. Selain defenisi yang kami buat-buat tadi, masih banyak lagi definisi pendidikan yang diuraikan oleh para tokoh pendidikan. Dengan latar belakang pengetahuannya yang beragam, mereka merumuskan definisi pendidikan kehadapan kita semua untuk dinikmati sebagai sumbangan kekayaan ilmu pengetahuan. Dan jika Anda mulai bertanya tentang apa latar belakang penulis artikel ini, maka jawabannya adalah “tidak jelas latar belakangnya”. Itulah kenyataan yang harus diterima setiap pembaca artikel ini, dan mohon maaf untuk kekecewaan Anda. Tujuannya adalah supaya kita semua tahu dan sadar bahwa tidak ada satupun dari manusia (seperti kita) yang “benar-benar benar” dan “benar-benar salah”.

Kemudian tentang proses yang penulis lanturkan (lantur in java is ng-lantur) di atas, agaknya akan menjadi refleksi bagi kita semua bahwa pendidikan adalah proses yang seharusnya menjadikan kita sebagai manusia yang sempurna (insan kamil). Jadi jika ada di antara kita yang sudah berpendidikan namun belum kamil, itu berarti ada yang salah dengan proses yang sudah kita lalui, dan saat ini masih belum terlambat untuk memperbaikinya. Perlu juga penulis ingatkan bahwa pendidikan dalam tulisan ini tidak memiliki makna yang sempit atau sangat sempit, karena sesuatu yang sangat sempit akan membuat sesuatu yang lain sangat sulit untuk bergerak. Misalnya, celana dalam (pria) yang terlalu sempit akan mengakibatkan sesuatu yang lain sulit bergerak dan bernafas (jika bernafas), atau pakaian wanita yang terlalu sempit akan membuat orang lain (khususnya pria normal) berpandangan dan berpikiran sempit, sesempit apa yang ada di balik pakaian sempit itu. Dan apakah Anda sudah lupa bahwa pria tadi juga mengenakan celana dalam yang sempit?

Kemudian proses yang kami sebutkan di atas juga tidak hanya berlaku pada proses pendidikan belaka, tapi berlaku pada seluruh proses dalam mencapai kehidupan yang mulia. Artinya, hidup adalah proses menyiapkan kehidupan yang akan datang (hanya bagi Anda yang meyakini bahwa akan ada kehidupan yang akan datang setelah dunia), jika baik, baiklah dan jika buruk, buruklah. Begitu juga dalam konteks pendidikan, hasil bukanlah sesuatu yang paling utama. Yang penting adalah bagaimana proses Anda selama di sana. Artinya, lakukanlah sesuatu dengan baik, maka insyaAllah, hasilnya akan sebanding. Anda mungkin pernah mendengar istilah yang sangat tenar pada masa orde baru, ya, istilah efektif dan efisien. Anda harus tahu bahwa segala sesuatu harus efektif dan efisien. Efektif di sini adalah melakukan sesuatu yang benar, sedangkan Efisien adalah melakukan sesuatu dengan benar.

Kemudian kata kunci terakhir adalah insan kamil, penulis merasa tidak perlu menjelaskan ini secara detail. Ambil saja makna istilah ini dari Plato, yang sudah penulis sebutkan di atas. Insan kamil adalah orang baik yang berprilaku mulia. Ini sudah cukup menjelaskan banyak hal tentang filosofi kehidupan bukan? Tapi perlu Anda ingat bahwa sekamil-kamilnya Anda, Anda tetaplah insan (manusia). Anda pasti mengerti maksud penulis bukan? Jadi, jangan pernah menyalahi rumus ini sampai kapanpun selagi Anda masih Insan. Karena penulis tidak ingin cerita-cerita tentang Qorun dan Firaun kembali terkuak ke permukaan.

Akhirnya, membicarakan tentang pendidikan selalu menarik bagi sebagian orang dan sangat membosankan bagi kebanyakan orang. Apalagi jika itu pendidikan yang ada di Indonesia. Bak benang kusut yang sudah tidak bisa di uraikan lagi rasanya. Tapi kita tidak boleh putus asa bukan? So, tetaplah hadapi problem yang hampir tidak kunjung selesai ini dengan hati yang lapang dan fikiran yang jernih. Semoga, Indonesia yang kita cintai ini semakin raya, seperti lagunya, INDONESIA RAYA. Atau jika tidak, maka berdoalah dengan sungguh-sungguh, semoga Indonesia ini benar-benar hancur lebur tak lagi bersisa, bahkan namanya sekalipun. Amiiin….

)* Penulis Adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung, penidur yang malas (janji MApan yo ambLAS) dan pemuda yang ramah (RA patek oMAH).

Catatan Kaki.

1 M. Jumali et.al., Landasan Pendidikan, (Surakarta: Muhamadiyah University Press, 2008), 18
2 Learner’s Pocket Dictionary, (New York: Oxford University Press, 2000), 138
3 John M. Echols & Hasan Shadily, An English – Indonesian Dictionary, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), 600
4 Masinis adalah sebutan bagi orang yang mengemudikan kereta api.
5 Sistem child centered education atau konsep pendidikan yang berpusat pada anak didik ini disandarkan pada sebuah teori salah seorang tokoh Nativisme, yaitu Schopenhauer yang berpendapat bahwa sesungguhnya peserta didik sejak awal telah mempunyai potensi yang siap dikembangkan sehingga tugas pendidikan adalah mengembangkan potensi tersebut secara optimal. Lihat M. Jumali et.al., Landasan Pendidikan, 23

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Oleh: Achmad Rois)*

Jika ada yang bertanya tentang apa manfaat pendidikan, maka jawabanya sederhana; Pendidikan membuat orang menjadi baik dan orang baik tentu berprilaku mulia.  Plato (428-347 SM)

Indonesia adalah salah satu Negara multikultural terbesar di dunia. Kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari keadaan sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Di tengah Negara Multikultural ini, kehidupan yang damai tampaknya kian mahal untuk diwujudkan. Tantangan kehidupannya menjadi semakin kompleks, sehingga membuka begitu banyak peluang bagi munculnya gesekan dan perbedaan dalam berbagai ranah. Realitas ini telah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan lagi dari kehidupan sosial masyarakat Indonesia sekarang ini.

Dalam konstelasi kehidupan semacam ini, konflik menjadi sesuatu yang kian mudah terjadi. Sudah cukup banyak kejadian yang dapat kita jadikan eksemplar dalam skala kecil hingga yang cukup besar. Ini merupakan fenomena yang mengkhawatirkan, sebab tingkat keragaman yang tinggi, seperti yang dimiliki Indonesia, sesungguhnya merupakan kekayaan dan khazanah kehidupan yang penuh makna, namun dapat berubah menjadi bencana ketika tidak dikelola dengan baik. Banyaknya konflik dengan beragam latar belakang yang terjadi di Indonesia merupakan contoh nyata tentang bagaimana keragaman telah menjadi bencana yang tragis dan memilukan. Bagaimana mungkin orang bisa menghancurkan dan membunuh mereka yang berbeda hanya karena sentimen ras, suku, agama, atau afiliasi politik?

Secara normatif, tidak ada satu ajaran agama manapun yang mendorong dan menganjurkan pengikutnya untuk melakukan kekerasan terhadap pengikut agama lain di luar kelompoknya. Namun secara historis-faktual, sesekali dijumpai tindak kekerasan yang dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat dengan dalih agama. Terlalu banyak peristiwa di tanah air, bahkan di dunia, yang menjadikan agama sebagai alat yang cukup ampuh untuk menyulut emosi dan kemarahan massa demi meraih tujuan-tujuan yang sebenarnya berada di luar kepentingan agama itu sendiri.

