JAWA ADALAH ISLAM

Oleh: Achmad Rois)*

Pengantar Identitas

Minggu lalu, “penidur bodoh” ini sudah berbicara tentang peradaban yang kian mengurangi nilai adab itu sediri. Adalah ketika kemajuan zaman dimaknai sebagai ombak besar yang meng-erosikan nilai-nilai luhur budaya lokal dan religiusitas penduduknya. Pada kesempatan yang di-Rahmati Tuhan ini, penulis akan mengundang Anda menggunakan logika paling sederhana bahwa “lampu hanya akan diletakkan di tempat yang gelap atau paling gelap”. Tulisan ini akan berjalan cukup lama dan panjang, jadi jika Anda tidak siap untuk menerima konsekuensi ini, tinggalkan dan carilah tulisan lain untuk dibaca.

Hari ini, saat saya menulis, saya adalah orang Indonesia yang sedang sangat mencintai kewarganegaraan saya, meskipun saya sendiri tidak begitu yakin apakah Negara dan Bangsa ini pantas mendapatkan cinta saya. Kemudian, saya adalah orang Jawa (etnisitas) yang sangat menjunjung tinggi keluhuran budayanya secara filosofis maupun religius. Dan di sisi lain, agama saya adalah Islam, karena di KTP saya tertulis begitu.

Jawa dan Islam dalam Idealitas

Berbicara mengenai budaya Jawa, berarti mengarungi budaya penuh simbologi dan mitologi. Jawa memiliki sejuta, bahkan lebih, simbol-simbol dan mitos yang penuh dengan makna filosofis. Simbol-simbol dengan makna filosofis ini yang selanjutnya akan kita sebut dengan “Falsafah Jawa”. Falsafah Jawa ini juga terkait kepada budaya spiritual orang Jawa yang mulia, yang kemudian menjadi falsafah hidup mereka. Pada tulisan ini akan saya ketegahkan beberapa saja dari keluhuran falsafah Jawa, karena saya memang tidak tahu begitu banyak, tapi saya akan terus mencarinya, meskipun usaha saya tidak akan pernah selesai karena memang begitu kayanya falsafah hidup Jawa yang mulia ini.

Falsafah Jawa yang sangat terkenal dan menjadi landasan aksara Jawa adalah “HA-NA- CA-RA-KA”. Ha-na artinya ‘nyata ada’, mengiaskan ilmu kasunyatan. Dalam epistemologi modern pengetahuan ini dikenal dengan Realitas atau Pengalaman Empiris. “CA-RA-KA” mengandung aksara yang menyiratkan kata cipta-rasa-karsa, yakni salah satu sumber kelengkapan hidup manusia. “DA-TA-SA-WA-LA”, mengiaskan dzat yang data-sawala, yakni dzat yang tidak pernah salah dan tidak pernah bisa salah, yaitu Dzat Tuhan. Tuhan memberi manusia beberapa sifatnya, yaitu sifat baik dan buruk. Kedua sifat tersebut sama kuatnya, “PA-DHA-JA-YA-NYA”, sama jayannya. “MA-GA-BA.THA-NGA”, Ma, menyiratkan kata ‘sukma’, dan Ga, menyiratkan kata angga (badan). Maksudnya, jika Sukma masih bersatu dengan badan, manusia itu masih hidup, tetapi jika sukma telah meninggalkan badan, manusia itu mati, tinggal ba-tha-nga yaitu bangkainya, dan sukmanya kembali kepada Tuhan.

Falsafah Jawa selanjutnya adalah sikap mental atau keadaan batin yang ideal menurut orang Jawa. Orang jawa memahami bahwa unsur sentral cara bersikap dalam kehidupan mereka ada rila, nrimo dan sabar. Sikap ini yang akan melandasi sikap orang Jawa dalam menghadapi segala hal. Rila disebut juga dengan eklas, yaitu kesediaan menyerahkan segala milik, kemampuan, dan hasil karya kepada Tuhan. Nrima berarti merasa puas dengan nasib dan kewajiban yang telah ada, tidak memberontak, tetapi mengucapkan terima kasih. Sabar menunjukkan ketiadaan hasrat, ketiadaan ketak-sabaran, dan ketiadaan nafsu yang bergolak.

Sikap pertama, yaitu rila atau eklas, dalam Islam juga dikenal dengan sebutan Ikhlas. Ikhlas secara etimologi berasal dari kata Kholasho yang berarti bersih, tiada bercampur. Kemudian Khollasho dengan lam yang ditasydid berarti melepaskan, dan isim faa’ilnya adalah Khoolisun yang berarti yang bersih, yang murni. Defenisi etimologis ini mengantarkan kita kepada sebuah pemahaman bahwa dalam memberikan sesuatu kita harus “bersih”. Bersih yang pertama adalah bersih yang kita berikan. Artinya, yang kita berikan adalah sesuatu yang harus berada dalam keadaan baik dan halal, jika konteksnya Islam disebut dengan “halalan thoyyiba”. Kemudian bersih yang kedua berarti murni, yaitu melepaskan segala sesuatu yang membuat kita mengharapkan balasan dari orang yang kita beri. Jadi, Ikhlas adalah melakukan atau memberikan sesuatu hanya karena Tuhan, dan tidak mencampuri tujuan tersebut dengan tujuan lain seperti, penghargaan dari orang banyak, popularitas politik, penghormatan dan lain-lain. Dan implementasi falsafah ini dalam tradisi jawa disebut sepi ing pamrih.

Sikap selanjutnya adalah nrima, yaitu bentuk rasa syukur dan kepasrahan total terhadap apa yang telah ditakdirkan Tuhan. Dan dalam agama yang tertulis dalam KTP saya tadi diajarkan bahwa manusia harus percaya pada Takdir Tuhan (rukun Iman), kemudian harus bersyukur terhadap nikmat yang deberikan Tuhan. Perintah untuk bersyukur ini begitu seringnya saya dengar disetiap pembukaan Khutbah Jum’at, Ceramah-ceramah keagamaan dan dibanyak forum lain yang pernah saya ikuti. Saya tidak pernah bertanya kepada mereka kenapa kita harus bersyukur, tapi ketika saya mencoba untuk tidak bersyukur sehari saja, betapa sedikitnya keberkahan yang saya terima saat itu. Kemudian saya putuskan untuk mengambil kesimpulan bodoh bahwa “saya memang harus berterimakasih, meskipun saya tidak tahu atau bahkan tidak percaya bahwa ada yang memberi sesuatu untuk saya, dan saya nikmati itu”.

Dalam kaitanya dengan Tuhan, falsafah Jawa mengajarkan kita untuk bersikap nerima ing pandum, yakni menerima dengan sumeleh terhadap pemberian Tuhan. Tapi sikap ini tidak dapat digolongkan kedalam sikap fatalistik. Penganut fatalistik percaya bahwa semua kejadian sudah diputuskan dan ditetapkan oleh Tuhan pada permulaan wujud, sehingga usaha-usaha manusia tidak dapat mengubahnya. Dalam konteks Islam, “sesungguhnya Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka sendiri yang mengubahnya”. Ini berarti bahwa campur tangan atau usaha manusia tetap saja dibutuhkan dalam menjalani takdir yang sudah ditetapkan. Selain ayat ini, banyak lagi ayat lain yang menggunakan retorika tersirat bahwa manusia tetaplah harus berusaha, meskipun pada akhirnya Tuhan juga lah yang akan menentukan semuanya.

Masih senada dengan syukur atau nrima, Jawa mengenal istilah urip manungsa pinasthi ing Pangeran, hidup telah ditakdirkan, tapi tidak berarti kita hanya diam. Orang Jawa memaknai hidup adalah senantiasa bergerak, jika orang hidup hanya diam, berarti sama saja dengan mati. Adapun watak nrima sebenarnya tetap disertai usaha terlebih dahulu, baru kemudian pasrah dan sumarah. Pasrah adalah kondisi tunduk takluk pada takdir, ibaratnya tangan tengkurap, merunduk. Sedangkan sumarah adalah berserah diri dengan cara mengulurkan tangan. Dengan kata lain nrima tidak berarti hanya berdiam diri seperti menunggu datangnya embun pagi. Ini menjadi menarik ketika makna Islam itu sendiri juga berarti pasrah dan tunduk. Jadi, orang Jawa sebenarnya sudah Islam bahkan sebelum Islam itu sendiri datang ke Jawa.

Falsafah sabar tentu juga sudah sangat jelas, baik secara etimologi jawa maupun Islam. Sifat ini begitu mulianya, sampai Tuhan dengan sangat berani berfirman bahwa Dia bersama orang-orang yang sabar. Selain itu, Tuhan juga memerintahkan kita untuk meminta pertolongan dengan sabar dan sholat. Ada banyak tafsir mengenai hal ini, tapi secara garis besar, Tuhan menyayangi orang yang sabar, dan tanpa kesabaran, sholat hanya akan berada pada koridor yang formal, tanpa ruh dan tanpa penghayatan.

Falsafah lain yang juga penting dalam epistemologi Jawa adalah “sak bejha-bejhane wong luwih bejho wong kang eling lan waspodho”. Kalimat ini selalu mengingatkan saya pada sebuah stasiun radio swasta yang berada di daerah timur kota Tulungagung, Ngunut. Kalimat ini sering sekali saya dengar ketika ngopi di kantin PPHM. PPHM adalah tempat dimana saya sangat suka dan lebih memilih tidur pulas ketimbang ngaji kitab kuning. Tapi saya tetap mencintai tempat ini, karena saya pernah tinggal dan tidur di sana beberapa hari.

