PENGHUNI TERAKHIR

Penghuni Terakhir

Penghuni Terakhir

Oleh: Achmad Rois)*

Perkembangan dunia modern dari era ke era terus bergulir seperti tak bisa lagi dibendung. Pesatnya kemajuan tekhnologi, sains, media dan berbagai sarana prasarana kehidupan lain semakin melesat seperti angin, tak terlihat, meskipun kadang ia muncul bersama raut yang menyedihkan atau menggembirakan.

Di abad 21 ini, siapa yang tak kenal televisi. Televisi merupakan sebuah bukti nyata pesatnya perkembangan teknologi. Penggunaan komunikasi antar satelit yang canggih, sambungan langsung jarak jauh dan banyak lagi fitur lain yang dapat kita nikmati tanpa harus keluar rumah untuk menjelajahi benua lain dalam sekejap. Yah, benua Media tepatnya. Siang kecelakaan di Negara anu disiarkan di stasiun televisi ini, kemudian sorenya gempa di propinsi anu disiarkan di stasiun televisi itu.

Harus kita akui bahwa televisi merupakan salah satu dari sekian banyak media yang menyediakan kita akses informasi secara cepat. Meskipun di sisi lain kita tetap harus mengakui kegigihan media lain seperti Surat Kabar Harian, tabloid-tabloid atau majalah-majalah yang terbit dalam kurun waktu tertentu. Televisi cenderung memberikan informasi yang lebih instant dibanding media lain. Bagaimana tidak, hanya dengan duduk atau berbaring santai di depan TV (tentunya dengan mata terbelalak dan telinga yang terpasang) kita sudah bisa mendapatkan banyak informasi yang kita butuhkan. Semisal info tentang kenaikan harga sembako yang baru-baru ini mencuat, KD yang dikabarkan keganjenan dengan pria perkasa asal Timur Leste atau berita sekitar pertikaian dingin antar Partai Politik di beranda pemerintahan.

Lalu bagaimana dengan surat kabar? Dari sisi muatan (kualitas), surat kabar tentu tidak mau kalah dengan televisi. Mereka selalu menciptakan inovasi terhadap tampilan, pewarnaan atau segala bentuk usaha yang menimbulkan ketertarikan kepada para pembaca tanpa mengurangi kualitas (isi) berita yang dimuat. Kerja keras mereka tentu tidak main-main, buktinya di seluruh Indonesia ada ratusan atau bahkan ribuan media cetak sekelas lokal, nasional dan international yang tetap eksis di tengah pesatnya tekhnologi informasi yang tak bisa dibendung. Belum lagi menghadapi budaya instanisme yang kian menjamur di tengah masyarakat modern ala japanis atau westernis Indonesia. “Kalau ada yang tinggal tonton kenapa harus baca”, seperti inilah kira-kira gambaran bahwa masyarakat kita cenderung menyukai yang instant dari pada proses alami atau kretivitas dan pengembangan potensi diri.

Paham-paham semacam inilah (instanisme) yang dimanfaatkan oleh pemilik-pemilik stasiun televisi untuk meningkatkan penghasilan dapur siaran mereka. Pemilihan jam tayang untuk acara-acara yang akan mereka siarkan diatur sesuai rating. Pengemasan acarapun dibungkus kemudian dibingkai dengan kemasan yang menarik, karena bagaimanapun pengaruhnya tetap kembali kepada rating penonton. Melalui TV, ada banyak pesan yang dapat disampaikan. Entah dalam bentuk reality show, infotainment, film dan acara-acara lain. Pesan moral, social politik, social keagamaan, bisnis, kewirausahaan, representasi budaya atau Negara tertentu bahkan hegemoni kekuasaan pun mampu dikemas secara apik dari sana.

Sebagai contoh, penayangan film-film Hollywood yang dikemas untuk merepresentasikan kekuatan FBI, CIA, Pentagon dan kedigjayaan Militer Amerika. Film tersebut menanamkan opini public bahwa Amerika sebagai Negara adi kuasa senantiasa tunduk terhadap mitos Yahudi. Ini tentu menjadi sebuah media hegemoni yang efisien. Selain melancarkan misi ideologis, meraup financial sebanyak-banyaknya menjadi keuntungan lain yang kita lupakan. Dunia romantisme dan mode yang banyak ditampilkan oleh film rakitan sutradara Prancis. Kekejaman Vietnam dan kecerdikan China sering tampil dalam kemayaan film Mandarin. Begitulah pengaruh dan opini public dibangun melalui film. Kekuatan politik suatu Negara dilanggengkan sebagai wacana hegemoni yang luar biasa. Baiklah, sementara kita lupakan dulu tentang Hollywood dan pengaruhnya.