Di tengah bangsa dan masyarakat yang multikultural-multireligius, persoalan sosial-keagamaan memang bukan persoalan yang sederhana. Kompleksitas hubungan sosial antarumat beragama ini dirasakan oleh seluruh elemen dalam masyarakat, mulai dari politisi, guru, tokoh agama dan orang tua di rumah. Menafikan keberadaan tradisi-tradisi agama di muka bumi merupakan pekerjaan yang sia-sia. Masing-masing mempunyai hak yang sama; masing-masing mempunyai cara untuk mempertahankan tradisi dan identitasnya sendiri-sendiri dengan berbagai cara yang bisa dilakukan.

Menurut Amin Abdullah, cara yang paling tepat untuk mempertahankan tradisi dan identitas keagamaan di atas adalah melalui jalur pendidikan. Hal ini disebabkan karena pendidikan adalah alat yang paling efektif untuk meneruskan, melanggengkan, mengawetkan, dan mengonservasi tradisi dari satu generasi ke generasi selanjutnya, dari abad yang satu ke abad yang lain.

Pendidikan merupakan salah satu media yang paling efektif untuk melahirkan generasi yang memiliki pandangan yang mampu menjadikan keragaman sebagai bagian yang harus diapresiasi secara konstruktif. Sebab, pendidikan bersifat sistemik dengan tingkat penyebaran yang cukup merata. Lembaga-lembaga pendidikan dari berbagai tingkatan telah tersebar secara luas di berbagai wilayah Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan menjadi sarana yang cukup efektif untuk mencapai tujuan ideal ini.

Permasalahan pokok yang dihadapi para pendidik dan penggerak sosial-keagamaan pada era kemajemukan dan era multikultural adalah bagaimana agar masing-masing tradisi keagamaan tetap dapat mengawetkan, memelihara, melanggengkan, mengalihgenerasikan, serta mewariskan kepercayaan dan tradisi yang diyakini sebagai suatu kebenaran yang mutlak, namun pada saat yang sama juga menyadari sepenuhnya keberadaan kelompok tradisi keagamaan lain yang juga berbuat serupa.

Paradigma pendidikan di Indonesia yang masih cenderung sentralistik telah melupakan keragaman, kekayaan, dan potensi yang ada. Kondisi ini diperparah oleh model pembelajaran yang cenderung dogmatis dan kurang mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Pendidikan agama misalnya, cara pengajarannya lebih didominasi oleh pemahaman tekstual ajaran agama yang dogmatis dan eksklusif.  Akibatnya, benih-benih konflik yang berawal dari keragaman bangsa, baik dari sisi budaya ataupun agama, seringkali muncul ke permukaan. Berangkat dari fenomena inilah, pendidikan Islam berwawasan multikultural menjadi penting untuk ditawarkan guna menjawab pertanyaan tentang bagaimana membangun kesadaran multikultural.

Pendidikan Islam multikultural ini dapat dipahami sebagai proses pendidikan yang berprinsip pada demokrasi, kesetaraan, dan keadilan; berorientasi kepada kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian; serta mengembangkan sikap mengakui, menerima, dan menghargai keragaman berdasarkan al-Qur’an dan Hadist. Sementara Amin Abdullah menyatakan bahwa multikulturalisme adalah sebuah paham yang menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada. Dengan kata lain, penekanan utama multikulturalisme adalah pada kesetaraan budaya.

Akhirnya, tulisan ini hanyalah sebuah pendahuluan tentang wacana pengembangan ilmu dan konsep pemikiran pendidikan Islam, khususnya yang berbasis multikultural, dan sebuah tawaran solutif guna menjawab persoalan tentang bagaimana membumikan dan membangun wacana tentang kesadaran multikultural di kalangan masyarakat secara umum. Secara praktis, wacana ini dapat diimplementasikan di semua lembaga pendidikan. Tentu saja dengan segala perencanaan, materi, metode, dan model pembelajarannya yang berbasis multikultural. Karena lembaga pendidikan secara umum mempunyai tanggung jawab, baik secara yuridis ataupun etis untuk berperan aktif dalam mengembangkan pendidikan, sehingga mampu menghasilkan generasi penerus yang toleran dan kooperatif meskipun berasal dari latar belakang etnis, budaya dan agama yang berbeda.

 

Sekian, Selamat Berkontemplasi, Semoga Bermanfaat dan Salam Perubahan

 

SUMBER TULISAN:

  • Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren, Telaah terhadap Kurikulum Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam Surakarta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011)
  • M. Amin Abdullah, dalam Pramono U. Tanthowi (ed.), Begawan Muhammadiyah, Bunga Rampai Pidato Pengukuhan Guru Besar Tokoh Muhammadiayah (Jakarta: PSAP, 2005),
  • M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius (Jakarta: PSAP, 2005)
  • M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2006)
  • Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008)

 

JAWA ADALAH ISLAM

Oleh: Achmad Rois)*

Pengantar Identitas

Minggu lalu, “penidur bodoh” ini sudah berbicara tentang peradaban yang kian mengurangi nilai adab itu sediri. Adalah ketika kemajuan zaman dimaknai sebagai ombak besar yang meng-erosikan nilai-nilai luhur budaya lokal dan religiusitas penduduknya. Pada kesempatan yang di-Rahmati Tuhan ini, penulis akan mengundang Anda menggunakan logika paling sederhana bahwa “lampu hanya akan diletakkan di tempat yang gelap atau paling gelap”. Tulisan ini akan berjalan cukup lama dan panjang, jadi jika Anda tidak siap untuk menerima konsekuensi ini, tinggalkan dan carilah tulisan lain untuk dibaca.

Hari ini, saat saya menulis, saya adalah orang Indonesia yang sedang sangat mencintai kewarganegaraan saya, meskipun saya sendiri tidak begitu yakin apakah Negara dan Bangsa ini pantas mendapatkan cinta saya. Kemudian, saya adalah orang Jawa (etnisitas) yang sangat menjunjung tinggi keluhuran budayanya secara filosofis maupun religius. Dan di sisi lain, agama saya adalah Islam, karena di KTP saya tertulis begitu.

Jawa dan Islam dalam Idealitas

Berbicara mengenai budaya Jawa, berarti mengarungi budaya penuh simbologi dan mitologi. Jawa memiliki sejuta, bahkan lebih, simbol-simbol dan mitos yang penuh dengan makna filosofis. Simbol-simbol dengan makna filosofis ini yang selanjutnya akan kita sebut dengan “Falsafah Jawa”. Falsafah Jawa ini juga terkait kepada budaya spiritual orang Jawa yang mulia, yang kemudian menjadi falsafah hidup mereka. Pada tulisan ini akan saya ketegahkan beberapa saja dari keluhuran falsafah Jawa, karena saya memang tidak tahu begitu banyak, tapi saya akan terus mencarinya, meskipun usaha saya tidak akan pernah selesai karena memang begitu kayanya falsafah hidup Jawa yang mulia ini.