Kembali pada falsafah di atas, Eling menjadi perwujudan hidup yang berdimensi vertikal (transendental). Jadi yang dimaksud dengan eling ini adalah senantiasa ingat pada Tuhan sebagai Maha Pencipta, dan eling terhadap hakikat diri manusia itu sendiri. Dalam Islam, sholat juga berarti dzikir atau senantiasa mengingat dan berserah diri pada Tuhan. Dan dalam ayat yang lain, sering sekali kita dengar bahwa “man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu”. Waspada adalah watak kehati-hatian, yang berdimensi horizontal. Waspada mengindikasikan watak dasar manusia Jawa yang melaksanakan segala sesuatu berlandaskan situasi kontekstual. Hal ini juga akan merujuk pada pemikiran yang selalu tanggap pada kejadian-kejadian di sekelilingnya. Segala kejadian akan turut menentukan tanda-tanda hadirnya takdir, karena itulah perlu diwaspadai agar hidupnya aman, tenteram dan damai.

Dalam pengembaraan orang Jawa guna mencari Tuhan, mereka mengenal banyak istilah, seperti “mati sajroning urip, sangkan paraning dumadi, dan manunggaling kawulo Gusti”. Orang Jawa juga mempunyai pandangan bahwa hakikat Tuhan itu memiliki sifat dan afngal. Sifat Tuhan itu Esa, tak ada yang menciptakan. Ini senada dengan Surat Al-Ikhlas, Dialah Tuhan yang Maha Esa, Tidak beranak dan diperanakkan. Sedangkan Afngal berarti Tuhan itu tidak dapat dilihat dan tidak berwujud. Orang Jawa juga sangat percaya dan yakin bahwa ada Dzat di luar diri mereka yang lebih Kuasa di atas segalanya. Sama seperti orang Islam yang juga yakin bahwa Tuhan adalah Dzat dengan segala Kesempurnaanya.

Orang jawa juga mengenal istilah manungsa utama yang dalam Islam disebut dengan insan kamil. Untuk mencapai taraf ini, orang Jawa mengenal proses ajur ajer yang dalam istilah tasawuf disebut fana, yaitu menganggap diri ini tidak ada, hanya Tuhanlah yang Maha Ada. Karena itu orang Jawa selalu menyikapi hidup dengan penuh keyakinan bahwa hanya Tuhanlah yang kekal dan abadi. Dunia bathin ini dimanifestasikan dalam istilah “menyang donya mung mampir ngombe”. Meskipun demikian, hidup yang sementara ini tidak dijalani dengan hanya berpangku tangan, tapi dengan perjuangan dan proses. Mereka memahami bahwa hidup adalah perjalanan dari tiada, ada, ke tiada lagi. Kerena mereka memahami bahwa hidup sudah ditentukan, dan hidup hanya untuk sementara, maka orang Jawa tidak menjalani hidup ini dengan ngaya (ambisius). Hati mereka merasa tenang dan menyikapi hidup sebagai cakramanggilingan, yang artinya berputar dari waktu ke waktu, menuju kesempurnaan.

Catatan Akhir

Tulisan ini akan bertambah panjang jika saya terus menyebutkan lebih banyak lagi falsafah Jawa yang mulia dan relevan dengan ajaran Islam. Ada sejuta bahkan lebih banyak lagi mitologi dan simbologi jawa yang lain, dan yang sangat berharga dalam kajian ini. Namun itu menjadi tugas Anda untuk menggali kekayaan tradisi Jawa lebih lanjut, karena saya meletakkan kajian ini sebagai pengantar pengetahuan kita tentang mulianya produk manusia Jawa sebelum peradaban Islam datang ke Indonesia secara umum dan Jawa khususnya.

Kajian ini terlihat menyamaratakan antara Jawa dan Islam. Dan saya akan sangat tidak setuju dengan statemen tersebut. Jawa tetaplah etnis, dan budaya yang dilahirkannya tetap saja ciptaan manusia. Sedangkan Islam adalah Agama, dan segala sistem dan nilai yang diajarkannya berasal dari Keagungan Tuhan yang mempercayakan Agama tersebut disosialisasikan oleh Muhammad SAW. Muhammad sendiri bukan orang Jawa, beliau kita kenal berasal dari bangsa Arab dari keturunan suku Quraisy.

Melalui pengetahuan ini, akan saya tanamkan kepada Anda bahwa Anda sebagai orang Indonesia pada umumnya, dan khususnya orang Jawa, harus berbangga hati karena Nabi Muhammad SAW yang dimuliakan Tuhan itu tidak lahir dari suku Jawa atau bukan orang Indonesia. Mengapa ini perlu dipahami? Saya sangat prihatin ketika ada beberapa orang dari kita yang merasa minder memeluk Agama Islam hanya karena Nabi Muhammad SAW bukan orang Jawa. Perlu diketahui bahwa Islam bukan hanya milik orang Quraisy, Islam adalah rahmatal lil ‘alamin. Kitabnya, Alqur’an berlaku sepanjang masa dan untuk siapa saja, meskipun Tuhan terkadang diskrimintif dalam ayat-ayatnya, seperti ketika memanggil “hai orang-orang yang beriman, bertakwa, berpikir, kafir dan panggilan-panggilan lain yang secara spesifik ditujukan pada orang-orang tertentu yang Dia kehendaki”. Tapi dalam banyak ayat, secara tegas Tuhan memanggil “hai manusia”, yang berarti tanpa ada batasan suku, agama, kewarganegaraan, warna kulit, status sosial dan status-status lain.

Keprihatinan kedua adalah ketika saya mendengar begitu banyak orang mengagung-agungkan orang arab, bahasa arab dan Nabi Muhammad yang berasal dari arab. Sehingga seakan-akan hanya orang Islam dari arablah yang Islamnya paling sempurna. Sampai budayanya pun dibawa-bawa sebagai identitas Islam yang ada di jazirah selain Arab, termasuk Indonesia. Seperti jubahnya, surbannya, gaya bicaranya dan banyak lagi Arabisasi yang diberhalakan. Saya tidak terlalu suka dengan paham semacam ini, dan setelah saya menelusuri sedikit demi sedikit keluhuran budaya Jawa sebelum datangnya Islam ke Indonesia, saya justru lebih tidak suka lagi. Saya merasa bahwa Tuhan menetapkan saya sebagai orang Jawa yang mengenal Islam-nya Muhammad SAW, supaya saya menjadi orang Jawa yang Islam seperti Islam-nya Muhammad. Dan saya sangat yakin bahwa Tuhan memang menginginkan saya menjadi orang Islam Indonesia, bukan orang Islam Arab. Tapi kalaupun Tuhan menghendaki saya mempelajari budaya Arab dan Bahasa Arab, itu hanya untuk menjadikan saya sebagai manusia Indonesia, bukan menjadi orang Arab pula.

Selanjutnya, setelah kita cermati keluhuran materi-materi Jawa dengan segala mitologi dan simbolnya. Secara kasar, dapat kita simpulkan bahwa orang Jawa secara umum memiliki kesadaran yang sama dalam hal pencarian Tuhan, seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS dalam usahanya mencari Sang Pencipta. Dan orang Jawa melakukan itu dengan sangat hati-hati dan penuh kesungguhan. Dari sisi Akhlak, kemuliaan akhlak orang Jawa banyak sekali dicerminkan dari cara orang Jawa menyikapi kehidupan. Dan kepercayaanya terhadap hal-hal ghaib, termasuk hari akhir atau hari setelah mati juga digambarkan dalam banyak persepsi falsafah Jawa.

Sebagai pembanding, mari kita kenang kembali pengetahuan kita mengenai sejarah pra-Islam di jazirah Arab yang sering dibangga-banggakan orang itu. Singkatnya, peradaban masa itu sangat-sangat buruk dan keji. Barulah ketika Islam datang dan membawa pencerahan dimasa kegelapan itu, peradaban mulai berangsur membaik dan kian membaik sampai pada klaim Makkah al Mukarromah dan Madinah al Munawwaroh.

Sampai di sini, jelaslah sudah bahwa keadaan pra-Islam di Jawa sangat berbeda dengan keadaan pra-Islam di Arab. Untuk sekedar mengingatkan, sering sekali kita dengar puji-pujian terhadap Nabi Muhammad, “anta samsun anta badrun”, yang mengindikasikan bahwa Muhammad adalah Cahaya Peradaban. Sampai di sini sudahkan Anda mampu menangkap pesan yang ingin saya sampaikan bahwa “Lampu hanya diletakkan di tempat yang gelap, atau paling gelap”. Maka dengan sangat percaya diri saya katakan bahwa orang Jawa sebelum Islam tidak seburuk orang Arab sebelum Islam. Jadi, kita sebagai orang Jawa khususnya, dan orang Indonesia umumnya, harus bangga karena Nabi Muhammad tidak lahir dari Rahim orang Jawa dan tidak berkewarganegaraan Indonesia.

Tapi perlu saya tegaskan sekali lagi, bahwa Jawa tetaplah Jawa, dan Islam tetaplah Islam. Peradaban Jawa secara Akhlak dan Aqidah sudah hampir sempurna, tapi tanpa Wahyu dari Tuhan dan Ajaran yang disampaikan Muhammad, kesempurnaan itu tidak akan pernah tercapai sampai kapanpun.

Pendukung Kajian:

FALSAFAH HIDUP JAWA, oleh Suwardi Endraswara, (Yogyakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2010).