Penghuni Terakhir.red

Melalui prakata yang panjang lebar tersebut saya igin mengajak pembaca sekalian untuk menoleh ke dunia pertelevisian domestic. Acara yang baru-baru ini hadir di ANTV dalam kemasan Penghuni Terakhir membuat saya khawatir terhadap efek samping yang akan ditimbulkannya kemudian, seperti kata Dokter saat memberi resep pada pasien. Penyakit yang mungkin akan ditanggulangi ANTV adalah stress. Kemudian resep yang diberikannya adalah menyediakan acara yang terkesan menghibur penonton. Saat itu kekhawatiran saya mulai menyeruak.

Penghuni Terakhir merupakan acara yang menawarkan hadiah cukup menggiurkan, yaitu berupa rumah mewah senilai 1 Milyar. Pesertanya diharuskan untuk berjuang dengan segala macam cara untuk tetap bertahan sebagai penghuni terakhir. Sistem eliminasinya dibuat seperti acara audisi-audisi lain semacam Indonesian Idol, Indonesia Get Talent, The Master dan banyak lagi yang sejenis, yang merujuk pada persentase sms dari penonton. Ini adalah sisi financial yang diharapkan oleh stasiun televisi penyedia program tersebut. Dari sisi itu jugalah tingkat rating dari penonton mulai dihitung. Hal ini mudah saja kita buktikan dengan mengamati kapan acara tersebut ditayangkan.

Pada awalnya, acara Penghuni Terakhir ditayangkan pukul 17.00 WIB di ANTV. Setelah dua minggu berjalan, acara tersebut mulai ditayangkan pukul 21.00 WIB. Jika diamati, pemilihan jam tayang jelas berpengaruh terhadap partisispasi penonton. Karena pemilihan waktu potensial diukur mulai pukul 19.00 sampai 22.00 WIB. Ditayangkan pukul 17.00 WIB karena acara ini masih awal dan belum memuat nilai komersil. Setelah rating acara ini naik, acara tersebut kemudian ditayangkan pukul 21.00 WIB. Tapi kenapa tidak ditayangkan pukul 19.00 atau 20.00? ini tentu bukan tanpa alasan.

Persaingan antar stasiun televisi untuk meraup keuntungan sebesar mungkin melalui rating dan iklan tentu merupakan hukum yang tidak bisa tidak deperhitungkan. Sebagaimana kita ketahui, waktu berkisar pukul 19.00 sampai 21.00 telah diisi oleh acara dari stasiun televisi lain yang tidak kalah komersilnya dengan Penghuni Terakhir. Sinetron-sinetron yang disajikan SCTV dan RCTI, Take Me Out Indonesia yang digelar Indosiar dan Opera Van Java yang disuguhkan TRANS TV merupakan pesaing tangguh Penghuni Terakhir sebagai program yang terhitung baru. Tapi dengan keberanian ANTV menayangkan program barunya pada jam-jam potensial merupakan sebuah bukti bahwa acara ini mulai diminati banyak penonton dan mendapatkan rating yang cukup tinggi. Sisi inilah yang membuat kekhawatiran saya semakin menyeruak.

Efek Samping Penghuni Terakhir

Melalui acara tersebut mulai saya amati betapa akan besar pengaruhnya bagi penonton. Beberapa hal yang membuat saya khawatir terhadap efek acara ini. Tentunya efek negative, meskipun setiap pengaruh selalu berbanding antara positive dan negative. Tetapi yang harus kita tanyakan kemudian adalah mana yang menimbulkan pengaruh lebih banyak. Yang negative atau yang positive. Hal ini yang ingin saya paparkan melalui analisa saya dari berbagai sudut pandang.

Pertama, tawaran yang cukup besar membuat setiap peserta rela melakukan apapun untuk mencapai tujuan. Rumah senilai 1 Milyar bukan ukuran yang sedikit untuk masyarakat di tengah Negara berkembang seperti Indonesia. Ini merupakan motivasi utama bagi peserta untuk menghalalkan segala cara agar impiannya terwujud.

