Asu! ,, ‘‘ Aku belum juga mampu mengenal-Mu

Asu! ,, ‘‘ Aku belum juga mampu mengenal-Mu

Asu! ,, ‘‘ Aku belum juga mampu mengenal-Mu

Oleh: Achmad Rois)*

Hampir satu minggu penuh kota yang kadang-kadang aku cintai diguyur hujan. Pemandangan yang tadinya indah menjadi semrawut karena angin-anginnya bertiup kencang. Halaman-halaman rumahnya dipenuhi daun dan sampah plastik berserakan. Lantai serambinya berpasir, dindingnya basah, rumput dan lumutnya merambat naik. Sawah-sawahnya dipenuhi air tak bersahabat karena padi-padinya baru ditanam. Sebagian ambruk yang sebagian lagi terendam membusuk. Pupuknya membaur, namun pengaruhnya tak timbul. Air kali ini sungguh tak menjadi sahabat. Memang tak ada yang baik, untuk sesuatu yang berlebihan.

Semua terjadi begitu saja. Harus ada yang mengeluh, kasihan pasukan pengeluh hampir penuh. Sebagaian menuntut keadilan seakan keadilan Tuhan sedang diragukan. Padahal selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Tuhan tak mungkin tak adil, itu sudah jadi sifatnya. Tuhan selalu bisa subjektif, tapi Tuhan juga pasti punya pertimbangan untuk kadang-kadang bersikap objektif. Karena itu mulailah berdoa agar semuanya baik, baik menurut Tuhan, bukan kita. Tuhan memang menjawab semua doa, tapi kita juga perlu tau bahwa kadang-kadang jawabannya adalah “tidak”. Mintalah beliau mengabulkan doamu, bukan hanya menjawabnya. Tapi tenang saja, Beliau memang selalu mengabulkan semua doa, yakinilah!

Jika suatu saat kita harus terjebak pada beberapa pilihan. Kita tetap harus dan akan memilih. Meskipun sebenarnya memilih pada akhirnya hanya menjadi sebuah beban. Tapi dalam hidup, tak ada sama sekali yang dapat kita lakukan selain “memilih”. Tekanan kehidupan selalu mengharuskan kita demikian, mengharuskan kita untuk tetap memilih. Meskipun bila akhirnya kita memutuskan untuk tidak memilih. Itu adalah sebuah pilihan, pilihan untuk tidak memilih. Tapi yang jelas, setiap sesuatu yang kita pilih adalah sebuah jalan penuh misteri yang mengantarkan kita pada tanggung jawab.

Kehidupan kadang menjadi sesuatu yang sulit dimengerti. Entah dengan alasan apa seseorang tiba-tiba berlaku baik pada kita, padahal se-jam yang lalu dia baru saja meludahi wajah kita dengan teriakan keras; “anjing”. Tapi anjing bukanlah simbol terburuk, bahkan di Amerika lebih dari sepertiga penduduknya lebih menyukai anjing daripada pasangannya sendiri. Tapi disini aku tak kenal anjing, aku hanya kenal ‘asu’, kata yang memiliki arti sama, namun harus diucapkan dalam bahasa jawa yang kasar. Tak bermakna banyak jika diucapkan tanpa intonasi tinggi. Tanpa ekspresi serius atau raut muka yang sulit ditebak. Kadang sapaan lembut, kadang amarah yang terpaksa ditahan. Aku sangat menyukai kata ini, jadi tak heran jika hampir setiap hari aku tak lupa menyebutnya. Apa kata orang tentangku sama sekali tak akan merubah pendirianku, pendirian bahwa aku benar-benar sangat menyukai kata ini; ‘asu’.

Habitnya – asu yang kurang baik memang cukup saya mengerti. Memakan mangsa tanpa membunuhnya terlebih dahulu, tak seperti binatang pemburu yang lain. Digerogoti satu persatu anggota tubuhnya, tergantung mana yang dia sukai. Tapi bukan berarti manusia seperti kita lebih baik dari ‘asu’. Kita kadang lebih suka merusak tatanan yang rapi, bukan justru menjaganya. Memang, sebenarnya kita yang membuatnya, tapi bukan berarti kita boleh merusak apa yang kita buat begitu saja. Selalu lebih mudah membuat daripada menjaga.