Kawruh Basa Jawa Pepak, oleh Daryanto, (Surabaya: APOLLO, 1999)

Kamus Ilmiah Populer, oleh Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, (Surabaya: ARKOLA, 1994)

Kamus Arab-Indonesia, oleh Mahmud Yunus, (Jakarta: PT Hidakarya Agung)

SIGARET KRETEK, oleh DJI SAM SOE (Surabaya: PT HM Sampoerna Tbk.)

)* Penulis adalah Aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

Iklan

TOILET PENYADARAN

Oleh: Achmad Rois)*

GAE OPO SEKOLAH DUWUR-DUWUR LEK HASILE MEK GAE PERADABAN SOYO MUNDUR

Dunia dengan berbagai kemajuannya sudah sampai di setiap pelosok Negeri ini. Pengaruhnya yang beragam seringkali menjadi perbincangan banyak orang. Setiap sisi selalu mengundang pembahasan berbeda dari sudut pandang yang berbeda pula. Kemajuan zaman sering dinamai dengan globalisasi. Mereka menyebutnya seiring dengan istilah modern yang hampir tiap detik kita dengar di televisi, radio, dan media lain. Seakan dunia benar-benar harus memiliki pandangan yang sama dengan mereka, yaitu pembangunan, globalisasi atau modernisasi.

Sebuah bangsa dikatakan maju jika memiliki peradaban yang beradab, karena memang asal kata peradaban adalah adab. Kita sering memahami istilah Negara maju dari sisi yang justru sebenarnya bukan hakikat. Karena yang kita lihat hanyalah sisi secara empiris yang sepi kearifan. Misalnya hanya dari sisi teknologi, pembangunan infrastruktur, system ekonomi atau politik yang diberlakukan disebuah Negara. Itu hanyalah sebuah sisi dimana peradaban sebenarnya belum termasuk di dalamnya sebagai kemajuan atau kemapanan.

Berangkat dari pemikiran di atas, jika kita berbicara mengenai peradaban, harus ada pengklasifikasian secara khusus dan jelas. Misalnya, peradaban ilmu pengetahuan, peradaban teknologi, peradaban system ekonomi dan lain sebagainya. Meskipun kedengarannya tidak biasa, tapi ini mungkin akan membantu meluruskan kita terhadap makna peradaban yang kita pahami selama ini. Atau paling tidak, kita kembali mereflesikan makna peradaban yang sudah kita pahami selama ini. Supaya asumsi kita tentang peradaban tidak lagi terkesan sepihak dan jauh dari makna filosofis.

Untuk mempersingkat pembicaraan, marilah sejenak kita mengamati satu dari banyak hal yang paling sepele dan sering kita temui sehari-hari. Masalah tersebut adalah masalah buang air besar dan fasilitasnya di toilet. Sekarang sudah merupakan hal yang tidak asing lagi kita jumpai toilet-toilet duduk dibanyak tempat umum. Toilet dengan model ini sudah sangat lazim dipergunakan di banyak fasilitas publik seperti bandara, hotel, terminal, stasiun, rumah sakit bahkan rumah sakit dan kampus-kampus ternama di Indonesia. Sesuatu yang membuat penulis tidak habis pikir adalah anggapan bahwa toilet model ini adalah wujud dari perkembangan zaman, kemajuan zaman, globalisasi atau apalah namanya. Padahal jika nanti kita pelajari secara mendetail, sebenarnya toilet jongkok lah yang lebih maju ketimbang toilet duduk yang sudah terlanjur diklaim banyak orang sebagai kemajuan zaman atau pembangunan globalisasi.

Supaya klaim ini tidak terlanjur mendunia, mari kita lihat dari paradigma kedokteran. Buang air dengan cara jongkok lebih sehat menurut paradigma kesehatan dibanding buang air dengan cara duduk. Jika anda tidak terlalu yakin dengan ini, silahkan tanyakan langsung pada ahlinya atau search di internet mengenai problem yang kali ini kita perbincangkan. Hal tersebut mungkin akan menyadarkan kita tentang satu hal, paling tidak kita sudah punya peradaban yang sehat sebelum globalisasi datang dan menerapkan hegemoninya di Indonesia.

Dari sisi lain, WC duduk akan selalu bersanding dengan tisu sebagai pembersih setelah buang air. Tentu akan berbeda dengan WC jongkok yang mesti menyediakan banyak air untuk membasuh “jalan belakang” setelah buang air. Tugas anda adalah menganalisa sendiri apakah membersihkan bekas buang air dengan tisu akan lebih bersih ketimbang dengan air. Untuk membantu anda menganalisis, akan penulis paparkan pandangan dari sisi agama, khususnya Islam.

Singkatnya, proses membersihkan diri dalam Islam disebut dengan thoharoh. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan membersihkan kemaluan dan dubur disebut istinja’. Dalam islam, memang diperbolehkan membersihkan dua tempat tersebut dengan benda selain air, misalnya dengan batu dedaunan dan tisu (zaman sekarang). Namun, diperbolehkannya hal ini tentu dengan sebab tertentu, misalnya kesulitan air atau dalam keadaan lain yang tidak memungkinkan mencuci dua jalan tersebut dengan air. Akan tetapi, mencuci kemaluan dan dubur dengan air lebih diutamakan dalam Islam, meskipun diperbolehkan juga mencuci dengan yang lain.

Dari dua sisi tersebut, mulailah anda pikirkan, mana sebenarnya yang lebih beradab dan maju antara peradaban buang air orang Indonesia dengan Amerika. Jadi kenapa anda harus risau dan takut kalah maju dari Negara lain kalau kearifan budaya kita ternyata lebih beradab ketimbang gembar-gembor globalisasi. Satu contoh lagi mengenai budaya kencing yang memang disiapkan supaya kita kencing berdiri. Cobalah bedakan (maaf) antara anda dan kambing, kerbau, sapi atau anjing saat kencing, jika anda melakukannya dalam keadaan berdiri. Lantas apa bedanya kita dengan hewan jika cara kita masih sama dengan cara mereka melakukan kencing. Paling tidak, sebelum kita berubah kearah yang lebih besar, kita harus memulainya dari hal-hal yang paling sepele dan kecil seperti ini.

Tulisan ini sebenarnya adalah kekhawatiran penulis mengenai budaya kita yang semakin hari semakin terinfiltrasi oleh budaya barat. Nilai-nilai religious dan lokalitas kita semakin luntur dari banyak sisi. Banyaknya system yang diambil dari barat seperti pendidikan, ekonomi dan politik semakin kental mempengaruhi gaya hidup kita yang konsumeris dan tidak kreatif. Bukan soal ketertutupan kita pada perubahan zaman, tapi apapun itu sifat kritis tidaklah boleh ditinggalkan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan teknologi dan pemikiran-pemikiran barat yang masuk ke Indonesia sedikit banyak memiliki dampak yang positif. Tetapi apakah harus kita merubah atau melunturkan semua peradaban lokal kita yang masih relevan dan bahkan lebih baik dibanding peradaban Negara lain.

Selain itu, jiwa patriot atau kecintaan kita pada produk Indonesia pun sudah dikesampingkan. Baik itu produk dalam bentuk benda atau produk dalam bentuk nilai-nilai budaya. Sedikit sekali yang tahu atau mencoba menganalisis kemajuan yang sudah kita peroleh sejak zaman kerajaan, nilai-nilai moral dan keluhuran pekerti mereka. Bahkan penulis sendiri masih merasakan bahwa pengetahuan itu masih terasa dangkal di benak penulis. Untuk itu, mari kita kaji lebih lanjut peradaban yang sudah kita capai terdahulu. Kenapa kita harus menggantinya dengan produk orang lain sementara produk budaya kita sebenarnya lebih relevan dengan keadaan sosio-kultur bangsa kita.

LEK NGISING KUDU NDODOK, BAR NDODOK KUDU CEWOK, CEWOK KI GAE BANYU, LEK GAK GAE BANYU KI JENENGE PEPER, DUDU CEWOK

)* Penulis adalah Aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

ROIS dan IMAM

Oleh: Achmad Rois)*

 

Tidak ada jalan kepemimpinan yang bukan jalan pelayanan (Mario Teguh)

 

Dalam sebuah organisasi, baik besar atau kecil, peran seorang pemimpin adalah sesuatu yang vital. Organisasi yang baik adalah yang mampu memilih pemimpinnya secara tepat. Keluarga sebagai organisasi paling kecil dipimpin oleh seorang Ayah sebagai Kepala keluarga. Begitupun Negara, selalu ada Presiden, Raja, Perdana Menteri atau apapun namanya yang bertindak sebagai pemimpin. Karena pentingnya soal kepemimpinan sampai-sampai Nabi SAW bersabda yang artinya “Apabila tiga orang keluar bepergian, hendaklah mereka menjadikan salah satu sebagai pemimpin. (HR. Abu Dawud)”. Ini membuktikan bahwa Nabi SAW dan Islam memandang sebuah kepemimpinan sebagai sesuatu yang sangat penting, meskipun ada hal-hal lain dalam organisasi yang juga tidak kalah penting dengan kepemimpinan.

Dalam Islam, ada banyak istilah yang berarti pemimpin atau kepemimpinan. Misalnya, al-riayah, al-imarah, al-qiyadah, al-za’amah, wali, khalifah, rois, imam, dll. Semua mengandung arti sinonim yaitu Pemimpin atau Kepemimpinan. Pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas dua dari sekian banyak istilah tersebut. Pembahasan ini akan dilihat dari sisi kebahasaan dalam bahasa arab berikut karakteristik makna asli kata tersebut. Kedua istilah yang akan kita bahas adalah Rois atau Riasah, dan Imam atau Imamah, yang keduanya merujuk pada arti Pemimpin dan Kepemimpinan. Namun kita akan membedakannya secara jeli dan teliti, sehingga nantinya dapat diklasifikasikan menjadi model kepemimpinan.