Kedua, sistem eliminasi melalui sms yang diberikan pihak stasiun televisi terhadap tiga peserta yang menempati urutan terbawah. Sistem ini memaksa semua peserta untuk menjadi paling dominan dan sedominan mungkin dari peserta lain. Jika tidak, penonton tidak akan mengenal mereka dan tidak akan mendukung mereka melalui sms. Meskipun sebenarnya perbendaraan sms juga merupakan cara lain pihak stasiun dalam meraih keuntungan financial. Hal ini berakibat pada pembentukan karakter dari masing-masing peserta, bahkan mungkin ada yang rela untuk tidak menjadi dirinya sendiri. Berprilaku diluar batas normal bahkan berani melanggar etika kemanusianaan dan norma-norma kepantasan.

Kedua motivasi tersebut menjadi berbahaya pengaruhnya bagi penonton. Mengapa demikian? Karena ada banyak sisi negative yang ditunjukkan dalam hampir setiap prilaku para peserta. Penghuni terakhir menayangkan pendidikan kekerasan dalam bentuk hiburan yang dikemas apik melalui kompetisi yang terlihat sportif. Padahal dibalik itu, ada semacam penanaman karakter-karakter khusus yang terselubung di dalam sistem yang dibalut rapi.

Dalam bahasa sederhana, sistem yang digunakan adalah bagaimana membuat penghuni lain tidak merasa betah tinggal di dalam rumah yang setiap hari ditanami kepalsuan. Hari demi hari selalu diisi dengan berbagai konflik, tentunya dengan berbagai alasan. Adanya Boss, Pemegang Kunci dan Jongos adalah kompetisi real perebutan kekuasaan. Dalam hukum perebutan kekuaasaan selalu diwarnai oleh permainan politik, manajemen issue dan konflik. Intrik-intrik politik dan berbagai metode adu domba ditampilkan disana. Setiap penghuni seakan diharuskan untuk tampil memihak kepada salah satu blok, tapi dilain waktu mereka juga harus tampil sebagai penghianat yang kejam dan busuk.

Penindasan ala proletar juga disuguhkan sebagai bentuk pelanggengan kekuasaan yang kuat dan ditakuti. Hal ini menjadi pemicu konflik antara pembela kebebasan dan penegak azaz kemanusiaan dengan seorang boss yang harus tetap tampil sebagai pemimpin yang kuat, ditakuti dan memiliki kuasa penuh. Jadi tak perlu heran jika karakter penghianat bermuka enam dan seterusnya dapat tumbuh dan menjalar subur dalam karakter peserta. Bagaimana tidak, mereka harus memiliki kemampuan khusus untuk berpolitik agar dapat tinggal paling lama dan tidak tereliminasi.

Proses penyebaran issue dapat lahir dari game-game kompetisi yang diantarkan oleh crew Penghuni Terakhir. Politik adu domba juga menjadi sajian yang menarik bagi para penonton. Manajemen konflik yang dikemas rapi dalam setiap pertikain menyuguhkan pendidikan konflik dan penghianatan terstruktur. Saya katakan demikian karena dari sana ada sebuah kurikulum yang mengajarkan bagaimana mengadu domba orang lain, bagaimana menyembunyikan (bangkai) diri sebagai pengkhianat. Dan kalaupun penyamaran mereka nanti ketahuan, itu berarti bau busuk dari bangkai yang mereka simpan mulai menyebar. Jika sudah begitu, tentu mereka harus berpikir keras untuk mencari jalan keluarnya. Jika bau busuk sudah mulai menyebar, mereka tentu harus berusaha bagaimana bau busuk tersebut menjadi harum setelah sampai ke hidung. Ini merupakan pendidikan yang luar biasa.

Akhirnya, melalui tulisan ini penulis memaparkan bahwa kecermatan kita dalam menikmati media adalah syarat mutlak agar kita mampu menyaring hal-hak buruk dan hanya mengambil sisi yang baik, atau jika kita terpaksa mengambil sesuatu yang buruk, itu harus kita peruntukkan untuk menjadikannya sebagai pelajaran yang baik. Karena media mempunyai pengaruh yang luar biasa terhadap opini public. Dari itu himbauan terhadap diri kita masing-masing dan para orang tua khususnya, agar senantiasa mengawasi anak-anak kita untuk menghindari hal-hal yang tidak kita inginkan. Sebagai Negara berkembang kita tidak boleh menutup diri dari kemajuan teknologi, tetapi kita juga harus cermat dan teliti dalam memilih dan memilah mana yang berpengaruh baik dan mana yang kurang baik. Sekian dari penulis, semoga jadi pertimbangan yang bermanfaat.

)* Penulis adalah aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

Iklan