Falsafah Jawa yang sangat terkenal dan menjadi landasan aksara Jawa adalah “HA-NA- CA-RA-KA”. Ha-na artinya ‘nyata ada’, mengiaskan ilmu kasunyatan. Dalam epistemologi modern pengetahuan ini dikenal dengan Realitas atau Pengalaman Empiris. “CA-RA-KA” mengandung aksara yang menyiratkan kata cipta-rasa-karsa, yakni salah satu sumber kelengkapan hidup manusia. “DA-TA-SA-WA-LA”, mengiaskan dzat yang data-sawala, yakni dzat yang tidak pernah salah dan tidak pernah bisa salah, yaitu Dzat Tuhan. Tuhan memberi manusia beberapa sifatnya, yaitu sifat baik dan buruk. Kedua sifat tersebut sama kuatnya, “PA-DHA-JA-YA-NYA”, sama jayannya. “MA-GA-BA.THA-NGA”, Ma, menyiratkan kata ‘sukma’, dan Ga, menyiratkan kata angga (badan). Maksudnya, jika Sukma masih bersatu dengan badan, manusia itu masih hidup, tetapi jika sukma telah meninggalkan badan, manusia itu mati, tinggal ba-tha-nga yaitu bangkainya, dan sukmanya kembali kepada Tuhan.

Falsafah Jawa selanjutnya adalah sikap mental atau keadaan batin yang ideal menurut orang Jawa. Orang jawa memahami bahwa unsur sentral cara bersikap dalam kehidupan mereka ada rila, nrimo dan sabar. Sikap ini yang akan melandasi sikap orang Jawa dalam menghadapi segala hal. Rila disebut juga dengan eklas, yaitu kesediaan menyerahkan segala milik, kemampuan, dan hasil karya kepada Tuhan. Nrima berarti merasa puas dengan nasib dan kewajiban yang telah ada, tidak memberontak, tetapi mengucapkan terima kasih. Sabar menunjukkan ketiadaan hasrat, ketiadaan ketak-sabaran, dan ketiadaan nafsu yang bergolak.

Sikap pertama, yaitu rila atau eklas, dalam Islam juga dikenal dengan sebutan Ikhlas. Ikhlas secara etimologi berasal dari kata Kholasho yang berarti bersih, tiada bercampur. Kemudian Khollasho dengan lam yang ditasydid berarti melepaskan, dan isim faa’ilnya adalah Khoolisun yang berarti yang bersih, yang murni. Defenisi etimologis ini mengantarkan kita kepada sebuah pemahaman bahwa dalam memberikan sesuatu kita harus “bersih”. Bersih yang pertama adalah bersih yang kita berikan. Artinya, yang kita berikan adalah sesuatu yang harus berada dalam keadaan baik dan halal, jika konteksnya Islam disebut dengan “halalan thoyyiba”. Kemudian bersih yang kedua berarti murni, yaitu melepaskan segala sesuatu yang membuat kita mengharapkan balasan dari orang yang kita beri. Jadi, Ikhlas adalah melakukan atau memberikan sesuatu hanya karena Tuhan, dan tidak mencampuri tujuan tersebut dengan tujuan lain seperti, penghargaan dari orang banyak, popularitas politik, penghormatan dan lain-lain. Dan implementasi falsafah ini dalam tradisi jawa disebut sepi ing pamrih.

Sikap selanjutnya adalah nrima, yaitu bentuk rasa syukur dan kepasrahan total terhadap apa yang telah ditakdirkan Tuhan. Dan dalam agama yang tertulis dalam KTP saya tadi diajarkan bahwa manusia harus percaya pada Takdir Tuhan (rukun Iman), kemudian harus bersyukur terhadap nikmat yang deberikan Tuhan. Perintah untuk bersyukur ini begitu seringnya saya dengar disetiap pembukaan Khutbah Jum’at, Ceramah-ceramah keagamaan dan dibanyak forum lain yang pernah saya ikuti. Saya tidak pernah bertanya kepada mereka kenapa kita harus bersyukur, tapi ketika saya mencoba untuk tidak bersyukur sehari saja, betapa sedikitnya keberkahan yang saya terima saat itu. Kemudian saya putuskan untuk mengambil kesimpulan bodoh bahwa “saya memang harus berterimakasih, meskipun saya tidak tahu atau bahkan tidak percaya bahwa ada yang memberi sesuatu untuk saya, dan saya nikmati itu”.

Dalam kaitanya dengan Tuhan, falsafah Jawa mengajarkan kita untuk bersikap nerima ing pandum, yakni menerima dengan sumeleh terhadap pemberian Tuhan. Tapi sikap ini tidak dapat digolongkan kedalam sikap fatalistik. Penganut fatalistik percaya bahwa semua kejadian sudah diputuskan dan ditetapkan oleh Tuhan pada permulaan wujud, sehingga usaha-usaha manusia tidak dapat mengubahnya. Dalam konteks Islam, “sesungguhnya Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka sendiri yang mengubahnya”. Ini berarti bahwa campur tangan atau usaha manusia tetap saja dibutuhkan dalam menjalani takdir yang sudah ditetapkan. Selain ayat ini, banyak lagi ayat lain yang menggunakan retorika tersirat bahwa manusia tetaplah harus berusaha, meskipun pada akhirnya Tuhan juga lah yang akan menentukan semuanya.

Masih senada dengan syukur atau nrima, Jawa mengenal istilah urip manungsa pinasthi ing Pangeran, hidup telah ditakdirkan, tapi tidak berarti kita hanya diam. Orang Jawa memaknai hidup adalah senantiasa bergerak, jika orang hidup hanya diam, berarti sama saja dengan mati. Adapun watak nrima sebenarnya tetap disertai usaha terlebih dahulu, baru kemudian pasrah dan sumarah. Pasrah adalah kondisi tunduk takluk pada takdir, ibaratnya tangan tengkurap, merunduk. Sedangkan sumarah adalah berserah diri dengan cara mengulurkan tangan. Dengan kata lain nrima tidak berarti hanya berdiam diri seperti menunggu datangnya embun pagi. Ini menjadi menarik ketika makna Islam itu sendiri juga berarti pasrah dan tunduk. Jadi, orang Jawa sebenarnya sudah Islam bahkan sebelum Islam itu sendiri datang ke Jawa.

Falsafah sabar tentu juga sudah sangat jelas, baik secara etimologi jawa maupun Islam. Sifat ini begitu mulianya, sampai Tuhan dengan sangat berani berfirman bahwa Dia bersama orang-orang yang sabar. Selain itu, Tuhan juga memerintahkan kita untuk meminta pertolongan dengan sabar dan sholat. Ada banyak tafsir mengenai hal ini, tapi secara garis besar, Tuhan menyayangi orang yang sabar, dan tanpa kesabaran, sholat hanya akan berada pada koridor yang formal, tanpa ruh dan tanpa penghayatan.

Falsafah lain yang juga penting dalam epistemologi Jawa adalah “sak bejha-bejhane wong luwih bejho wong kang eling lan waspodho”. Kalimat ini selalu mengingatkan saya pada sebuah stasiun radio swasta yang berada di daerah timur kota Tulungagung, Ngunut. Kalimat ini sering sekali saya dengar ketika ngopi di kantin PPHM. PPHM adalah tempat dimana saya sangat suka dan lebih memilih tidur pulas ketimbang ngaji kitab kuning. Tapi saya tetap mencintai tempat ini, karena saya pernah tinggal dan tidur di sana beberapa hari.

Kembali pada falsafah di atas, Eling menjadi perwujudan hidup yang berdimensi vertikal (transendental). Jadi yang dimaksud dengan eling ini adalah senantiasa ingat pada Tuhan sebagai Maha Pencipta, dan eling terhadap hakikat diri manusia itu sendiri. Dalam Islam, sholat juga berarti dzikir atau senantiasa mengingat dan berserah diri pada Tuhan. Dan dalam ayat yang lain, sering sekali kita dengar bahwa “man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu”. Waspada adalah watak kehati-hatian, yang berdimensi horizontal. Waspada mengindikasikan watak dasar manusia Jawa yang melaksanakan segala sesuatu berlandaskan situasi kontekstual. Hal ini juga akan merujuk pada pemikiran yang selalu tanggap pada kejadian-kejadian di sekelilingnya. Segala kejadian akan turut menentukan tanda-tanda hadirnya takdir, karena itulah perlu diwaspadai agar hidupnya aman, tenteram dan damai.