Tak lengkap rasanya tulisan ini tanpa kritik. Sosial diciptakan berkelas-kelas bukan berarti untuk didiskriminasi. Aturan diciptakan begitu rumit memang tidak sepenuhnya untuk ditaati. Tapi paling tidak aturan dibuat harus untuk dihargai, tapi saya sedang tidak berbicara tentang aturan Tuhan. Terlalu absurd dan terlalu dangkal pemikiran saya tentang aturan Beliau. Beliau menciptakan semua yang teratur, kita hanya menemukan aturan itu. Jadi jangan pernah terlalu sombong berkata “saya yang menciptakan aturan itu”. Karena tak mungkin kita mampu menciptaan aturan mata yang melihat, pergelangan bisa berputar, sendi-sendi bergerak, rumput-rumput tumbuh dan cabe matang lambat laun berwarna merah. Hakikatnya kita hanya menemukan aturan, bukan menciptakannya. Karena itu kita sering temui kata karunia. Karunia adalah kasih sayang Tuhan yang diberikan kepada makhluk. Seperti memberikan mata sekaligus fungsi-fungsinya; untuk melihat. Tuhan Maha Penyayang, karena itu Tuhan juga Maha Memberi, dan kitapun (dalam kapasitas sebagai makhluk) tak mampu menyayangi sesama makhluk tanpa memberi. “Subhanallah”.

)* Penulis adalah aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

Iklan

HANYA TENTANG PERJALANAN TAK SIA

Sunyi seperti sabda,

Begitu nyata tentang ada,

Begitu hampa tanpa tanda,

Alampun tak jua ada tanpa tiada,

Api juga tak membara meski air telah kehilangan makna,

Betapa jeram, betapa tak dalam tentang hampa tanpa ketudukan dan kearifan segala.

HANYA TENTANG PERJALANAN TAK SIA

Hari itu langkah pasti terayun turuti kemauan hati. Tak ada kata terindah selain “aku harus pergi”, ini bukan untuk guru atau siapapun yang pernah melantunkan beberapa tuntutannya padaku. Ini adalah tentang kebutuhan jiwa dan hati. Bukan tentang cinta yang saat ini hampir telah kehilangan makna suci dan basi. Kerikil dan aspal penuh duri kembali menuntun kami pada keringat busuk tak peduli. Kejenuhan dating namun tak hirau oleh kami. Satu persatu kata terucap untuk sekedar menghibur diri. Tapi biarlah, kadang-kadang kelaparan bukan kita yang hanya sandang. Letih menyelinap diantara roda-roda jeruji dari lempeng yang entah apa, aku tak tahu. Kubiarkan semuanya hanya terlarut seperti debu. Juga kalbu dan hantu, ku biarkan mereka mengelilingi seluruh lapisan keras didalam kepalaku, tapi tak urung aku punya niat untuk mengusirnya, agar terlihat syahdu.

Kicauan burung sering kali dijadikan pertanda bagi mereka yang percaya itu ada, tapi bagi mereka yang tidak, biarlah, keduanya bukan masalah kita. Ada atau tidak itu adalah masalah yang sangat sulit untuk selesai dibahas. Tapi yang jelas sesuatu yang ada pasti berasal dari yang ada pula. Kelembaban tahah barangkali adalah sebuah pertanda becek. Keluarnya semut dari lorong-lorong tuanya mungkin sebuah pertanda. Peranda tentang hujan yang sebetar lagi akan turun. Lalu apa pedulinya bagi mereka yang sedang duduk-duduk santai ditaman kota atau beberapa tempat rekreasi lainnya di kota dan musim yang sama pula. Sama sekali tak ada. Hujan pun mereka tak akan risau, toh atap mobil cukup untuk mereka berteduh. Tapi tidak dengan hati mereka yang terus saja gaduh. Kenapa harus hujan padahal kesenanganku adalah kecerahan, katanya. Kakekku seorang petani yang bergantung sepenuhnya terhadap musim dan matahari. Jauh sekali bedanya dengan mereka yang sengaja menggantung dirinya dengan dasi. Membebani diri tanpa kesenangan, sampai mati.

