AKHIRNYA DALAM KESENDIRIAN, AKU BISA MELAMUN

Hari-hari setelah hari ini adalah proses yang serius. Tapi itu bukan berarti hari-hariku sebelumnya tidak ku jalani dengan penuh keseriusan. Namun, ada banyak pertanyaan yang selalu tak mampu kutepis. Perjalananku menempuh pendidikan menurutku sudah terlalu lama, tapi aku tak pernah ingin sama sekali mengakhirinya walau sesaat. Kecintaanku terhadap dunia seperti ini agaknya tak bisa digantikan dengan apapun. Aku hampir tak pernah berpikir sedikitpun tentang bagaimana masa depanku besok. Atau dalam bahasa yang lebih mudah dipahami, orang sering menyebutnya “dari mana aku akan mendapatkan uang untuk tetap bertahan hidup dari makan”. Nanti saja berpikir tentang masa depan karena saat ini adalah saat yang sedang terjadi dan harus dihadapi. Masa depan bukanlah sesuatu yang pasti terjadi, siapa yang tau bahwa setelah aku menulis kali ini aku mati. Karena tak ada sama sekali yang bisa menjamin hidupku ini abadi. Jadi untuk apa membicarakan “nanti”, kenapa tidak kita bicarakan saja sesuatu yang menarik dengan tema “saat ini”?

Suatu saat setelah pekerjaan rumahku selesai, aku menyalakan note book. Aku mendengarkan musik yang setiap saat selalu ku putar berulang-ulang. Alasannya bukan karena aku menyukainya, tapi karena memang tak ada musik lain yang akan kudengar selain musik-musik di hard disk yang tersimpan dalam note book ku. Barang kali seleraku tentang musik juga tergolong sangat rendah. Karena itu mungkin aku bukan penggemar maniak sebuah group band atau club malam yang menyediakan pertunjukan musik sebagai pemanja pengunjungnya. Tak ada musik atau lagu-lagu yang memiliki fungsi penting menurutku. Atau yang tergolong punya pengaruh significant terhadap ku saat mereka kuputar dan kudengarkan. Barang kali pendapatku akan banyak bertentangan dengan mereka para penggemar Kangen Band, ST 12, Hijau Daun atau DEWA 19. Mereka menganggap lagu-lagu yang dinyanyikan beberapa group band terkenal memberikan banyak inspirasi bagi hidup mereka, tapi menurutku tidak. Atau musik yang mereka dendangkan memiliki pengaruh spiritual tersendiri bagi para pendengarnya, seperti lagu yang sering didendangkan group band UNGU akhir-akhir ini, tapi menurutku juga tidak. Mungkin akan berbeda dengan para TNI atau Presiden yang begitu mengahargai lagu kebangsaan dan mars-mars kemiliteran. Bagi mereka itu adalah alasan paling tepat untuk bertahan hidup dengan keadaan apapun. Dalihnya Nasionalisme dan NKRI dijadikan harga mati. Alasan yang masuk akal, meskipun sebenarnya mereka berjuang demi kebohongan. Itu alasan mereka tentang lagu-lagu, tapi aku belum punya alasan untuk itu semua.

Tadi malam aku teringat satu hal karena itu aku tak dapat tidur dengan nyenyak. Tapi sekarang aku tahu bahwa salah satu alasan kenapa orang-orang tak bisa tidur nyenyak adalah karena mereka mengingat satu atau banyak hal. Ibuku mungkin tak pernah tidur nyenyak selama ini karena ada banyak hal yang pasti mengganggunya, termasuk bagaimana mengatur keuangan yang pas-pas an untuk tetap cukup membiayaiku sampai selesai kuliah. Kalau begitu, ayahku juga tak pernah tidur nyenyak. Pekerjaannya satu bulan tak cukup gaji untuk makan selama dua minggu. Tapi aku tetap harus sekolah, sering ditegaskannya waktu itu. Kalau aku saja tak dapat tidur nyenyak karena aku terus berpikir kenapa begitu banyak nyamuk malam ini. Lalu bagaimana dengan mereka yang nanti sore harus menyetor hasil sewa angkot pada bosnya. Bagaimana pula dengan wanita paruh baya sekertaris perusahaan besar itu? Dia sedang lembur kerja karena bosnya mendadak minta dibuatkan naskah untuk meeting besok jam 07.00 pagi. Sedangkan sekarang adalah waktunya pulang kerumah dan menyuruh anak-anaknya untuk mandi. Bagaimana kalau nanti malam suaminya tak bisa tidur karena ngantuknya mendadak terhambat oleh hasrat yang membelanggu. Rasa kantuk itu ada untuk datang, tapi tak kunjung sampai karena dia men-syarat-kan sesuatu. Apakah esok dia akan mendapati suaminya tetap tidur sampai siang hari; mogok kerja. Atau dalam keadaan bangun dengan kerut di dahi pertanda ada yang harus kau penuhi malam ini dan aku tak mau dengar ada kata lembur kerja lagi. Atau dia mendapati suaminya pulang pagi dengan pakaian lusuh, bau parfum yang asing dan diyakini bukan asli milik suaminya. Mulut berbau minuman keras, sisa lipstick yang entah lupa atau sengaja tidak dibersihkan dari leher. Atau harus pulang dengan mobil PATROLI bersama wanita lain dalam sepasang borgol dan esok hari dia mendapati suaminya itu di TV. Atau memang suaminya adalah seorang Direktur advertising agency.