  • ROIS

Raisun atau Rois berasal dari kata ro’sun yang berarti kepala (manusia). Berdasarkan makna ini tentu sudah dapat kita baca bagaimana karakteristik pemimpin yang menggunakan kata ini. Dalam budaya timur, kepala adalah sesuatu yang terhormat. Beda halnya dengan budaya barat, yang lebih menghormati bokong daripada kepala. Tapi ini hanya soal budaya antara timur dan barat. Lebih jauh kita perhatikan bahwa kepala terletak dibagian paling atas dari anatomi tubuh manusia. Selain itu, di kepala juga terletak hampir semua fungsi panca indera. Jadi seakan akan, kepalalah yang memiliki semuanya.

Kita awali dari kepala yang selalu ingin dihormati. Sifat pemimpin yang seperti ini akan terkesan sebagai raja yang haus akan kehormatan, suka diperhatikan dan selalu ingin mendapatkan pelayanan khusus dari para bawahannya. Letaknya yang di atas adalah simbol keangkuhan dan kesombongan. Pemimpin seperti ini akan selalu menganggap bawahan sebagai hamba yang harus melayani kepentingannya. Bahkan lebih dari itu, dia akan merasa paling mulia dan menganggap semua orang di bawahnya sebagai orang-orang lemah, bodoh dan hina. Asumsi ini bermula dari rasa lengkap dan sempurna, seperti keberadaan lima fungsi panca indera di kepala.

Lantas bagaimana sikap anda jika memiliki seorang pemimpin yang bukan Tuhan tapi merasa seperti Tuhan? Sombong, minta dihormati, dihargai, dipuja bahkan mungkin minta disembah. Namun hal ini akan berbeda dengan kepala yang setiap saat digunakan untuk bersujud kepada Tuhannya. Sujud secara fisik berarti meletakkan kepala sejajar dengan yang diinjak oleh kaki, yang bahkan bokongnya lebih tinggi dari kepalanya. Sujud seorang hamba yang khusuk (dengan hati) akan berimplikasi berbeda pada kehidupan sehari-harinya. Sujudnya seseorang kepada Tuhan berarti merasa ada yang lebih tinggi dan lebih mulia dibanding dirinya. Perasaan ini menimbulkan sikap rendah hati dan tidak sombong, apalagi merasa sempurna. Intinya, semua sifat yang berkaitan dengan ketinggian seperti sombong, ingin dihargai, dihormati, dilayani dan lainnya akan luntur lantaran sujudnya tidak hanya formalitas penyembahan terhadap Tuhan. Tetapi lebih dari itu, yaitu sikap rendah hati dan sadar bahwa ada Dzat yang lebih pantas menerima pujian dan penghargaan.

  • IMAM

Imam atau Imamah berasal dari kata ummun yang berarti ibu. Imam atau imamah dalam bahasa arab juga diterjemahkan sebagai pemimpin atau kepemimpinan. Lantas kenapa kepemimpinan tidak diambil dari kata abun atau ayah, padahal dalam sebuah keluarga yang harus menjadi pemimpin adalah ayah, bukan ibu. Pertanyaan ini tiba-tiba muncul dalam benak penulis, namun jawabannya belum dapat penulis sajikan, karena penulis harus melakukan analisis yang lebih tajam lagi mengenai hal ini. Tetapi apabila pembaca memiliki pendapat atau hasil ijtihad yang dapat membantu penulis dalam menyelesaikan analisis ini, penulis akan sangat berlapang hati dan menerimanya sebagai sebuah respon konstruktif bagi tulisan ini.

Untuk menyelesaikan analisis mengenai model kepemimpinan seorang imam dari sisi bahasa, penulis membutuhkan satu ayat Al Qur’an yang berkaitan erat dengan ini. Yaitu QS. At-Taubah ayat 128, yang atinya “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin”. Ayat ini menunjukkan karakteristik seorang Rasul atau Utusan sekaligus seorang Pemimpin yang sesuai dengan karakteristik seorang Ibu.

Yang pertama adalah “berat terasa olehnya penderitaanmu”, sebagaimana kita ketahui bahwa ada banyak riwayat yang mengemukakan bahwa Nabi SAW adalah Nabi yang tidak pernah ingin melihat kaumnya menderita. Sampai-sampai waktu akan meninggalpun yang Ia sebut-sebut adalah Ummatii, Ummatii, Umatku, Umatku. Dalam konteks kekinian misalnya, adakah seorang ibu yang rela membiarkan anaknya menderita atau berada dalam kesengsaraan.

Kedua, “sangat menginginkan keselamatan bagimu”, konteksnya masih sama, jika seorang ibu tidak ingin melihat anaknya menderita, berarti dia ingin semua anaknya selamat. Ini sudah menjadi hukum positif antara seorang ibu dan anak, meskipun dalam beberapa kejadian tidak terjadi demikian, dan penulis menggolongkan kejadian ini sebagai sebuah gejala yang tidak normal. Karena hanya ibu yang tidak normallah yang menginginkan anaknya celaka.

Ketiga, “belas kasihan”, jika kata ini terlontar, siapakah sosok yang tergambar dalam benak anda. Tentu saja seorang ibu bukan? Mulai dari mengandung sampai merawat kita hingga besar tidak ada satupun yang tidak dilakukannya dengan rasa belas kasihan. Dan yang keempat, “Penyayang”, penyayang dalam bahasa arab memiliki banyak padanan kata seperti rahman, dan rohim. Namun dalam konteks pembicaraan kita kali ini, penyayang diambil dari kata Rahim. Rahim oleh banyak ahli tafsir dimaknai sebagai kasih sayang khusus bagi orang-orang beriman. Jadi dimensinya adalah dimensi ukhrawi. Berbeda dengan konteks Rahman yang berlaku secara umum bagi seluruh umat manusia di dunia ini.

Mari kita persingkat dan perjelas, pemimpin dengan karakter Imamah akan berbeda jauh dengan Riasah. Jika rois cenderung sebagai pemimpin yang haus kehormatan, maka imam adalah yang siap melayani bawahannya dengan belas kasihan. Pemimpin seharusnya tidak pernah mengenal lelah untuk melayani kebahagiaan umatnya atau bawahannya. Bukan mementingkan kekuasaan dan ketinggian derajatnya dimata manusia, meskipun kita sudah membatasi soal ini di depan.

Melalui pembahasan ini, cobalah perhatikan mengapa kepala Negara dinamai roisul jumhuriah bukan imamul jumhuriah, lalu lihat hasil dari penamaan tersebut sementara kita semua tahu bahwa nama adalah doa. Rois bahkan tidak bisa membawa tasnya sendiri, tidak bisa menulis pidatonya sendiri, tidak bisa membawa map, tidak bisa membuka pintu mobilnya sendiri. Mungkin kencingpun ada yang memegangkan dan ada pula orang lain yang mengelap kemaluannya. Sangat besar ternyata pengaruh sebuah nama terhadap sesuatu.

Lalu lihat hasil bagaimana Negara ini dipimpin. Berapa tahun kita tidak pernah disejahterakan. Jadi rois atau imam kah pemimpin kita selama ini? Bahkan nama INDONESIA pun mungkin bermasalah. Mengapa, karena yang dinyanyikan setiap senin pagi adalah HIDUPLAH INDONESIA RAYA, bukan INDONESIA. Jadi wajar kalau INDONESIA tidak pernah makmur, padahal kata raya memiliki makna yang bagus, seperti Jalan Raya, Hari Raya, dan Indonesia Raya. Termasuk slogan INDONESIA TANAH AIR BETA pun harus diganti dengan INDONESIA TANAH AIR KITA SEMUA.

 

)* Penulis adalah Aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

Membaca dan Pendidikan Karakter

Oleh: Achmad Rois

Pendidikan merupakan sebuah ruangan yang luas dengan tatanan perabot dan asesoris yang begitu kompleks dan plural. Di dalamnya masuk berbagai kepentingan dengan tendensinya masing-masing. Kepentingan tersebut adalah alasan mengapa mereka memilih perabotan ini dan asesoris itu. Pilihan merekalah yang nantinya menentukan arah dan jalan hidup mereka ke depan. Jalur sosialkah, politikkah, ekonomikah, agamakah, budayakah, pendidikankah yang akan mereka lalui sebagai jalan untuk mencapai tujuan mereka. Mengapa jalan? Karena semua yang kita kerjakan di dunia ini haruslah menjadi jalan untuk menuai keridhoan Ilahi di Akhirat nanti. Jadi apa sebenarnya tujuan kita? Adalah hidup dengan kebahagiaan jasmani dan rohani dengan makna yang luas. Jadi jika ada diantara kita yang menjadikan segala hal yang bersifat sekular menjadi tujuan, maka segera pikirkan kembali tujuan anda, benarkah anda cukup dengan semua itu.