Aku kadang-kadang suka mencuri, apa pun, apa saja yang ku cari. Tapi kusadari semuanya bukanlah jalan, melainkan kebuntuan. Aku pernah berkenalan dengan mereka yang suka mencuri, mereka bilang itu adalah hal yang paling menyenangkan, bayangkan saja jika mengambil mainan kunci dari sebuah toko accessories kemudian keluar tanpa mendengar alarm berbunyi. Aku melupakan sesuatu bahwa perjalanan adalah keinginan untuk secepat mungkin berhenti. Dan perjuangan adalah cara tercepat untuk segera mati. Kuncinya adalah tentang jati diri. Menjadi selesai akan membuat kita berhenti sampai disini. Seperti saat seorang penulis mengakhiri puluhan kata-katanya dengan titik dan huruf yang dibaca mati.

Aku kadang sering bertanya pada diriku sendiri kenapa dan apa pentingnya mengaji. Aku sering melihat keanehan tak terpecahkan dan tak ku mengerti, bahkan sampai saat ini. Tapi aku tahu, aku memang masih terlalu bodoh dan dini untuk hal sesulit ini. Kadang aku melihat didalam kitab suci hanya tumpukan kata tanpa arti. Tapi mungkin susunannya membuat kita sedikit mengerti.

Mengapa harus “bismi” awalnnya, dan mengapa pula harus “an-nass”. Ah… aku benar benar semakin tak mengerti. Atau barang kali hubungan sepenuhnya adalah tentang ilahi dan insani. Mengawalinya dengan penyerahan diri, dan melegitimasikannya dengan tindakan manusiawi. Ini benar-benar hal paling masuk akal menurutku. Baiklah kalau begitu, tapi masih ada yang lain.

Seperti ritual suci yang kadang pernah juga aku langgar. Mengangkat tangan tanda menyerah dan meletakkan dahi ditanah. Kemudian mengakhirinya dengan ucapan selamat. Apa aku terlalu jarang berfikir sehingga aku harus mengucap kata “tak tahu”. Untuk makna yang tak urung membuat begitu banyak makhluk terharu. Ternyata hubungan manusia terbaik adalah pada pencipta dan makhluknya. Diawali dengan ketundukan dan dibarengi dengan pengamalan.

Tak ada ternyata yang paling pantas disebut Tuhan. Kecuali yang sering kita namai Tuhan itu sendiri. Terlalu banyak tuhan yang saat ini harus rela disembah, tunduk pada Negara berarti menyembah Negara, tunduk pada Aturanya kadang berarti tak mengerti kenapa hal rumit itu harus dipatuhi. Kita yang muda dan nakal ini terlalu sering berkata lancang karena memang itulah tabiat kami. Mereka yang mahasiswa itu mengangap semua tema aturan termasuk Negara adalah Musuh besar yang harus dimusuhi. Kata mereka yang suka demo itu mereka tak ingin potensi individunya diburu lalu dibunuh. Karena mereka adalah musuh seragam lusuh yang tak pernah dicuci bahkan untuk sekali seminggu. Ini juga adalah perjalanan untuk berhenti.

Perjalanan juga kadang diartikan pembacaan. Membaca situasi yang akhirnya harus dilaksanakan dalam bentuk program oleh organ-organ. Terlalu sistematis, aku tak suka. Aku lebih suka ngawur dan semauku karena itu memang dasar dari tabiat dari keseharianku. Membaca pasar untuk dagangan agar cepat laku, membaca buku untuk ujian, membaca peta untuk bepergian, membaca tindakan untuk sebuah bahasa yang tak begitu saja mudah diartikan. Tapi semuanya tetap saja namanya membaca.

Tentang tanda, tentang ada, tentang kemaren dan esok seperti dalah kitab suci saja. Tapi benar semuanya memang ada disana. Nabi terakhir itu dulu tak bisa membaca tulisan. Tapi mambu membaca situasi dengan baik sehingga berhasil menciptakan peradaban yang baik pula. Kita saja kan yang sebenarnya telah merusaknya. Dengan emosi dan amukan-amukan yang sebenarnya tak pernah pantas dikatakan berarti.

Berarti orang punya alasan khusus masing-masing untuk dapat mengerti. Ya…seperti membaca contohnya. Aku adalah pembenci matematika. Alajabar terutama. Tapi disisi lain aku sering memberikan motivasi terhadap mereka yang sehati denganku, juga pembenci matematika. Aku katakan bahwa belajar aljabar adalah untuk sebuah perburuan binatang liar. Menatap soal adalah mulai masuk kehutan yang lebat, tapi bukan berarti tak bisa ditaklukkan. Yah…seperti berburu binatang liar yang kita bahkan tak tahu namanya. Maka dari itu mungkin pencipta rumus-rumus memberinya nama “x” yang artinya “belum diketahui”, bukan tidak diketahui. Lalu setelah perburuan selesai kita dapat melihat binatang itu kemudian kita memberinya nama yang tepat.

Ternyata menjalani hidup adalah tentang bagaimana menbaca. Hidup juga kumpulan dari banyak kata-kata yang secara tepat harus segera kita ketahui maknanya. Kata kuncinya “Hidup adalah tentang Kata dan Makna”. Membaca membuat kita tahu apa yang kita inginkan. Membuat kita mengikuti keinginan yang kita butuhkan. Dan mendapatkan apa yang kita butuhkan. Simple saja konsepnya. Tapi tak jarang orang sering lupa apa isinya kehidupan. Kalau begitu, hidup adalah tentang Demi dan Untuk. Demi siapa? Dan untuk siapa? Atau apa?

Begitulah jika hidup adalah untuk sebuah kata. Sebuah perjalanan. Sebuah pertanyaan yang jawabanya tak ada. Temukan saja paku yang tadi terjatuh dan bengkok kemudian luruskan kembali dan tancapkan lagi. Jika gagal, ulanglah lagi. Tapi jangan dengan cara yang sama Karena jika tetap dengan cara yang sama, engkau akan tahu hasilnya terlebih dahulu sebelum engkau melakukannya lagi. Gagal.

Bosan aku setiap hari mengaturmu, padahal aku bukan orang tuamu. Pemerintah ataupun aparat aroganmu. Biarlah apapun yang ku tulis ini menjadi saksi bahwa nanti pada akhirnya aku tetap harus mati. Pedasnya cabe, manisnya gula hanya akan terasa saat kedunya tersiksa. Wanita pencinta tak lupa setiap hari mengirim surat untuk kekasihnya. Setiap saat membaca surat dari kekasihnya. Dalam hitungan hari jika kekasihnya mati. Dia sudah melupakan bahkan namanya.

Tak ada ternyata yang sempurna. Yang sempurna ternya hanyalah kesempurnaan itu sendiri. Tak ada yang abadi. Yang abadi hanya perubahan. Tak ada yang sunyi. Karena kesunyian adalah diam dalam keramaian. Tak ada yang gelap meskipun kata itu disebut. Yang ada hanya kekurangan cahaya sehingga redup dan akhirnya menggelap, tapi sekali lagi tak ada yang gelap.

Pada akhirnya hidup adalah tentang memaknai kesendirian. Karena hidup adalah sendiri. Dalam kandungan kita sendiri. Dalam kubur kita sendiri . Dan harus bertanggung jawab kepada Tuhan dari apa yang kita perbuat juga sendiri. Oh…lebih baik sendiri.

SURAT CINTA UNTUK SAHABATKU,


Sahabatku,

Kenalilah musim hujan yang basah, musim kemarau yang meranggaskan daun-daun disepanjang hari, musim dingin yang membuat paru-paru kita sesak dan lumut-lumut enggan untuk tumbuh, musim gugur yang tak memberi peluang pada daun, bunga dan buah untuk bergelantug pada ranting yang rapuh, karna cintaku akan bersemi di musim apapun, tak layu, tak mati, juga tak musnah

Kenalilah gelisah angin di antara buluh-buluh bambu yang meliuk ke kanan dan ke kiri, tanpa arah, tanpa tuju yang pasti, betapa menderitanya mereka jika harus hinggap pada karang yang kokoh tak goyah dan menggemerisik di antara sunyi karena ada bisikan tentang gelisahku, kegelisahan tentang rinduku

Ketika senja turun di bukit-bukit tak berpenghuni, ada rona yang dilukiskan pada latar langitnya, cahayanya cerah merona bagai fajar, namun harus mengalah pada senja jika waktu itu tiba, merah membara dan kadang-kadang lembayung

Kemudian tugasmu adalah mengenali warna yang disapukan mereka dari rinduku.

Sahabatku,

Malam-malamku adalah catatan tentang cinta, goresan diatas palipis dan lengan-lengan lebam yang biru, serta pada langsat pipi kerudungmu, dinginnya malam menghangatkan jiwa dan memberi aroma rasa pada jejak kaki purnama yang tenggelam di antara awan dan bias-bias bintang, aku juga jejak kaki masa  dan aku juga ingin terbenam bersama cinta yang kau bawa

Mengingatmu membuatku mengerti tentang alam

Bahwa engkau adalah jelmaan keindahan Tuhan berbentuk perempuan, bening matamu seperti telaga yang memberi kedamaian, sedang kerudungmu adalah cahaya yang tak pernah berhenti bersinar, dalam jiwamu ada banyak keindahan yang tak bisa kusebutkan

Mengingatmu membuatku sadar

Betapa aku terlalu mengharapkanmu hadir disetiap mataku terbuka, dan tertutup kemudian ketika aku kembali terbentur kedinding kesunyian, disitu aku ingin engkau hadir sebagai pemecah kensunyian dan penghidup suasana, bukan hanya bisikan angin malam yang singgah dan lewat ditelinga

Saat aku terjatuh ditikam gelora rindu, jeritku menyeruak kalbu menyumpah serapah pada waktu mengapa hari harus begitu cepat berlalu, kuamati detak detik jarum jam sepertinya teramat lambat berputar, ingin kuputar, kupacu jarak dan ruang sang waktu membuatnya kembali

Sahabatku,

Meski terasa begitu lama aku akan selalu setia menanti rembulan yang senantiasa kurindu untuk menyinari ruang disetiap bilik kalbuku

Laksana diamnya karang, inilah kesendirian yang panjang, melampaui segala rasa, semenjak kau memilih jalan yang berbeda, kebekuan yang kini kurasa, hanya engkau yang bisa meluluhkannya

Andai kau tahu sebanyak apa aku merindukanmu…

Sebanyak gerimis yang turun dari langit, andai kau ada disini, letakkanlah tanganmu di atas dadaku kemudian hitunglah berapa detaknya, sebanyak itulah namamu selalu kuagung-agungkan

Dari banyak waktu yang kita habiskan di“KUIL CINTA”, engkau nenyebutnya, tempat dimana kita berbagi suka, duka, senyum, tawa, canda, bahkan tangis sekalipun disana

Aku senang melihatmu tersipu malu, lalu ku ajak kau berenang, tenggelam di kolam kebahagiaan, di tepinya kita bergurau canda menggelitik mesra, merajut tawa dalam suka, meredam duka dalam hampa bersama, menebar asa bersama, bahkan tak jarang mengundang tangis juga bersama

Kemudian waktu terus berpacu, terus melaju dan tak mungkin kembali, tapi sampai saat ini aku masih berharap sampai habis suaraku berteriak

Aku akan belajar mengenalmu, belajar mengertimu, menjadikan diri ini orang terbaik untukmu, mewujudkan impianmu, meyampaikan harapmu, dan mandatangkan kebahagiaan milikmu

Aku,
Untukmu s’lalu sahabatku,

“HATI-HATI” KARENA HIDUP INI ADALAH ONGGOKAN DURI YANG ADA BUKAN DITENGAH JALAN”.

Oleh : Achmad rois, Jiwa yang sedang berusaha menjadi pengertian baik