Direktur? Cukup menarik, ada sesuatu yang sepele tentang jabatan tinggi ini tapi mungkin hal ini perlu kita kaji. Direktur menurutku adalah seseorang yang identik dengan dasi. Bukankah dasi ini adalah salah satu pelengkap pakaian formal yang menarik? Aku sama sekali tak tahu dari mana asal kata itu diambil. Apa makna etimologinya, apa makna terminologinya aku pun bahkan hampir tak pernah ingin tau. Aku pernah sesekali menanyakan tentang hal ini kepada guru BP tempat SMA ku dulu. Waktu itu aku dipanggil kekantor dengan alasan seragamku tak lengkap. Dasar anak bandel, celetusnya kesal. Apa kamu tahu hari apa ini? Jelas aku tahu, itu alasanku kenapa memakai baju putih dan celana abu-abu. Perkataan ku tadi mungkin sedikit membuatnya kesal. Tapi tak apalah, melanggar peraturan kan memang sudah menjadi hobbiku. Kalau kamu tahu ini hari apa, lantas mana dasi mu? Kenapa tak kau kenakan? Celetusnya makin terlihat kesal. Flu ku sudah sembuh pak, jadi tak perlu lagi ku kenakan benda miskin warna itu. Selesai sudah, menikmati hukuman diluar kelas bagiku lebih menyenangkan ketimbang belajar matematika dengan guru yang selalu menghitung berapa kali dia tersenyum sejak dia masuk dan mulai mengajar di kelas sampai nanti dia selesai mengajar.
Itu adalah awal aku mengenal dasi. Tapi kesendirianku kali ini memberikan pandangan yang berbeda tentang dasi. Jika waktu itu kukatakan dasi tidak akan berguna jika kita tidak terkena flu, itu karena aku adalah anak kelas 1 SMA yang bandel. Sekarang aku adalah mahasiswa Semester VII di Universitas paling terkenal di kota tempat aku lahir 22nd tahun yang lalu. Bukankah ini waktu yang cukup lama untuk sekedar mengenal kata dasi. Biarlah, aku sama sekali tak peduli berapa waktuku yang tersita untuk hal sepele ini.

Jika aku sempat mengenakannya; dasi nanti, aku akan katakan pada mereka beberapa hal. Ini sengaja kucatat, supaya aku tidak lupa nanti, karena semakin tua kemampuanku mengingat akan semakin berkurang.

Apa yang melingkar dileherku ini adalah kain yang pernah menjadi bahan tertawaan teman-temanku waktu aku masih duduk di kelas 1 SMA dulu. Tak ada gunanya, kecuali kau terkena flu. Ini adalah benda miskin warna yang diikat dengan cara rumit, menghambat udara yang masuk kedalam paru-paru dan membuat lehermu sulit untuk menoleh. Kau juga harus berhati-hati ketika berada didekat kipas angin kalau kau tak ingin tercekik oleh kain kecil ini.

Lalu jika seseorang menanyaiku tentang apa gunanya dasi yang kukenakan ini. Aku akan menjawab:

Sama sekali tak ada. Benda ini sama sekali tidak dekoratif, pembuatnya pun tak akan se-kreatif perancang busana pengantin atau pembuat mainan anak-anak. Benda ini sekarang menjadi lambang perbudakan, kekuasaan sekaligus keterasingan. Tidakkah kau lihat disetiap rumah tentara atau polisi yang memiliki anjing pelacak. Mereka selalu mengikat leher anjingnya dengan rantai bermotif simpul yang begitu rumit untuk kita tiru. Kerbau-kerbau juga demikian, bahkan kambing dan sapipun mendapatkan perlakuan yang sama seperti para tahanan yang miskin dan budak yang memberontak. Satu-satunya kegunaan dasi yang sebenarnya adalah ada pada perasaan lega ketika kau melepaskannya. Saat itu kau akan merasa lega seakan kau telah membebaskan dirimu dari sesuatu, meskipun kau sebenarnya tidak mengetahui hal itu. Kau tidak akan tau kau telah terbebas dari apa. Tapi rasa lega itu tetap akan ada dan lambat laun kau akan mengerti dengan sendirinya ketika kau telah lama tak mengenakannya lagi sebagai pelengkap pakaian formalmu.

AKU MELAMUN

AKU MELAMUN