Kesalahan menempatkan sesuatu pada awalnya, menjadikan kita banyak melakukan kesalahan pada prosesnya. Misalnya, memilih politik menjadi tujuan hidup, itu artinya kita menuhankan kekuasaan. Manusia semacam ini akan rela melakukan apapun demi tujuan yang dia inginkan. Tanpa mempedulikan hak-hak orang lain, membohongi orang lain, dirinya dan Tuhan dengan berbagai aturan yang telah disampaikan-Nya dengan berbagai tanda. Berbeda halnya dengan orang yang memilih kekuasaan sebagai jalan untuk mencapai keridhoan Tuhan. Kekuasaan akan didapatkannya dari kepercayaan banyak orang pada dirinya. Dalam prosesnya dia akan menggunakan kekuasaan sebagai pemuas hasrat yang ia pimpin, kesejahteraan bagi banyak orang, dan amanah bagi dirinya sendiri. Sehingga pada akhirnya, semua yang ia lakukan tidak akan keluar dari jalur-jalur yang sudah disiapkan Tuhan untuk ia lalui sebagai penguasa.

Pandangan di atas bermula dari sebuah proses yang kerap kita dengar dengan nama pendidikan. Sedangkan kecenderungan seseorang dalam melakukan sesuatu akan kita sebut sebagai karakter. Seseorang yang cenderung jujur akan selalu berkata jujur dalam keadaan apapun. Seseorang yang terbiasa disiplin akan terus membawa kebiasaan itu dalam setiap pekerjaan yang dia lakukan. Begitu juga dengan malas, pembohong, belas kasih, rajin, toleran dan banyak lagi lainnya. Karakter merupakan watak, tabiat atau pembawaan seseorang. Atau dalam bahasa arab kita kenal dengan akhlak yang dibagi menjadi dua, yaitu akhlak terpuji dan tercela. Memang dalam defenisinya dikatakan bahwa akhlak atau karakter adalah sesuatu yang dilakukan tanpa campur tangan otak, dalam arti reflek atau spontan. Saya tidak bermaksud menyamakan secara persis antara karakter dan akhlak, tetapi saya mencoba melakukan pendekatan melalui gejala-gejala terbentuknya dua istilah ini dalam diri seseorang.

Kita sering mendengar bahwa ternyata tingkat reflektifitas seseorang itu dapat dilatih. Pemain bola, pembalap, petinju misalnya, tujuan mereka banyak berlatih tentunya supaya menang saat bertanding, tapi selain itu juga untuk meningkatkan reflektifitas mereka. Reflek dalam uraian ini sama sekali berbeda dengan reflek yang saya maksud dalam defenisi sementara dari akhlak ataupun karakter. Karena reflek dalam hal ini lebih pada unsur-unsur jasmaniah atau gerakan tubuh. Sedangkan reflek dalam defenisi akhlak atau karakter lebih mengarah pada prilaku jiwa seseorang dalam melakukan atau menanggapi suatu kejadian.

Berangkat dari alasan tersebut, penulis merasa perlu mengemukakan bahwa karakter atau akhlak seseorang memang dapat dilatih atau dibentuk. Medianya tentu tidak seperti media jasmani seperti yang sudah penulis ungkapkan di atas. Media pembentukan karakter ini dapat kita jumpai dalam berbagai aktifitas. Misalnya, pergaulan sehari-hari dengan teman sebaya disebuah lokus tertentu, pergaulan dengan orang tua di rumah, pergaulan dengan guru di sekolah dan pergaulan dengan teks. Tiga pergaulan pertama merupakan hasil interaksi seseorang dengan orang lain, atau lebih dikenal dengan prilaku sosial. Berbeda halnya dengan pergaulan ke-empat, pergaulan ini cenderung bersifat individual, karena hanya bergelut dengan literasi semata. Pergaulan inilah yang akan kita bahas pada paragraph-paragraph berikutnya, karena eratnya hubungan antara dunia literasi dengan pendidikan.

Pendidikan sejak dulunya tak pernah lepas dari pentingnya tradisi membaca. Baik membaca dalam arti luas ataupun dalam arti yang sempit. Membaca dalam arti luas berarti peka, jeli dan kritis terhadap setiap realitas dan segala sesuatu yang mengundang otak untuk melakukan analisis. Sedangkan dalam arti sempit, membaca adalah bergaul secara inten dengan teks. Bergaul inten berarti bukan sekedar membaca, namun lebih kepada kemampuan untuk menangkap setiap pesan yang tersurat ataupun yang tersirat pada sebuah teks. Sehingga jauh setelah itu, pembaca akan memiliki pemahaman yang mendalam terhadap sebuah teks. Dan yang paling penting, pemahaman dari hasil olah pikir ini mampu menjadi sesuatu yang hidup dalam diri pembaca. Artinya, teks yang dibaca dapat memberikan pengaruh yang signifikan bagi pembacanya.

Lalu apa korelasi antara pendidikan, membaca dan karakter? Secara singkat, penulis berasumsi bahwa pendidikan merupakan salah satu wahana pembentukan karakter. Kemudian membaca (dalam arti sempit) merupakan sesuatu yang sulit dipisahkan dari proses pendidikan. Jadi, salah satu metode pembentukan karakter seseorang dalam proses pendidikan adalah dengan menjalin hubungan secara intim dengan teks atau bacaan. Proses seperti ini akan memberikan kebebasan kepada anak didik untuk memilih karakter mana yang mereka sukai. Anda selaku pendidik hanya perlu mengawasi perkembangan mereka setiap saat, tentu saja dengan bimbingan yang tidak kalah inten dengan semangat mereka membaca. Karena arahan para pendidik yang mencerahkan akan senantiasa mereka nantikan saat kejenuhan mulai hinggap di sela-sela semangat mereka untuk menemukan jati diri.

Namun masalah kembali timbul ketika ada pertanyaan tentang sejauh mana antusiasme peserta didik untuk membaca. Masalah ini sama besarnya dengan masalah kita selaku individu yang enggan membaca. Sementara kita tahu bahwa membaca selalu terasa lebih berkualitas dan nikmat ketimbang menonton film. Pun pula, pengaruhnya terasa lebih hidup dalam jiwa kita ketimbang saat menonton film atau mendengarkan ceramah para guru yang terhormat di depan kelas. Misalnya saat membaca novel, kita akan cepat hafal dan ingatan kita pada karakter tokoh novel yang kita baca akan tertanam lebih dalam di benak kita dalam waktu yang lama. Ingatan seperti inilah yang penulis sebut sebagai teks yang senantiasa hidup dalam diri pembaca. Jadi, alasan ini harus diketahui oleh para pemalas baca, paling tidak ini akan jadi motivasi bagi mereka atau kita.

Lemahnya minat baca kita secara umum, baik anak didik, siswa, mahasiswa, guru dan dosen berakibat pada banyak hal dalam kehidupan kita sehari-hari. Bagi civitas akademik, membaca merupakan kebutuhan pokok. Apabila kebutuhan membaca tidak tercukupi, maka akan terjadi kegersangan intelektual yang luar biasa di dunia pendidikan dalam skala luas. Kegersangan ini akan berakibat buruk bagi kualitas pendidikan di Indonesia. Bagi para pendidik yang berada di bawah panji Lembaga Pendidikan Islam, ada satu hal lagi yang harus mereka perhatikan, yaitu minat baca terhadap kitab suci (Al Qur’an). Karena jarang sekali kita jumpai (di Indonesia) seorang muslim yang membaca Al Qur’an di tempat-tempat umum seperti bandara, stasiun, taman kota, dll. Tidak seperti saudara setanah air kita yang Kristen, mereka terlihat membawa Injil kebanggaan mereka kemana-mana dan membacanya dimana saja mereka punya waktu luang.

Tetapi penulis mencoba berfikir positif dengan hal ini. Mungkin saja Al Qur’an terlalu mulia untuk dibawa kemana-mana, toh umat Muhammad SAW ini punya tata cara tersendiri dalam memperlakukan kitab sucinya yang agung. Jadi cukuplah mereka membacanya di tempat-tempat ibadah mereka yang suci, atau di rumah mereka masing-masing. Dan budaya ini mungkin tidak bisa disamakan dengan budaya umat Kristen yang sangat bangga dengan Kitab Sucinya dimanapun mereka berada. Tetapi, jika umat Islam benar-benar sudah kehilangan budaya membaca dan memahami Al Qur’an, maka bukan hanya kegersangan intelektual yang akan mereka alami, tetapi kegersangan spiritual yang akibatnya akan lebih berbahaya dari hanya kegersangan intelektual.

Melalui tulisan sederhana ini penulis mencoba menyampaikan beberapa hal yang mungkin mulai dilupakan oleh para pendidik secara umum. Bahwa pendidikan karakter melalui teks mungkin akan lebih baik dan memiliki pengaruh yang signifikan ketimbang program pemerintah tentang pendidikan karakter yang belum jelas secara teknis. Belum lagi para guru yang penulis yakin, banyak yang tidak mengerti tentang hal itu. Semakin rumit lagi ketika kita semua tahu bahwa banyak dari pemerintah dan guru sekalipun yang sudah jelas-jelas tidak memiliki karekter. Budaya membaca mungkin akan sedikit membantu menyelesaikan masalah ini, meskipun ini tidak mungkin tuntas. Tetapi paling tidak, dua bahaya laten berupa kegersangan intelektual dan spiritual bisa kita hindari sedikit dan makin selesai.

Buku memang bukan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Tetapi mengapa Firman-firman Tuhan dikitabkan? Bukankan ini berarti bahwa buku itu penting bagi orang-orang yang berfikir?

Tidak mau membaca Kitab Suci berarti tidak peduli pada Firman Tuhan. Dan tidak membaca buku (makna umum dan positif) berarti kita sedang melakukan kejahatan.

Akankah kita biarkan generasi kita mengalami kegersangan intelektual dan spiritual sepanjang masa?