Dalam pengembaraan orang Jawa guna mencari Tuhan, mereka mengenal banyak istilah, seperti “mati sajroning urip, sangkan paraning dumadi, dan manunggaling kawulo Gusti”. Orang Jawa juga mempunyai pandangan bahwa hakikat Tuhan itu memiliki sifat dan afngal. Sifat Tuhan itu Esa, tak ada yang menciptakan. Ini senada dengan Surat Al-Ikhlas, Dialah Tuhan yang Maha Esa, Tidak beranak dan diperanakkan. Sedangkan Afngal berarti Tuhan itu tidak dapat dilihat dan tidak berwujud. Orang Jawa juga sangat percaya dan yakin bahwa ada Dzat di luar diri mereka yang lebih Kuasa di atas segalanya. Sama seperti orang Islam yang juga yakin bahwa Tuhan adalah Dzat dengan segala Kesempurnaanya.

Orang jawa juga mengenal istilah manungsa utama yang dalam Islam disebut dengan insan kamil. Untuk mencapai taraf ini, orang Jawa mengenal proses ajur ajer yang dalam istilah tasawuf disebut fana, yaitu menganggap diri ini tidak ada, hanya Tuhanlah yang Maha Ada. Karena itu orang Jawa selalu menyikapi hidup dengan penuh keyakinan bahwa hanya Tuhanlah yang kekal dan abadi. Dunia bathin ini dimanifestasikan dalam istilah “menyang donya mung mampir ngombe”. Meskipun demikian, hidup yang sementara ini tidak dijalani dengan hanya berpangku tangan, tapi dengan perjuangan dan proses. Mereka memahami bahwa hidup adalah perjalanan dari tiada, ada, ke tiada lagi. Kerena mereka memahami bahwa hidup sudah ditentukan, dan hidup hanya untuk sementara, maka orang Jawa tidak menjalani hidup ini dengan ngaya (ambisius). Hati mereka merasa tenang dan menyikapi hidup sebagai cakramanggilingan, yang artinya berputar dari waktu ke waktu, menuju kesempurnaan.

Catatan Akhir

Tulisan ini akan bertambah panjang jika saya terus menyebutkan lebih banyak lagi falsafah Jawa yang mulia dan relevan dengan ajaran Islam. Ada sejuta bahkan lebih banyak lagi mitologi dan simbologi jawa yang lain, dan yang sangat berharga dalam kajian ini. Namun itu menjadi tugas Anda untuk menggali kekayaan tradisi Jawa lebih lanjut, karena saya meletakkan kajian ini sebagai pengantar pengetahuan kita tentang mulianya produk manusia Jawa sebelum peradaban Islam datang ke Indonesia secara umum dan Jawa khususnya.

Kajian ini terlihat menyamaratakan antara Jawa dan Islam. Dan saya akan sangat tidak setuju dengan statemen tersebut. Jawa tetaplah etnis, dan budaya yang dilahirkannya tetap saja ciptaan manusia. Sedangkan Islam adalah Agama, dan segala sistem dan nilai yang diajarkannya berasal dari Keagungan Tuhan yang mempercayakan Agama tersebut disosialisasikan oleh Muhammad SAW. Muhammad sendiri bukan orang Jawa, beliau kita kenal berasal dari bangsa Arab dari keturunan suku Quraisy.

Melalui pengetahuan ini, akan saya tanamkan kepada Anda bahwa Anda sebagai orang Indonesia pada umumnya, dan khususnya orang Jawa, harus berbangga hati karena Nabi Muhammad SAW yang dimuliakan Tuhan itu tidak lahir dari suku Jawa atau bukan orang Indonesia. Mengapa ini perlu dipahami? Saya sangat prihatin ketika ada beberapa orang dari kita yang merasa minder memeluk Agama Islam hanya karena Nabi Muhammad SAW bukan orang Jawa. Perlu diketahui bahwa Islam bukan hanya milik orang Quraisy, Islam adalah rahmatal lil ‘alamin. Kitabnya, Alqur’an berlaku sepanjang masa dan untuk siapa saja, meskipun Tuhan terkadang diskrimintif dalam ayat-ayatnya, seperti ketika memanggil “hai orang-orang yang beriman, bertakwa, berpikir, kafir dan panggilan-panggilan lain yang secara spesifik ditujukan pada orang-orang tertentu yang Dia kehendaki”. Tapi dalam banyak ayat, secara tegas Tuhan memanggil “hai manusia”, yang berarti tanpa ada batasan suku, agama, kewarganegaraan, warna kulit, status sosial dan status-status lain.

Keprihatinan kedua adalah ketika saya mendengar begitu banyak orang mengagung-agungkan orang arab, bahasa arab dan Nabi Muhammad yang berasal dari arab. Sehingga seakan-akan hanya orang Islam dari arablah yang Islamnya paling sempurna. Sampai budayanya pun dibawa-bawa sebagai identitas Islam yang ada di jazirah selain Arab, termasuk Indonesia. Seperti jubahnya, surbannya, gaya bicaranya dan banyak lagi Arabisasi yang diberhalakan. Saya tidak terlalu suka dengan paham semacam ini, dan setelah saya menelusuri sedikit demi sedikit keluhuran budaya Jawa sebelum datangnya Islam ke Indonesia, saya justru lebih tidak suka lagi. Saya merasa bahwa Tuhan menetapkan saya sebagai orang Jawa yang mengenal Islam-nya Muhammad SAW, supaya saya menjadi orang Jawa yang Islam seperti Islam-nya Muhammad. Dan saya sangat yakin bahwa Tuhan memang menginginkan saya menjadi orang Islam Indonesia, bukan orang Islam Arab. Tapi kalaupun Tuhan menghendaki saya mempelajari budaya Arab dan Bahasa Arab, itu hanya untuk menjadikan saya sebagai manusia Indonesia, bukan menjadi orang Arab pula.

Selanjutnya, setelah kita cermati keluhuran materi-materi Jawa dengan segala mitologi dan simbolnya. Secara kasar, dapat kita simpulkan bahwa orang Jawa secara umum memiliki kesadaran yang sama dalam hal pencarian Tuhan, seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS dalam usahanya mencari Sang Pencipta. Dan orang Jawa melakukan itu dengan sangat hati-hati dan penuh kesungguhan. Dari sisi Akhlak, kemuliaan akhlak orang Jawa banyak sekali dicerminkan dari cara orang Jawa menyikapi kehidupan. Dan kepercayaanya terhadap hal-hal ghaib, termasuk hari akhir atau hari setelah mati juga digambarkan dalam banyak persepsi falsafah Jawa.

Sebagai pembanding, mari kita kenang kembali pengetahuan kita mengenai sejarah pra-Islam di jazirah Arab yang sering dibangga-banggakan orang itu. Singkatnya, peradaban masa itu sangat-sangat buruk dan keji. Barulah ketika Islam datang dan membawa pencerahan dimasa kegelapan itu, peradaban mulai berangsur membaik dan kian membaik sampai pada klaim Makkah al Mukarromah dan Madinah al Munawwaroh.

Sampai di sini, jelaslah sudah bahwa keadaan pra-Islam di Jawa sangat berbeda dengan keadaan pra-Islam di Arab. Untuk sekedar mengingatkan, sering sekali kita dengar puji-pujian terhadap Nabi Muhammad, “anta samsun anta badrun”, yang mengindikasikan bahwa Muhammad adalah Cahaya Peradaban. Sampai di sini sudahkan Anda mampu menangkap pesan yang ingin saya sampaikan bahwa “Lampu hanya diletakkan di tempat yang gelap, atau paling gelap”. Maka dengan sangat percaya diri saya katakan bahwa orang Jawa sebelum Islam tidak seburuk orang Arab sebelum Islam. Jadi, kita sebagai orang Jawa khususnya, dan orang Indonesia umumnya, harus bangga karena Nabi Muhammad tidak lahir dari Rahim orang Jawa dan tidak berkewarganegaraan Indonesia.

Tapi perlu saya tegaskan sekali lagi, bahwa Jawa tetaplah Jawa, dan Islam tetaplah Islam. Peradaban Jawa secara Akhlak dan Aqidah sudah hampir sempurna, tapi tanpa Wahyu dari Tuhan dan Ajaran yang disampaikan Muhammad, kesempurnaan itu tidak akan pernah tercapai sampai kapanpun.

Pendukung Kajian:

FALSAFAH HIDUP JAWA, oleh Suwardi Endraswara, (Yogyakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2010).

Kawruh Basa Jawa Pepak, oleh Daryanto, (Surabaya: APOLLO, 1999)

Kamus Ilmiah Populer, oleh Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, (Surabaya: ARKOLA, 1994)

Kamus Arab-Indonesia, oleh Mahmud Yunus, (Jakarta: PT Hidakarya Agung)

SIGARET KRETEK, oleh DJI SAM SOE (Surabaya: PT HM Sampoerna Tbk.)

)* Penulis adalah Aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

TOILET PENYADARAN

Oleh: Achmad Rois)*

GAE OPO SEKOLAH DUWUR-DUWUR LEK HASILE MEK GAE PERADABAN SOYO MUNDUR

Dunia dengan berbagai kemajuannya sudah sampai di setiap pelosok Negeri ini. Pengaruhnya yang beragam seringkali menjadi perbincangan banyak orang. Setiap sisi selalu mengundang pembahasan berbeda dari sudut pandang yang berbeda pula. Kemajuan zaman sering dinamai dengan globalisasi. Mereka menyebutnya seiring dengan istilah modern yang hampir tiap detik kita dengar di televisi, radio, dan media lain. Seakan dunia benar-benar harus memiliki pandangan yang sama dengan mereka, yaitu pembangunan, globalisasi atau modernisasi.

Sebuah bangsa dikatakan maju jika memiliki peradaban yang beradab, karena memang asal kata peradaban adalah adab. Kita sering memahami istilah Negara maju dari sisi yang justru sebenarnya bukan hakikat. Karena yang kita lihat hanyalah sisi secara empiris yang sepi kearifan. Misalnya hanya dari sisi teknologi, pembangunan infrastruktur, system ekonomi atau politik yang diberlakukan disebuah Negara. Itu hanyalah sebuah sisi dimana peradaban sebenarnya belum termasuk di dalamnya sebagai kemajuan atau kemapanan.

Berangkat dari pemikiran di atas, jika kita berbicara mengenai peradaban, harus ada pengklasifikasian secara khusus dan jelas. Misalnya, peradaban ilmu pengetahuan, peradaban teknologi, peradaban system ekonomi dan lain sebagainya. Meskipun kedengarannya tidak biasa, tapi ini mungkin akan membantu meluruskan kita terhadap makna peradaban yang kita pahami selama ini. Atau paling tidak, kita kembali mereflesikan makna peradaban yang sudah kita pahami selama ini. Supaya asumsi kita tentang peradaban tidak lagi terkesan sepihak dan jauh dari makna filosofis.

Untuk mempersingkat pembicaraan, marilah sejenak kita mengamati satu dari banyak hal yang paling sepele dan sering kita temui sehari-hari. Masalah tersebut adalah masalah buang air besar dan fasilitasnya di toilet. Sekarang sudah merupakan hal yang tidak asing lagi kita jumpai toilet-toilet duduk dibanyak tempat umum. Toilet dengan model ini sudah sangat lazim dipergunakan di banyak fasilitas publik seperti bandara, hotel, terminal, stasiun, rumah sakit bahkan rumah sakit dan kampus-kampus ternama di Indonesia. Sesuatu yang membuat penulis tidak habis pikir adalah anggapan bahwa toilet model ini adalah wujud dari perkembangan zaman, kemajuan zaman, globalisasi atau apalah namanya. Padahal jika nanti kita pelajari secara mendetail, sebenarnya toilet jongkok lah yang lebih maju ketimbang toilet duduk yang sudah terlanjur diklaim banyak orang sebagai kemajuan zaman atau pembangunan globalisasi.

Supaya klaim ini tidak terlanjur mendunia, mari kita lihat dari paradigma kedokteran. Buang air dengan cara jongkok lebih sehat menurut paradigma kesehatan dibanding buang air dengan cara duduk. Jika anda tidak terlalu yakin dengan ini, silahkan tanyakan langsung pada ahlinya atau search di internet mengenai problem yang kali ini kita perbincangkan. Hal tersebut mungkin akan menyadarkan kita tentang satu hal, paling tidak kita sudah punya peradaban yang sehat sebelum globalisasi datang dan menerapkan hegemoninya di Indonesia.

Dari sisi lain, WC duduk akan selalu bersanding dengan tisu sebagai pembersih setelah buang air. Tentu akan berbeda dengan WC jongkok yang mesti menyediakan banyak air untuk membasuh “jalan belakang” setelah buang air. Tugas anda adalah menganalisa sendiri apakah membersihkan bekas buang air dengan tisu akan lebih bersih ketimbang dengan air. Untuk membantu anda menganalisis, akan penulis paparkan pandangan dari sisi agama, khususnya Islam.

Singkatnya, proses membersihkan diri dalam Islam disebut dengan thoharoh. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan membersihkan kemaluan dan dubur disebut istinja’. Dalam islam, memang diperbolehkan membersihkan dua tempat tersebut dengan benda selain air, misalnya dengan batu dedaunan dan tisu (zaman sekarang). Namun, diperbolehkannya hal ini tentu dengan sebab tertentu, misalnya kesulitan air atau dalam keadaan lain yang tidak memungkinkan mencuci dua jalan tersebut dengan air. Akan tetapi, mencuci kemaluan dan dubur dengan air lebih diutamakan dalam Islam, meskipun diperbolehkan juga mencuci dengan yang lain.

Dari dua sisi tersebut, mulailah anda pikirkan, mana sebenarnya yang lebih beradab dan maju antara peradaban buang air orang Indonesia dengan Amerika. Jadi kenapa anda harus risau dan takut kalah maju dari Negara lain kalau kearifan budaya kita ternyata lebih beradab ketimbang gembar-gembor globalisasi. Satu contoh lagi mengenai budaya kencing yang memang disiapkan supaya kita kencing berdiri. Cobalah bedakan (maaf) antara anda dan kambing, kerbau, sapi atau anjing saat kencing, jika anda melakukannya dalam keadaan berdiri. Lantas apa bedanya kita dengan hewan jika cara kita masih sama dengan cara mereka melakukan kencing. Paling tidak, sebelum kita berubah kearah yang lebih besar, kita harus memulainya dari hal-hal yang paling sepele dan kecil seperti ini.

Tulisan ini sebenarnya adalah kekhawatiran penulis mengenai budaya kita yang semakin hari semakin terinfiltrasi oleh budaya barat. Nilai-nilai religious dan lokalitas kita semakin luntur dari banyak sisi. Banyaknya system yang diambil dari barat seperti pendidikan, ekonomi dan politik semakin kental mempengaruhi gaya hidup kita yang konsumeris dan tidak kreatif. Bukan soal ketertutupan kita pada perubahan zaman, tapi apapun itu sifat kritis tidaklah boleh ditinggalkan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan teknologi dan pemikiran-pemikiran barat yang masuk ke Indonesia sedikit banyak memiliki dampak yang positif. Tetapi apakah harus kita merubah atau melunturkan semua peradaban lokal kita yang masih relevan dan bahkan lebih baik dibanding peradaban Negara lain.

Selain itu, jiwa patriot atau kecintaan kita pada produk Indonesia pun sudah dikesampingkan. Baik itu produk dalam bentuk benda atau produk dalam bentuk nilai-nilai budaya. Sedikit sekali yang tahu atau mencoba menganalisis kemajuan yang sudah kita peroleh sejak zaman kerajaan, nilai-nilai moral dan keluhuran pekerti mereka. Bahkan penulis sendiri masih merasakan bahwa pengetahuan itu masih terasa dangkal di benak penulis. Untuk itu, mari kita kaji lebih lanjut peradaban yang sudah kita capai terdahulu. Kenapa kita harus menggantinya dengan produk orang lain sementara produk budaya kita sebenarnya lebih relevan dengan keadaan sosio-kultur bangsa kita.

LEK NGISING KUDU NDODOK, BAR NDODOK KUDU CEWOK, CEWOK KI GAE BANYU, LEK GAK GAE BANYU KI JENENGE PEPER, DUDU CEWOK

)* Penulis adalah Aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

ROIS dan IMAM

Oleh: Achmad Rois)*

 

Tidak ada jalan kepemimpinan yang bukan jalan pelayanan (Mario Teguh)

 

Dalam sebuah organisasi, baik besar atau kecil, peran seorang pemimpin adalah sesuatu yang vital. Organisasi yang baik adalah yang mampu memilih pemimpinnya secara tepat. Keluarga sebagai organisasi paling kecil dipimpin oleh seorang Ayah sebagai Kepala keluarga. Begitupun Negara, selalu ada Presiden, Raja, Perdana Menteri atau apapun namanya yang bertindak sebagai pemimpin. Karena pentingnya soal kepemimpinan sampai-sampai Nabi SAW bersabda yang artinya “Apabila tiga orang keluar bepergian, hendaklah mereka menjadikan salah satu sebagai pemimpin. (HR. Abu Dawud)”. Ini membuktikan bahwa Nabi SAW dan Islam memandang sebuah kepemimpinan sebagai sesuatu yang sangat penting, meskipun ada hal-hal lain dalam organisasi yang juga tidak kalah penting dengan kepemimpinan.

Dalam Islam, ada banyak istilah yang berarti pemimpin atau kepemimpinan. Misalnya, al-riayah, al-imarah, al-qiyadah, al-za’amah, wali, khalifah, rois, imam, dll. Semua mengandung arti sinonim yaitu Pemimpin atau Kepemimpinan. Pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas dua dari sekian banyak istilah tersebut. Pembahasan ini akan dilihat dari sisi kebahasaan dalam bahasa arab berikut karakteristik makna asli kata tersebut. Kedua istilah yang akan kita bahas adalah Rois atau Riasah, dan Imam atau Imamah, yang keduanya merujuk pada arti Pemimpin dan Kepemimpinan. Namun kita akan membedakannya secara jeli dan teliti, sehingga nantinya dapat diklasifikasikan menjadi model kepemimpinan.

  • ROIS

Raisun atau Rois berasal dari kata ro’sun yang berarti kepala (manusia). Berdasarkan makna ini tentu sudah dapat kita baca bagaimana karakteristik pemimpin yang menggunakan kata ini. Dalam budaya timur, kepala adalah sesuatu yang terhormat. Beda halnya dengan budaya barat, yang lebih menghormati bokong daripada kepala. Tapi ini hanya soal budaya antara timur dan barat. Lebih jauh kita perhatikan bahwa kepala terletak dibagian paling atas dari anatomi tubuh manusia. Selain itu, di kepala juga terletak hampir semua fungsi panca indera. Jadi seakan akan, kepalalah yang memiliki semuanya.

Kita awali dari kepala yang selalu ingin dihormati. Sifat pemimpin yang seperti ini akan terkesan sebagai raja yang haus akan kehormatan, suka diperhatikan dan selalu ingin mendapatkan pelayanan khusus dari para bawahannya. Letaknya yang di atas adalah simbol keangkuhan dan kesombongan. Pemimpin seperti ini akan selalu menganggap bawahan sebagai hamba yang harus melayani kepentingannya. Bahkan lebih dari itu, dia akan merasa paling mulia dan menganggap semua orang di bawahnya sebagai orang-orang lemah, bodoh dan hina. Asumsi ini bermula dari rasa lengkap dan sempurna, seperti keberadaan lima fungsi panca indera di kepala.

Lantas bagaimana sikap anda jika memiliki seorang pemimpin yang bukan Tuhan tapi merasa seperti Tuhan? Sombong, minta dihormati, dihargai, dipuja bahkan mungkin minta disembah. Namun hal ini akan berbeda dengan kepala yang setiap saat digunakan untuk bersujud kepada Tuhannya. Sujud secara fisik berarti meletakkan kepala sejajar dengan yang diinjak oleh kaki, yang bahkan bokongnya lebih tinggi dari kepalanya. Sujud seorang hamba yang khusuk (dengan hati) akan berimplikasi berbeda pada kehidupan sehari-harinya. Sujudnya seseorang kepada Tuhan berarti merasa ada yang lebih tinggi dan lebih mulia dibanding dirinya. Perasaan ini menimbulkan sikap rendah hati dan tidak sombong, apalagi merasa sempurna. Intinya, semua sifat yang berkaitan dengan ketinggian seperti sombong, ingin dihargai, dihormati, dilayani dan lainnya akan luntur lantaran sujudnya tidak hanya formalitas penyembahan terhadap Tuhan. Tetapi lebih dari itu, yaitu sikap rendah hati dan sadar bahwa ada Dzat yang lebih pantas menerima pujian dan penghargaan.

  • IMAM

Imam atau Imamah berasal dari kata ummun yang berarti ibu. Imam atau imamah dalam bahasa arab juga diterjemahkan sebagai pemimpin atau kepemimpinan. Lantas kenapa kepemimpinan tidak diambil dari kata abun atau ayah, padahal dalam sebuah keluarga yang harus menjadi pemimpin adalah ayah, bukan ibu. Pertanyaan ini tiba-tiba muncul dalam benak penulis, namun jawabannya belum dapat penulis sajikan, karena penulis harus melakukan analisis yang lebih tajam lagi mengenai hal ini. Tetapi apabila pembaca memiliki pendapat atau hasil ijtihad yang dapat membantu penulis dalam menyelesaikan analisis ini, penulis akan sangat berlapang hati dan menerimanya sebagai sebuah respon konstruktif bagi tulisan ini.

Untuk menyelesaikan analisis mengenai model kepemimpinan seorang imam dari sisi bahasa, penulis membutuhkan satu ayat Al Qur’an yang berkaitan erat dengan ini. Yaitu QS. At-Taubah ayat 128, yang atinya “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin”. Ayat ini menunjukkan karakteristik seorang Rasul atau Utusan sekaligus seorang Pemimpin yang sesuai dengan karakteristik seorang Ibu.

Yang pertama adalah “berat terasa olehnya penderitaanmu”, sebagaimana kita ketahui bahwa ada banyak riwayat yang mengemukakan bahwa Nabi SAW adalah Nabi yang tidak pernah ingin melihat kaumnya menderita. Sampai-sampai waktu akan meninggalpun yang Ia sebut-sebut adalah Ummatii, Ummatii, Umatku, Umatku. Dalam konteks kekinian misalnya, adakah seorang ibu yang rela membiarkan anaknya menderita atau berada dalam kesengsaraan.

Kedua, “sangat menginginkan keselamatan bagimu”, konteksnya masih sama, jika seorang ibu tidak ingin melihat anaknya menderita, berarti dia ingin semua anaknya selamat. Ini sudah menjadi hukum positif antara seorang ibu dan anak, meskipun dalam beberapa kejadian tidak terjadi demikian, dan penulis menggolongkan kejadian ini sebagai sebuah gejala yang tidak normal. Karena hanya ibu yang tidak normallah yang menginginkan anaknya celaka.

Ketiga, “belas kasihan”, jika kata ini terlontar, siapakah sosok yang tergambar dalam benak anda. Tentu saja seorang ibu bukan? Mulai dari mengandung sampai merawat kita hingga besar tidak ada satupun yang tidak dilakukannya dengan rasa belas kasihan. Dan yang keempat, “Penyayang”, penyayang dalam bahasa arab memiliki banyak padanan kata seperti rahman, dan rohim. Namun dalam konteks pembicaraan kita kali ini, penyayang diambil dari kata Rahim. Rahim oleh banyak ahli tafsir dimaknai sebagai kasih sayang khusus bagi orang-orang beriman. Jadi dimensinya adalah dimensi ukhrawi. Berbeda dengan konteks Rahman yang berlaku secara umum bagi seluruh umat manusia di dunia ini.

Mari kita persingkat dan perjelas, pemimpin dengan karakter Imamah akan berbeda jauh dengan Riasah. Jika rois cenderung sebagai pemimpin yang haus kehormatan, maka imam adalah yang siap melayani bawahannya dengan belas kasihan. Pemimpin seharusnya tidak pernah mengenal lelah untuk melayani kebahagiaan umatnya atau bawahannya. Bukan mementingkan kekuasaan dan ketinggian derajatnya dimata manusia, meskipun kita sudah membatasi soal ini di depan.

Melalui pembahasan ini, cobalah perhatikan mengapa kepala Negara dinamai roisul jumhuriah bukan imamul jumhuriah, lalu lihat hasil dari penamaan tersebut sementara kita semua tahu bahwa nama adalah doa. Rois bahkan tidak bisa membawa tasnya sendiri, tidak bisa menulis pidatonya sendiri, tidak bisa membawa map, tidak bisa membuka pintu mobilnya sendiri. Mungkin kencingpun ada yang memegangkan dan ada pula orang lain yang mengelap kemaluannya. Sangat besar ternyata pengaruh sebuah nama terhadap sesuatu.

Lalu lihat hasil bagaimana Negara ini dipimpin. Berapa tahun kita tidak pernah disejahterakan. Jadi rois atau imam kah pemimpin kita selama ini? Bahkan nama INDONESIA pun mungkin bermasalah. Mengapa, karena yang dinyanyikan setiap senin pagi adalah HIDUPLAH INDONESIA RAYA, bukan INDONESIA. Jadi wajar kalau INDONESIA tidak pernah makmur, padahal kata raya memiliki makna yang bagus, seperti Jalan Raya, Hari Raya, dan Indonesia Raya. Termasuk slogan INDONESIA TANAH AIR BETA pun harus diganti dengan INDONESIA TANAH AIR KITA SEMUA.

 

)* Penulis adalah Aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

Membaca dan Pendidikan Karakter

Oleh: Achmad Rois

Pendidikan merupakan sebuah ruangan yang luas dengan tatanan perabot dan asesoris yang begitu kompleks dan plural. Di dalamnya masuk berbagai kepentingan dengan tendensinya masing-masing. Kepentingan tersebut adalah alasan mengapa mereka memilih perabotan ini dan asesoris itu. Pilihan merekalah yang nantinya menentukan arah dan jalan hidup mereka ke depan. Jalur sosialkah, politikkah, ekonomikah, agamakah, budayakah, pendidikankah yang akan mereka lalui sebagai jalan untuk mencapai tujuan mereka. Mengapa jalan? Karena semua yang kita kerjakan di dunia ini haruslah menjadi jalan untuk menuai keridhoan Ilahi di Akhirat nanti. Jadi apa sebenarnya tujuan kita? Adalah hidup dengan kebahagiaan jasmani dan rohani dengan makna yang luas. Jadi jika ada diantara kita yang menjadikan segala hal yang bersifat sekular menjadi tujuan, maka segera pikirkan kembali tujuan anda, benarkah anda cukup dengan semua itu.

Kesalahan menempatkan sesuatu pada awalnya, menjadikan kita banyak melakukan kesalahan pada prosesnya. Misalnya, memilih politik menjadi tujuan hidup, itu artinya kita menuhankan kekuasaan. Manusia semacam ini akan rela melakukan apapun demi tujuan yang dia inginkan. Tanpa mempedulikan hak-hak orang lain, membohongi orang lain, dirinya dan Tuhan dengan berbagai aturan yang telah disampaikan-Nya dengan berbagai tanda. Berbeda halnya dengan orang yang memilih kekuasaan sebagai jalan untuk mencapai keridhoan Tuhan. Kekuasaan akan didapatkannya dari kepercayaan banyak orang pada dirinya. Dalam prosesnya dia akan menggunakan kekuasaan sebagai pemuas hasrat yang ia pimpin, kesejahteraan bagi banyak orang, dan amanah bagi dirinya sendiri. Sehingga pada akhirnya, semua yang ia lakukan tidak akan keluar dari jalur-jalur yang sudah disiapkan Tuhan untuk ia lalui sebagai penguasa.

Pandangan di atas bermula dari sebuah proses yang kerap kita dengar dengan nama pendidikan. Sedangkan kecenderungan seseorang dalam melakukan sesuatu akan kita sebut sebagai karakter. Seseorang yang cenderung jujur akan selalu berkata jujur dalam keadaan apapun. Seseorang yang terbiasa disiplin akan terus membawa kebiasaan itu dalam setiap pekerjaan yang dia lakukan. Begitu juga dengan malas, pembohong, belas kasih, rajin, toleran dan banyak lagi lainnya. Karakter merupakan watak, tabiat atau pembawaan seseorang. Atau dalam bahasa arab kita kenal dengan akhlak yang dibagi menjadi dua, yaitu akhlak terpuji dan tercela. Memang dalam defenisinya dikatakan bahwa akhlak atau karakter adalah sesuatu yang dilakukan tanpa campur tangan otak, dalam arti reflek atau spontan. Saya tidak bermaksud menyamakan secara persis antara karakter dan akhlak, tetapi saya mencoba melakukan pendekatan melalui gejala-gejala terbentuknya dua istilah ini dalam diri seseorang.

Kita sering mendengar bahwa ternyata tingkat reflektifitas seseorang itu dapat dilatih. Pemain bola, pembalap, petinju misalnya, tujuan mereka banyak berlatih tentunya supaya menang saat bertanding, tapi selain itu juga untuk meningkatkan reflektifitas mereka. Reflek dalam uraian ini sama sekali berbeda dengan reflek yang saya maksud dalam defenisi sementara dari akhlak ataupun karakter. Karena reflek dalam hal ini lebih pada unsur-unsur jasmaniah atau gerakan tubuh. Sedangkan reflek dalam defenisi akhlak atau karakter lebih mengarah pada prilaku jiwa seseorang dalam melakukan atau menanggapi suatu kejadian.

Berangkat dari alasan tersebut, penulis merasa perlu mengemukakan bahwa karakter atau akhlak seseorang memang dapat dilatih atau dibentuk. Medianya tentu tidak seperti media jasmani seperti yang sudah penulis ungkapkan di atas. Media pembentukan karakter ini dapat kita jumpai dalam berbagai aktifitas. Misalnya, pergaulan sehari-hari dengan teman sebaya disebuah lokus tertentu, pergaulan dengan orang tua di rumah, pergaulan dengan guru di sekolah dan pergaulan dengan teks. Tiga pergaulan pertama merupakan hasil interaksi seseorang dengan orang lain, atau lebih dikenal dengan prilaku sosial. Berbeda halnya dengan pergaulan ke-empat, pergaulan ini cenderung bersifat individual, karena hanya bergelut dengan literasi semata. Pergaulan inilah yang akan kita bahas pada paragraph-paragraph berikutnya, karena eratnya hubungan antara dunia literasi dengan pendidikan.

Pendidikan sejak dulunya tak pernah lepas dari pentingnya tradisi membaca. Baik membaca dalam arti luas ataupun dalam arti yang sempit. Membaca dalam arti luas berarti peka, jeli dan kritis terhadap setiap realitas dan segala sesuatu yang mengundang otak untuk melakukan analisis. Sedangkan dalam arti sempit, membaca adalah bergaul secara inten dengan teks. Bergaul inten berarti bukan sekedar membaca, namun lebih kepada kemampuan untuk menangkap setiap pesan yang tersurat ataupun yang tersirat pada sebuah teks. Sehingga jauh setelah itu, pembaca akan memiliki pemahaman yang mendalam terhadap sebuah teks. Dan yang paling penting, pemahaman dari hasil olah pikir ini mampu menjadi sesuatu yang hidup dalam diri pembaca. Artinya, teks yang dibaca dapat memberikan pengaruh yang signifikan bagi pembacanya.

Lalu apa korelasi antara pendidikan, membaca dan karakter? Secara singkat, penulis berasumsi bahwa pendidikan merupakan salah satu wahana pembentukan karakter. Kemudian membaca (dalam arti sempit) merupakan sesuatu yang sulit dipisahkan dari proses pendidikan. Jadi, salah satu metode pembentukan karakter seseorang dalam proses pendidikan adalah dengan menjalin hubungan secara intim dengan teks atau bacaan. Proses seperti ini akan memberikan kebebasan kepada anak didik untuk memilih karakter mana yang mereka sukai. Anda selaku pendidik hanya perlu mengawasi perkembangan mereka setiap saat, tentu saja dengan bimbingan yang tidak kalah inten dengan semangat mereka membaca. Karena arahan para pendidik yang mencerahkan akan senantiasa mereka nantikan saat kejenuhan mulai hinggap di sela-sela semangat mereka untuk menemukan jati diri.

Namun masalah kembali timbul ketika ada pertanyaan tentang sejauh mana antusiasme peserta didik untuk membaca. Masalah ini sama besarnya dengan masalah kita selaku individu yang enggan membaca. Sementara kita tahu bahwa membaca selalu terasa lebih berkualitas dan nikmat ketimbang menonton film. Pun pula, pengaruhnya terasa lebih hidup dalam jiwa kita ketimbang saat menonton film atau mendengarkan ceramah para guru yang terhormat di depan kelas. Misalnya saat membaca novel, kita akan cepat hafal dan ingatan kita pada karakter tokoh novel yang kita baca akan tertanam lebih dalam di benak kita dalam waktu yang lama. Ingatan seperti inilah yang penulis sebut sebagai teks yang senantiasa hidup dalam diri pembaca. Jadi, alasan ini harus diketahui oleh para pemalas baca, paling tidak ini akan jadi motivasi bagi mereka atau kita.

Lemahnya minat baca kita secara umum, baik anak didik, siswa, mahasiswa, guru dan dosen berakibat pada banyak hal dalam kehidupan kita sehari-hari. Bagi civitas akademik, membaca merupakan kebutuhan pokok. Apabila kebutuhan membaca tidak tercukupi, maka akan terjadi kegersangan intelektual yang luar biasa di dunia pendidikan dalam skala luas. Kegersangan ini akan berakibat buruk bagi kualitas pendidikan di Indonesia. Bagi para pendidik yang berada di bawah panji Lembaga Pendidikan Islam, ada satu hal lagi yang harus mereka perhatikan, yaitu minat baca terhadap kitab suci (Al Qur’an). Karena jarang sekali kita jumpai (di Indonesia) seorang muslim yang membaca Al Qur’an di tempat-tempat umum seperti bandara, stasiun, taman kota, dll. Tidak seperti saudara setanah air kita yang Kristen, mereka terlihat membawa Injil kebanggaan mereka kemana-mana dan membacanya dimana saja mereka punya waktu luang.

Tetapi penulis mencoba berfikir positif dengan hal ini. Mungkin saja Al Qur’an terlalu mulia untuk dibawa kemana-mana, toh umat Muhammad SAW ini punya tata cara tersendiri dalam memperlakukan kitab sucinya yang agung. Jadi cukuplah mereka membacanya di tempat-tempat ibadah mereka yang suci, atau di rumah mereka masing-masing. Dan budaya ini mungkin tidak bisa disamakan dengan budaya umat Kristen yang sangat bangga dengan Kitab Sucinya dimanapun mereka berada. Tetapi, jika umat Islam benar-benar sudah kehilangan budaya membaca dan memahami Al Qur’an, maka bukan hanya kegersangan intelektual yang akan mereka alami, tetapi kegersangan spiritual yang akibatnya akan lebih berbahaya dari hanya kegersangan intelektual.

Melalui tulisan sederhana ini penulis mencoba menyampaikan beberapa hal yang mungkin mulai dilupakan oleh para pendidik secara umum. Bahwa pendidikan karakter melalui teks mungkin akan lebih baik dan memiliki pengaruh yang signifikan ketimbang program pemerintah tentang pendidikan karakter yang belum jelas secara teknis. Belum lagi para guru yang penulis yakin, banyak yang tidak mengerti tentang hal itu. Semakin rumit lagi ketika kita semua tahu bahwa banyak dari pemerintah dan guru sekalipun yang sudah jelas-jelas tidak memiliki karekter. Budaya membaca mungkin akan sedikit membantu menyelesaikan masalah ini, meskipun ini tidak mungkin tuntas. Tetapi paling tidak, dua bahaya laten berupa kegersangan intelektual dan spiritual bisa kita hindari sedikit dan makin selesai.

Buku memang bukan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Tetapi mengapa Firman-firman Tuhan dikitabkan? Bukankan ini berarti bahwa buku itu penting bagi orang-orang yang berfikir?

Tidak mau membaca Kitab Suci berarti tidak peduli pada Firman Tuhan. Dan tidak membaca buku (makna umum dan positif) berarti kita sedang melakukan kejahatan.

Akankah kita biarkan generasi kita mengalami kegersangan intelektual dan spiritual sepanjang masa?

)* Penulis adalah Aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung