NEGARA SEKS-ISME

Oleh: Achmad Rois)*

Indonesia secara geografis dan kebudayaan merupakan Negara Timur. Kebanyakan Negara di belahan Timur tergolong sebagai bangsa yang sopan dan ramah, baik secara interaksi sosial maupun budaya. Budaya dapat diartikan dalam banyak hal, terserah dari sudut mana anda memandang kata budaya, bisa prilaku, tata bahasa, adat istiadat, karakter kebangsaan atau busana dan mode. Indonesia sendiri dianggap sebagai Negara yang tergolong “sopan” dalam banyak hal oleh Negara-negara lain dari seluruh belahan dunia. Dari sisi bahasa misalnya, Indonesia memiliki gaya bahasa yang santun dan menjunjung tinggi penghargaan terhadap orang lain sebagai lawan bicara. Secara adat dan prilaku masyarakat dalam interaksi sosial, Indonesia memiliki ciri khas “menyayangi yang muda dan menghormati yang lebih tua”. Dan dari sisi pakaian atau busana, Indonesia tergolong sebagai Negara yang santun dalam hal berpakaian. Meskipun ukuran “santun” dalam hal ini bisa bermakna berbeda di setiap daerah yang ditempatinya. Namun secara global, masyarakat Indonesia dapat dibilang “santun” dalam hal tata busana.

Di tengah Negara yang sedemikian santun ini, tidak menutup kemungkinan adanya problem sosial tertentu yang justru berlawanan dengan kesantunan tersebut. Masalah busana misalnya, dulu, sebelum globalisasi masuk bersama kapitalisme dan modernisasi, wanita-wanita Indonesia masih terlihat anggun dengan kebaya dan “tapih atau jarik”. Di belahan barat, khususnya Sumatra dan sekitarnya, wanita dan pria masih sangat menawan dan elok dengan baju koko, celana panjang atau rok, disertai songket kebanggaan budaya melayu. Tapi kini, keanggunan tersebut sudah habis terkena abrasi modernisasi mode dan pengaruh yang signifikan dari dunia mode westernisasi yang gencar dikampanyekan melalui simbol-simbol selebritas.

Fenomena degradasi busana ini ternyata tidak selesai begitu saja. Penghematan busana dari yang panjang menjadi pendek, bahkan sangat pendek ini justru berimbas pada pergeseran nilai-nilai sopan santun dan moral. Baju kebaya, koko serta sarung songket menjadi busana yang dianggap kuno, ketinggalan zaman dan tidak “gaul”, sementara pakaian ketat dan minim dianggap sebagai pakaian modern dan mode kentemporer. Efeknya, syahwat mulai sangat mudah kita jumpai di mana-mana, karena ketika busana ini dikenakan, khususnya oleh kaum hawa, dan karena kaum hawalah yang menjadi ikon sekaligus target pasar maraknya busana minim ini, tindakan asusila kemudian semakin marak terjadi di mana-mana. Kasus-kasus pelecehan seksusal sering menjadi pembuka halaman di banyak surat kabar. Pemerkosaan menjadi perdebatan sengit di televisi, dan seks yang awalnya tabu, justru menjadi pembicaraan yang sangat wajar di berbagai tempat-tempat umum dan bisa dinikmati oleh semua usia.

Problem yang belum lama hilang dari pantauan media adalah kisah asmara antara dua selebritis papan atas yang videonya bahkan dapat diakses oleh anak-anak di bawah umur, yang bahkan belum wajar mengenal seks. Video ini berdampak signifikan pada prilaku yang – dianggap – menyimpang pada anak-anak seumuran SLTP. Pemerkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual terjadi dengan maraknya di berbagai pelosok Negeri. Parahnya, alasan mereka sangat simple ketika ingin melakukan – seks – pada teman sebaya mereka, “hanya ingin meniru”. Tidak lama setelah kasus tersebut mulai redup dari kamera media, muncul kasus baru yang masih berkutat pada wilayah selebritas. Salah seorang, yang juga seorang vokalis sebuah Group Band terkenal, terlibat kasus narkoba dan pencabulan gadis di bawah umur. Belum lama ini, terdakwa kembali muncul di media dengan segala dakwaan dan cercaan yang meliputinya. Dari sini dapat kita lihat betapa besar pengaruh busana dan selebritas seseorang dalam mempengaruhi moralitas publik, atau secara global, moralitas bangsa.

Tidak itu saja, infiltrasi pornografi tidak hanya dilancarkan melalui busana dan selebritas. Jalur pendidikanpun terkena imbas globalisasi porno ini. Hal ini diketahui belakangan karena dijumpai ada LKS (Lembar Kerja Siswa) yang memuat konten-konten porno. Awalnya, konten tersebut disisipkan dalam bentuk kalimat-kalimat yang mengindikasikan gejolak seksual. Kemudian kasus berikutnya mulai dimuat dalam bentuk gambar-gambar yang fullgar. Padahal, pendidikan adalah instrumen ideologis dan wahana pembentukan karakter putra-putri bangsa sejak dini. Jadi bisa kita bayangkan bagaimana jadinya negeri ini jika sejak dini saja mereka sudah dijejali dengan konten atau ideologi-ideologi porno, maka sepuluh tahun kedepan, Indonesia akan jadi Negara paling porno di seluruh dunia.

Dari sisi birokrasi yang seharusnya mengatur regulasi mengenai kasus-kasus di atas, justru terjerat dengan kasus-kasus yang sama. Sidang “paripurna” yang kemudian berganti menjadi sidang “pariporno”. Pejabat-pejabat yang terjerat skandal seksual dengan sesama pejabat atau dengan wanita-wanita penghibur. Ditemukannya video-video mesum para pejabat. Bahkan baru-baru ini, ada sinyalemen mengenai gratifikasi seks untuk para pejabat. Meskipun belum dapat dibuktikan secara jelas, namun adanya peringatan seperti ini bisa jadi merupakan sebuah pertanda akan ada kejadian seperti ini atau bahkan sudah terjadi. Sehingga peringatan seperti ini merupakan upaya preventif agar kejadian ini tidak terulang kembali.

Jika diamati secara berkala, kasus yang terjadi pada “birokratisasi seks” ini mungkin masih ada hubungannya dengan kasus suap menyuap dan tindak pidana korupsi yang belakangan ini marak terungkap. Jika uang suap dan korupsi sangat mudah dilacak dari rekening ke rekening oleh KPK, maka KPK akan kesulitan atau bahkan tidak mungkin melacak bukti-bukti penyuapan berkedok seks ini dari satu resleting ke resleting lain.

Modus penyuapan seperti ini sangat mungkin terjadi karena sejak dulu sudah ada mitos yang kemudian dibuktikan menjadi kebenaran, bahwa ada tiga Tuhan lain selain Tuhan yang kita kenal selama ini. Tuhan pertama adalah harTA, dengan harta orang bisa buta, tuli dan bisu terhadap kebenaran. Tuhan kedua adalah tahTA, banyak orang bahkan dengan mudah mengorbankan hartanya demi sebuah kekuasaan. Dan Tuhan ketiga adalah waniTA, Tuhan ketiga ini memang punya pengaruh signifikan terhadap laki-laki. Demi Tuhan ketiga ini, banyak orang rela mengorbankan apapun untuk mendapatkan kenikmatan beberapa detik saja.

Ketiga Tuhan tersebut dulunya hanya bekerja sendiri-sendiri untuk mengumpulkan hamba-hambanya yang taat. Namun zaman sudah semakin “gila”, sama gilanya dengan ketiga Tuhan tersebut. Mereka kini sudah mengenal koalisi dan partai, bahkan kontrak politik. Jadi tidak heran jika peran ketiga Tuhan ini menjadi semakin efektif dan efisien – seperti kata politikus orde baru – dalam mengumpulkan hamba-hambanya yang taat kepada mereka sekaligus. Manusia menjadi semakin gila dan patuh terhadap ketiganya, harta saja tidak cukup, lantas mereka berebut kuasa, setelah kuasa didapat, mudah saja mereka memilih wanita. Atau sebaliknya, jika harta tidak bisa berbuat banyak untuk merebut kuasa, maka kenapa tidak kita tawarkan saja wanita sebagai gantinya. Atau, terserahlah, mau dibolak balik juga hasilnya akan sama saja, selalu berujung kepada Tuhan yang lebih Maha Kuasa.

Akhirnya, kasus-kasus yang sudah terpapar sejak tadi adalah teguran keras bagai seluruh rakyat Indonesia, khususnya bagi para pemimpin-pemimpin negeri ini. Baik itu pemimpin keluarga, pemimpin agama, ataupun pemimpin Negara. Dalam hal ini, semua elemen harus terlibat aktif dalam melakukan upaya preventif berubahnya ideologi pancasila menjadi ideologi seksisme. Saat ini, NII tidak lagi menjadi sesuatu yang membahayakan, karena sebagian besar rakyat Indonesia masih menganggap pancasila sebagai harga mati ideologi yang dianut Negara tercinta ini. Namun, karena pancasila saat ini sudah benar-benar mati, jadi ideologi-ideologi baru mulai menawarkan diri, termasuk di dalamnya kapitalisme, neo-liberalisme, konsumerisme dan seksisme yang saat ini sudah kelihatan punya partai besar di permukaan negeri ini.

Secara regulatif, RUU Pornografi dan Pornoaksi telah disahkan oleh DPR menjadi UU Pornografi pada tanggal 30 Oktober 2008 lalu. Dengan demikian, Indonesia sudah memiliki aturan formal dan baku mengenai pornografi dan pornoaksi. Disahkannya UU Pornografi ini tentu menyimpan harapan agar dapat menyelamatkan bangsa ini dari kerusakan moral akibat pornografi dan pornoaksi. Namun kenyataan berkata lain, pornografi justru kian marak terjadi di mana-mana, bahkan sampai di gedung-gedung pemerintahan dimana Undang-undang itu disahkan. Ironisnya, mereka yang mengesahkan Undang-undang justru terjerat dengan kasus-kasus yang disahkannya menjadi Undang-undang.

Sekian, semoga bermanfaat.

)* Penulis Adalah Aktifis Pusat Kajian Filsafat dan Theologi (PKFT) Tulungagung

Iklan