)* Penulis adalah Aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

BAHAYA LATEN TELEVISI

Oleh: Achmad rois)*

“Anda begitu gelisahnya dengan kebisingan yang tanpa maksud mengganggu kami perbuat, tapi Anda tidak begitu responsif dengan apa yang ditonton anak-anak didik anda saat tidak berada di sekolah bersama anda. Apa anda pernah berpikir bahwa bahaya yang ditimbulkan televisi adalah kemasan bahaya laten yang disusun secara sistematis dan memiliki pengaruh signifikan dalam jangka yang tidak terbatas? Melalui televisi peradaban modern menginfiltrasi kearifan budaya-budaya lokal. Melaluinya pula dekadensi moral diciptakan dalam berbagai kemasan. Tapi biarlah, karena anda tidak seperhatian itu.

Apakah kalian pernah berikir bahwa percepatan pendidikan usia dini adalah agenda kapitalis untuk menyeragamkan cara pandang kalian terhadap “super child”? Kasusnya, semua orang tua akan mencari banyak alternatif untuk menjadikan anaknya sebagai super child dengan cara yang salah satunya adalah suplay multivitamin. Mereka menyuplai berbagai vitamin dan suplemen dalam rangka meningkatkan kecerdasan anak mereka, sementara mereka tidak tahu bahwa di Afrika pernah ada kampanye vitamin tapi ternyata penyebaran virus HIV. Secara finansial, konstruk pola pikir semacam ini adalah usaha kaum kapitalistik untuk meraup keuntungan sebesar mungkin dari produk-produk yang mereka ciptakan kemudian menjadikan kita semua sebagai bangsa konsumeris.”

Mereka tidak ingin anak-anak kalian menjadi terdidik , berpikir terlalu banyak, itulah sebab mengapa Negara dan dunia kita dijejali dengan berbagai bentuk hiburan, media masa, acara-acara televisi, taman hiburan, obat-obatan terlarang, alcohol dan segala jenis hiburan untuk membuat pikiran setiap orang tetap terhibur. Sehingga kalian tidak menghalangi jalan orang-orang elit tertentu, dengan melakukan banyak berpikir, anda sebaiknya sadar dan mulai berpikir bahwa ada orang-orang yang sedang mengarahkan hidup anda tanpa anda sadari.

Kita sedang dalam masalah besar, kalian yang membaca tulisan ini hanya 3 persen yang membaca buku, 15 persen yang membaca Koran, sebab satu-satunya kebenaran yang anda ketahui hanyalah apa yang anda dapat lihat dari tabung TV. Saat ini, sedang ada seluruh generasi yang tidak pernah tahu apapun kecuali yang datang dari tabung TV. Tabung tersebut seakan seperti wahyu dari Tuhan yang tidak bisa dibantah dan wajib di imani. Tabung tersebut bisa menaikkan atau menjatuhkan siapapun. Dia merupakan kekuatan paling dahsyat diseluruh dunia, dan celakalah bagi kita jika ia sampai jatuh ke tangan orang yang salah. Dan ketika perusahaan terbesar di dunia menguasai kekuatan propaganda terdahsyat di seluruh dunia itu, siapa yang tahu kebenaran macam apa yang akan dijual melalui jaringan ini. Televisi bukanlah kebenaran, TV adalah taman bermain, sebuah sirkus, sebuah karnaval, pertunjukan acrobat keliling, penjaja dongeng, para penari, pemain sulap, pawang singa dan pemain sepak bola. Kita sedang berada dalam bisnis yang luar biasa menjemukan. Tapi kalian semua duduk didepannya setiap hari, setiap malam, semua umur, semua warna kulit, keyakinan…kita semua. Kalian mulai percaya dengan ilusi yang kita putar dari sini, kalian mulai menganggap tabung tv ini sebagai realitas, dan justru hidup anda sendiri yang tidak nyata. Kalian melakukan apa saja yang dikatakan tv, kalian berpakaian seperti di tv, makan makanan yang ada di tv, membesarkan anak kalian seperti di tv, bahkan kalian sudah berpikir seperti di tv. Ini kegilaan masal, wahai kalian para maniak. Demi Tuhan bahwa kalianlah yang nyata, dan tv hanyalah ilusi,

Kekuasaan yang tidak ditepatgunakan senantiasa merusak, dan kekuasaan mutlak yang tidak ditepatgunakan berarti rusak sepenuhnya.

Tulisan ini sebagian diadopsi dari film dokumenter ZEITGEIST

)* Penulis adalah Aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

SEMANGAT BADAR

Oleh: Achmad Rois)*

 

Lama sekali sebelum hari ini aku meninggalkan kebiasaan yang begitu lama aku bangun dengan semangat dan perjuangan. Kebiasaan itu kadang menjadi pelipur kesedihan dalam berbagai polemik kehidupan. Kadang ia adalah konten dari setiap hari yang aku lalui, tapi lebih banyak dari mereka adalah gumpalan imaji dan mimpi. Telah aku putuskan bahwa hari ini adalah hari dimana aku harus menulis dan terus menulis lagi, tak peduli seberapa buntu otakku, seberapa sibuk tubuhku, dan seberapa fit tingkat kesehatanku. Karena harus aku akui secara jujur bahwa hati kecil ini selalu merasa bersalah dan berdosa ketika ada sesuatu yang bisa aku tulis namun tak kunjung aku tulis. Meskipun aku sendiri bahkan tidak tahu dalam golongan mana dosa ini diklasifikasikan oleh malaikat kiriku. Tapi yang pasti, Tuhan, aku mohon ampun untuk dosa itu.

Sebenarnya, tak ada tema yang benar-benar berkualitas untuk kutulis. Tapi jari ini benar-benar rindu dengan keyboard yang sengaja disusun tidak teratur ini. Mengapa demikian aku juga tak tahu, tapi mungkin supaya tidak cepat rusak. Karena jika disusun sesuai urutan abjad mungkin akan lebih mudah dihafal, akhirnya semua orang akan mengetik terlalu cepat di atas papan keyboardnya. Bisa benar, bisa tidak, selalu saja begitu.

Aku teringat sesuatu tentang perang badar dimana pasukan yang dipimpin sendiri oleh Nabi Muhammad SAW berjumlah jauh lebih sedikit dari pasukan musuh. Tempat perang ini berlangsung adalah bukit Badar, dan karena itu pula perang ini disebut perang badar. Sampai hari ini, perang ini diabadikan dalam sebuah puji-pujian, semacam lagu perjuangan untuk mengenang jasa-jasa mereka yang gugur di medan pertempuran. Tapi apakah sebenarnya yang mereka perjuangkan selain Agama Tuhan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad?

Perjalanan dari Madinah ke bukit Badar merupakan perjalanan yang panjang dan sangat melelahkan. Bahkan sebuah riwayat menceritakan bahwa sesampainya di medan perang, mereka semua bahkan tidak layak tempur. Singkatnya, secara logis mereka kalah perang. Baik dari keterbatasan jumlah ataupun kesiapan untuk bertempur. Namun apa yang terjadi? Nabi Muhammad pun bahkan tahu bahwa mereka tidak mungkin menang, dari itu Beliau memohon pertolongan kepada Tuhan. Kemudian apa yang membuat Tuhan berkenan memberikan kemenangan kepada mereka yang bahkan tidak pantas secara logis untuk menang? Ternyata usut punya usut, selain jihad fi sabilillah, mereka juga berperang untuk membela dan melindungi keluarga, sanak famili dan orang-orang lemah yang berada di kampung halaman mereka.

Tema ini kelihatannya menarik untuk diketengahkan di zaman dimana semua orang berlomba-lomba untuk mencukupi kepentingannya sendiri. Bahkan dengan tega merampas hak-hak orang lain dengan berbagai dalih dan kepentingan. Sementara sifat Rohim Tuhan sangat menghargai dan menyayangi orang-orang yang bersedia membela kepentingan kaum marjinal. Masih adakah kesadaran yang sedemikian mulia ditengah hiruk pikuk sekularisasi dan kompetisi kapitalis yang kian menjalar di setiap sektor kehidupan. Jika tidak, kenapa harus sibuk mengelu-elukan shalawat badar setiap maulid dan pada banyak kesempatan setelah adzan. Bukankah ini hanya akan menjadi seonggok teriakan kosong tanpa jiwa dan makna kontemplatif.

Semangat untuk membela kaum lemah atau marjinal ini harus senantiasa dipupuk dan dikembangkan se-lestari mungkin. Siapa lagi yang mewarisi perjuangan mereka, para pejuang badar. Pemimpin-peminpin kita sudah banyak lupa dengan tugas utama mereka. Yang mereka tahu hanya bagaimana bisa menjabat lebih lama dan jadi kaya raya. Jika pemimpin kita tak lagi peduli pada nasib kita dan saudara-saudara kita sebangsa tanah dan air, lantas siapa lagi yang peduli? Tuhankah? Tuhan tidak mungkin harus turun tangan untuk masalah se-sepele ini. Lalu apa gunanya kita dijadikan khalifah jika dengan masalah sekecil ini saja kita menyerah.

 Akhirnya, semangat Badar harus mulai tidak hanya dikenang, tapi juga dipribumikan, sosialisasikan dan laksanakan. Tuhan yang akan memberikan kemenangan, meskipun kita tidak pantas secara logis untuk menang.

 

Anda yang dengan sengaja berbuat sesuatu untuk membela kepentingan kaum Marjinal adalah Para Pejuang Badar yang sedang berperang bersama semangat Nabi Muhammad SAW di Bukit Badar. Tuhan yang akan memberi kemenangan kepada Anda, meskipun kemenangan itu sangat tidak logis untuk Anda terima sebagai Prajurit.

 

 

)* Penulis adalah Aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung.

ISLAM ADALAH INDONESIA, INDONESIA ADALAH ISLAM (Sebuah Tawaran Damai)

Oleh: Achmad Rois)*

 

Membicarakan agama pada umumnya selalu mengarah pada hal-hal yang bernuansa theologis. Atau bila itu tidak menjadi aksentuasi pemikiran, perbincangannya selalu berkisar pada unsur-unsur syariat dan hukum-hukum yang baku. Atau yang lebih sering dan radikal biasanya mengenai penistaan agama dan pertentangan antara ajaran yang satu dengan yang lain sebagai fenomena dari konflik keagamaan yang memang sudah lazim terjadi, meskipun sebenarnya kelaziman itu tidak seharusnya terjadi. Untuk itu, lupakan sejenak mengenai hal ini, dan mari kita berbicara mengenai karakteristik agama sebagai manifestasi dalam kehidupan sosial.

Setiap agama, apapun itu selalu mempunyai karakteristik ajaran yang membedakannya dari agama yang lain. Dalam konteks Islam, Islam sendiri biasa dipahami sebagai agama yang diajarkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui media wahyu yang kemudian tenar dengan nama Alqur’an. Ini bisa berarti bahwa karakteristik ajaran Islam adalah pengetahuan dan pedoman hidup yang berlaku dalam menjalani kehidupan dalam berbagai bidang yang senantiasa didasari oleh pengetahuan Alqur’an. Tetapi membahas karakteristik ajaran Islam bukanlah sesuatu yang mudah karena ruang lingkupnya yang sangat luas dan mencakup berbagai aspek kehidupan umat Islam dalam ritual internalnya sendiri ataupun korelasinya dengan masyarakat lintas agama. Karena cakupannya yang luas, maka penulis dalam kesempatan yang diberkahi Tuhan ini membatasi lingkup pembahasan pada wilayah territorial Indonesia saja, dan kalaupun nanti menyinggung wilayah lain, mungkin saja itu hanya sebagai pembanding.

Agama yang disosialisasikan dengan sungguh-sungguh tentu menyimpan harapan agar mampu menyelematkan dunia dari berbagai perpecahan yang disebabkan oleh sisi apapun dari agama itu sendiri. Tapi pada kenyataannya, mengapa perpecahan selalu saja menjadi pasukan pengintai yang kelihatannya sulit sekali dibasmi dengan senjata apapun. Berangkat dari kegelisahan tersebutlah penulis selaku pemuda biasa-biasa ini menawarkan kembali sebuah senjata, yang jika ini tidak ampuh dan efisien, paling tidak nantinya bisa jadi pencegahan alternatif.

Indonesia – pernah – menawarkan versi Islam yang pluralistik kepada dunia yang sudah akrab dengan bentuk Islam yang “monolitik”, seperti yang ditawarkan kebanyakan negara di Timur Tengah. Saya katakan pernah karena saya belum begitu yakin bahwa budaya prulalistik ini masih diterapkan sampai sekarang. Dan kalaupun sudah lama diterapkan dan masih berjalan, saya belum menjumpai pengaruh yang signifikan dari tradisi tersebut. Asumsi subjektif ini berawal dari masih banyaknya tragedi teror dan kriminalitas yang konon disulut melalui problema keagamaan yang bahkan oleh rekan sekeyakinan.

Ahmad Suaedy, selaku direktur the Wahid Institute pernah mengatakan bahwa Islam Indonesia itu pribumi dan pluralistik, baik dalam ekspresi dan hubungannya dengan agama-agama lain, meskipun 87% atau bahkan lebih dari penduduknya beragama Islam. Ini berarti bahwa, meskipun Indonesia adalah negara yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia dan mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia tidak pernah dipaksakan menjadi sebuah Negara Islam. Memang hal itu sempat mencuat, namun setelah diinspeksi, gerakan tersebut ternyata hanya ulah segelintir oknum yang menyuarakan kepentingan agama sebagai kamuflase kepentingan politis dan nafsu mereka sendiri.

Berbicara mengenai pluralitas, sulit rasanya memisahkan sosok Abdurrahman Wahid. Karena memang beliaulah yang gencar menawarkan dan mensosialisasikan senjata pemusnah konflik ini untuk menciptakan perdamaian yang tidak saja di Indonesia. Perlu kita ketahui bersama bahwa pendirian the Wahid Institute adalah stimulasi karya untuk menciptakan dunia yang adil dan damai. Visi tersebut diawali dengan membangun pemikiran Islam moderat yang diharapkan mampu mendorong terciptanya demokrasi, pluralisme agama, multikulturalisme dan toleransi di kalangan kaum Muslim di Indonesia dan di seluruh dunia. Visi ini hanya interpretasi penulis dari berbagai sumber dan analisis pribadi tentang siapa Gusdur di mata penulis. Tetapi kesalahan media biasanya jarang mempublisir gerakan-gerakan seperti ini, justru yang sering dipublisir adalah pertikaian-pertikaian agama yang dibesar-besarkan sehingga menjadi isu internasional.

Berdasarkan uraian di atas, tentu akan timbul pertanyaan dalam benak kita yang dangkal ini, mengapa pemikiran Islam moderat perlu dibangun ditengah bangsa yang bahkan bisa mengimplementasikan pemikiran fundamentalis, otoriter bahkan radikalis. Asumsi ini berawal dari sebuah fakta yang mengatakan bahwa penduduk Islam Indonesia bisa saja melakukan apapun dengan mudah, bahkan tanpa perlawanan. Lantas, fakta ini menjadi semakin ganjil ketika ada pertanyaan mengapa pemikiran moderat perlu dibumikan ditengah masyarakat muslim Indonesia yang mayoritas. Sebenarnya ini bukanlah sesuatu yang ganjil, namun merupakan sebuah langkah maju yang diciptakan oleh bangsa yang beradab.

Salah satu karakter masyarakat Islam Indonesia yang paling menonjol adalah pluralitasnya. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya fakta yang mengatakan bahwa ada perbedaan antara Islam di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan di wilayah lain di seluruh Indonesia. Belum lagi perbedaan tradisi beragama antara NU dan Muhammadiyah misalnya. Keduannya adalah ormas besar yang banyak mendominasi pola pikir dan tradisi beragama umat Islam di Indonesia. Fakta lain semisal Islam yang berada di lingkungan kraton seperti yang ada diwilayah Yogyakarta tentu akan berbeda dengan kelompok Muslim yang hidup dan berkecimpung di dunia pesantren. Pesantrenpun juga memiliki karakteristik yang beragam, semisal antara pesantren salafi, modern dan semi salafi modern. Masih banyak lagi fakta tentang perbedaan kultur masyarakat Islam di Indonesia. Oleh karena itu, Islam di Indonesia menurut penulis adalah komunitas Muslim yang pantas menjadi barometer bagi Islam di dunia saat ini dari sisi keragaman tradisi dan kultur keagamaannya.

Islam Indonesia, khususnya Islam NU dengan budaya pesantren, adalah Islam pribumi. Tidak ada bedanya antara Islam dan Indonesia. Sejarah masyarakat Islam menurut versi ini adalah sejarah Indonesia. Sejarah Indonesia adalah sejarah Islam. Kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Islam. Kebudayaan Islam adalah kebudayaan Indonesia. Ini berbeda dengan kesadaran Islam formalistik yang menganggap Indonesia itu bukan Islam jadi harus di-Islamisasi atau diubah menurut kultur mereka, misalnya dengan mengenakan jubah. Pandangan ini khususnya datang dari Arab, Pakistan bahkan dari Malaysia. Bagi penulis, bangsa Indonesia dengan segala instrumennya adalah Islam itu sendiri. Bangsa ini memakai baju yang mereka bisa pakai, baik baju dalam arti sebenarnya atau baju dalam arti simbolik. Indonesia adalah plural bukan saja dari segi Islamnya tapi juga dari segi latar belakang etnis. Itulah yang kami tawarkan kembali dalam tuisan ini.

Islam Indonesia dengan karakter pluralisnya menurut penulis belum memperoleh perhatian dari dunia dalam skala yang sangat luas. Ini bukan berarti bahwa masyarakat Islam Indonesia butuh perhatian, tapi justru masyarakat globallah yang harus memperhatikan ini sebagai sebuah Negara percontohan dari segi pluralitasnya. Jadi, perlu ada proses globaliasasi terhadap paham pluralistik ini untuk menggantikan yang anti-pluralistik, karena paham tersebut selain sering memicu kerusuhan juga lebih memperjelas perbedaan dibanding persamaan. Ini adalah agenda penting yang menurut penulis perlu diketengahkan sebagai sebuah langkah maju dan instrumen untuk menciptakan perdamaian di seluruh dunia. Karena dengan paham ini, clash of civilization yang biasanya didominasi oleh kultur barat tidak perlu terjadi di Indonesia.

Untuk itu, ada tiga langkah besar yang harus dicapai. Pertama, pada tingkat wacana kita harus mengintrodusir berbagai pemikiran yang mungkin bisa membantu mengangkat konsep-kosep pluralitas. Misalnya, toleransi, hak asasi manusia dan lain-lain. Kita dapat mengangkatnya melalui penelitian, pelaporan, website dan penerbitan buku-buku yang mendorong asumsi masyarakat bahwa Indonesia secara historis adalah pluralistik. Kedua, dengan membangun kapasitas wacana tersebut dengan lokakarya, diskusi dan pelatihan-pelatihan kepada pemimpin-pemimpin jamaah yang tersebar di berbagai daerah. Tujuannya adalah mengajak mereka untuk ikut memecahkan persoalan lokal tanpa harus terjatuh pada konservatisme dan fundamentalisme. Karena kedua paham ini biasa diusung oleh Gerakan Islam Garis Keras sebagai solusi untuk mengatasi berbagai problem, sementara yang sering terjadi adalah timbulnya problem baru yang lebih serius. Ketiga, menggelar dialog antaragama, antardaerah dan antarnegara. Visi utamanya adalah mengaburkan perbedaan dalam arti tidak membesar-besarkan masalah, dan memperjelas persamaan untuk menciptakan rekonsiliasi global.

Tawaran di atas didasari oleh pengalaman dan pengamalan pluralisme secara positif. Karena menurut penulis, paham ini dapat merangsang tumbuhnya budaya saling menghormati, menghargai, tidak saling menyerang dan merasa paling benar serta saling belajar. Artinya, kita bisa belajar sesuatu dari agama lain tanpa harus mengusik keyakinan kita. Keyakinan tentu tidak bisa dipertukarkan, karena itu saling belajar menurut penulis adalah sesuatu yang baik dan penting. Kita berhak menolak untuk ikut upacara agama tertentu, tetapi menganggu upacara orang lain apalagi sampai menimbulkan kerusuhan tentu sebuah persoalan lain. Kita berhak menolak, tapi tidak boleh mengganggu, memaksa, apalagi melakukan kekerasan.

Masyarakat Islam Indonesia berpotensi besar untuk dapat menciptakan civil society. Kelompok masyarakat di Indonesia itu cukup kuat. Seperti di Pakistan misalnya, di sana ada Jamaat-e-Islami, suatu partai politik yang mempunyai basis cukup kuat. Islam di sana diseragamkan dan tidak ada yang boleh berbeda.  Di sini (Indonesia) ada Nahdatul Ulama (NU), tetapi NU di sini tidak seperti Jamaat-e-Islami. NU tidak bisa dijadikan satu apa lagi diseragamkan. Misalnya, NU di daerah A tidak sama dengan NU di daerah B dan seterusnya. Inilah independensi kelompok-kelompok masyarakat yang disebut civil society. Inilah yang bisa memberikan potensi besar untuk munculnya demokrasi atau dalam istilah poluler sering disebut social capital. Civil society adalah social capital dalam demokrasi.

Pesan akhirnya, Agama pada dasarnya hanyalah milik Tuhan, dan tidak ada manusia yang mampu memahami agama tanpa izin dan bimbingan Tuhan. Karena itu agama kemudian menjadi ajaran yang disosialisasikan oleh hamba pilihan Tuhan. Itulah kenapa kita yang belum tentu diakui sebagai hamba Tuhan ini butuh seorang figur legitim seperti Muhammad SAW. Jadi, apa kita pantas mengatakan si Anu salah, si Anu tidak benar dan si Anu harus di brantas. Biarlah Tuhan melakukan pekerjaan-Nya sendiri. Untuk itu, kata “damai” seharusnya selalu berintonasi lebih rendah dari kata “serang”. Anehnya, meskipun jumlah kelompok yang cinta damai begitu banyak, tetapi jumlah kerusuhan yang terjadi tidak pernah lebih sedikit dari jumlah mereka. Di Indonesia sendiri, hampir setiap lagu yang diciptakan selalu bertemakan cinta, tapi mengapa tindakan penuh cinta kasih sedikit sekali kita jumpai di Negara ini.

Semoga bermanfaat dan selamat berkontemplasi.

 

Sumber bacaan:

  • Wawancara Ahmad Suaedy di Metro TV yang saya rangkum dengan kemampuan non-reporter atau wartawan. 
  • ILUSI NEGARA Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional, Editor. KH. Abdurrahman Wahid, The Wahid Institute (Jakarta: 2009).
  • ISLAM AKOMODATIF, Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama Universal, Oleh. Dr. H. Abu Yasid, LL.M, LKiS (Yogyakarta: 2004).
  • Selebihnya adalah nafsu dan ego saya yang gelisah terhadap Negeri yang belum bisa saya cintai ini.

 

)* Penulis adalah aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

SEBUAH RENUNGAN

Oleh: Achmad Rois)*

 

Kehidupan adalah serangkaian perjalanan tak terduga. Seperti selubung bintang dalam gemerlapnya kesemuan. Sedangkan hidup adalah segerombol pilihan yang tidak sulit namun harus dipilih secara tepat. Keduanya menjadi tempaan pengalaman dalam substantifitas prinsip. Salah satunya selalu menjadi awal meniti langkah kepastian hidup yang kadang dan seringkali senjang. Kesenjangan tersebut seharusnya menjadi tantangan menyenangkan, bukan menjadi jalan yang selalu dihindari langkah.

Keanehan fenomena hidup merupakan sesuatu yang selalu sulit diterima, bahkan oleh orang-orang terdekat. Mereka mengira yang kulakukan terbiar sepi dari makna filosofis. Sementara sekarang, yang ingin aku raih adalah jalan-jalan yang tidak biasa dilalui banyak orang. Karena kebanyakan orang selalu meyakini jalan-jalan aman yang sebelumnya sudah dilewati banyak orang. Mereka lupa bahwa Tuhan telah menetapkan jalan bagi setiap kita yang lahir melalui kepedihan. Dalam kalimat lain, keluar dari satu jalan untuk memilih jalannya masing-masing.

Seperti yang lalu, masa lalu adalah sejarah dan masa mendatang adalah kerinduan. Sejarah yang sering kita salahkan, kita hujat dan caci, sementara kita lupa bahwa kita tidak mungkin seperti sekarang tanpa masa-masa itu. Masa itu begitu indah, namun sedikit sekali yang bisa ku ingat dalam keterbatasan. Tapi keterbatasan itulah yang menjadikan kesedikitan menjadi sesuatu yang sangat berharga. Tidak ada yang banyak dan baik, karena seringkali yang sedikit adalah kebenaran. Saat realitas menjadi mitos dan legenda, realitas kemudian dimanipulasi oleh manipulan ulung untuk meraup banyak sekali keuntungan.

Kita sering lupa bahwa sebagian besar realitas hanya permainan yang direkayasa oleh segelintir orang. Karena realitas dalam hal ini adalah persepsi yang dibahasakan dalam retorika yang rapi. Lantas untuk apa mereka melakukan itu semua? Padahal setiap kita merasa punya sesuatu yang disebut prinsip. Prinsip itu kita kira batu karang yang terhujam kuat sampai ke dasar terdalam, namun sebenarnya adalah gundukan pasir yang dua menit lagi terhempas ombak dalam kegemuruhan yang sepi. Suaranya yang keras tidak menjadikan kita tuli, namun justru membutakan.

Telinga kita dibombardir berbagai seruan bukan untuk menjadikan kita lebih teliti, tapi mereka ingin menjadikan kita buta dari pengamatan akan realitas. Segala sesuatunya menjadi kabur sementara sekarang musim kemarau. Kita sering lupa bahwa kita justru lebih sering kehausan ketika berada di tengah samudera. Tapi mengapa di hamparan padang pasir orang-orang begitu mudah membagikan milik mereka yang sedikit untuk orang lain.

Ketakjuban ini semakin menyeruak ketika orang-orang begitu mudahnya terbelenggu dalam norma yang diciptakannya sendiri. Mereka lebih suka menciptakan penjara untuk diri mereka sendiri. Jadi jangan heran karena sesungguhnya kitalah yang menciptakan kejahatan supaya penjara yang kita buat ada artinya. Sulit bagiku menerima keanehan ini pada awalnya. Namun setelah aku tahu bahwa kebaikan dan kejahatan adalah dualitas yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain, maka semuanya menjadi mudah kumengerti. Bahwa kejahatan adalah perbuatan yang kemudian diverbalkan supaya ada lawan kata kebaikan.

Salahkah aku ketika aku ingin keluar dari penjara yang tidak kusepakati terciptanya. Aku tidak pernah berniat melemahkan norma yang sudah paten, aku hanya ingin tahu mengapa aku tidak pernah diundang dalam sidang penetapan norma-norma tersebut. Anda tentu tahu bahwa yang saya maksud bukanlah agama yang dijadikan Tuhan sebagai jalan hidup. Ini hanya sisi kemanusiaan yang boleh dan pantas sekali gelisah. Aku tidak peduli apakah kegelisahan ini akan dianggap sebagai kebodohan nantinya. Tidak banyak yang ingin aku temukan, hanya kesadaran semua fungsi dan kebebasan jiwa dalam naungan nurani. Nuranilah yang sebenarnya ingin aku ikuti, bukan presiden atau kyai.

Selebihnya, kekonyolan ini biarlah menjadi arti bagi diri yang hina ini. Apapun hasilnya nanti, yang jelas dan pasti Tuhan tetap Maha Pengampun dan Pemberi Petunjuk. Kepadanyalah aku akan kembali, entah dengan jalan yang mana itu urusan nanti. Yang penting sekarang adalah mencari kebenaran sejati. Kalaupun aku mati sebelum kebenaran itu menyapaku, paling tidak Tuhan sudah tahu bahwa aku pernah dengan sungguh-sungguh mencari kebenaran. Jadi tetap ada alasan jika aku menghendaki penghargaan Tuhan atas usahaku.

 

)* Penulis adalah aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung